Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pengantin Musim Panas
21 November 2024 11:17 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Junius Andria tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seperti mendapat kutukan, ladang-ladang di Jalandhar mengering setiap hari. Gundukan tanah yang retak menyerupai guratan luka, seakan menjadi alarm kematian bagi para petani. Kemarau panjang memaksa warga untuk hidup dalam kemiskinan. Panen gagal total, biji-biji gandum yang mestinya tumbuh subur, kini tinggal impian yang terkubur dalam tanah kering. Gundukan-gundukan itu juga membawa nasib buruk bagi anak-anak perempuan miskin seperti Simran.
ADVERTISEMENT
Setiap pagi, harapan Simran pun terkikis sedikit demi sedikit. Doa-doanya pada Waheguru, seakan lenyap begitu saja. Ayahnya, Harmeert sudah menyerah. Ladang gandum yang dulu menjadi andalan keluarga, kini hanya tersisa kehancuran. Benarkah, ini karma atas kerakusan manusia menjarah bumi tanpa sisa?
Di tengah amukan musim panas, teman-teman Samrin, seperti, Fatimah, Kiran, dan Zaenab berbondong-bondong dinikahkan oleh kedua orang tuanya. Mereka menyebutnya sebagai Pernikahan Pengantin Musim Panas. Sebuah istilah yang membuat Elena muak, sebab di balik pesta sederhana itu, ada anak-anak perempuan sepantarannya yang dipaksa meninggalkan masa kecil, agar bisa menghidupi keluarga dari uang mahar pernikahan mereka.
“Balraj Manjeet adalah pria yang baik. Kamu akan makan dengan baik, Simran,” ujar Harmeet suatu sore.
ADVERTISEMENT
Simran terdiam. Nama itu saja sudah cukup membuat dadanya terasa sesak. Bagaimana mungkin ia menikahi pria tua itu? Pria yang sudah memiliki dua istri dan empat anak, yang usianya seumuran dengannya. Yang lebih menyakitkannya, keluarganya menikahkannya hanya untuk mendapat imbalan 250 Rupee dari pernikahan itu.
“Kau harapan kami satu-satunya, Nak,” kata Harmeet, dengan suara tegas.
“Biarkan aku bekerja di kota, Abu. Aku bisa membantu!” ujar Samrin mencoba membujuk ayahnya.
“Perempuan tidak pantas bekerja di kota. Kau sudah 16 tahun, sudah waktunya menikah!” Tegas Harmeet lagi. Kali ini suaranya menusuk seperti cambuk.
Simran terdiam, air matanya jatuh tanpa suara. Ia tahu, perlawanan hanya akan membakar amarah ayahnya. Tetapi hatinya tidak bisa menerima. Menikah, di usia 16 tahun, bukanlah impian Simran.
ADVERTISEMENT
Malam tiba, Simran termenung di atas charpai. Dia bingung dan gelisah. Pikirannya terus berpikir tentang kemungkinan untuk melarikan diri. Namun, ke mana ia harus pergi? Desa ini adalah seluruh dunianya, meskipun sekarang dia mulai meragukannya.
Ibunya masuk ke kamar, membawa wajah duka. “Maafkan Ami, Nak. Kami tidak punya pilihan,” Ujar ibunya pelan.
Simran menunduk, menolak menatap ibunya.
“Apa Ami bahagia sekarang?” tanyanya, dingin.
Air mata ibunya mulai menetes. “Tidak,” jawabnya jujur.
“Lalu kenapa Ami menyetujuinya? Apa 250 Rupee lebih berharga daripada masa depanku?” Simran tak mampu lagi menahan kekecewaanya.
“Ami hanya ingin kau hidup layak, tidak seperti kami.”
Kata-kata itu, menghantam hati Simran yang telah terluka, tapi ia tetap tak bisa menerimanya.
ADVERTISEMENT
“Aku tidak ingin mati melarat bersama kalian, tapi menikah dengan Pak Balraj bukanlah jawabannya,” Katanya menahan kemarahan.
..O0O..
Fatimah pernah bergosip tentang Balraj Manjeet. Dia adalah pria tua mata keranjang, berhidung besar yang suka menggoda gadis-gadis desa. Kedua istrinya adalah simbol, jika Balraj bukan tipe pria setia. Mendengar gosip itu, Simran semakin murka dengan perjodohannya ini.
Balraj datang dengan Corolla E20. Dia memakai turban kuning dan banyak buah tangan untuk kelurga Harmeet, termasuk hadiah satu stel baju pengantin untuk Simran. Harmeet menyambut calon menantunya itu dengan senyum lebar, penuh kegembiraan. Sementara Simran mengintip dari balik jendela, tubuhnya gemetar dalam balutan salwar kameez merah. Rasanya benar-benar ingin melarikan diri saja. Balraj pun melemparkan senyuman ramahnya pada Simran, yang dibalas kaku oleh gadis itu.
ADVERTISEMENT
Malam hari, ketika semua telelap tidur, Simran mengeluarkan ransel. Ia memasukkan beberapa pakaian, dupatta, senter tua, dan uang saku 50 Rupee. Tangannya menggenggam secarik kertas kumal dengan alamat yang diberikan ibunya semalam. Tak lama, Ibunya masuk ke kamar, membawa dupatta hijau tua berhias manik-manik.
“Bawa ini,” bisik ibunya sambil menyerahkan dupatta itu.
“Apa ini, Ami?”
“Pemilik alamat di kertas itu, Amita, akan mengenalimu lewat dupatta ini. Dia adalah wanita baik yang akan menolongmu.” Suara ibunya, berdesis.
“Ami, kenapa melakukan ini?” tanya Simran penasaran.
Ibunya menghela napas panjang. “Saat Ami seusiamu, Ami juga menikah karena kemiskinan. Ami ingin kau bahagia, Nak. Kejarlah mimpimu.”
Simran memeluk ibunya, menangis. Dalam hatinya ia tahu, ia harus pergi dan saat inilah kesempatannya.
ADVERTISEMENT
“Semoga Waheguru, melindungimu, Anankku”
“Terimakasi, Ami.”
...O0O...
Kesokan paginya, ketika fajar mulai menyingsing, Simran sudah meninggalkan rumah. Kini kamarnya kosong. Ibunya menjerit histeris, berpura-pura bahwa semua terjadi tanpa rencana. Harmeet berlari keluar, memanggil-manggil Simran, sementara ibunya menangis tersedu-sedu antara sedih dan bahagia. Sementara, dari dalam bus, Simran memandang desanya yang perlahan menghilang di kejauhan. Air matanya terus mengalir, tapi ia tahu, ini adalah langkah pertama menuju kebebasan.