Konten dari Pengguna

Aku, Kamu, dan Kursi Prioritas

Andrian Maulana Ali
Mahasiswa Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2 Desember 2022 16:34 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andrian Maulana Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kondisi sepi ketika di KRL. Foto: Galeri Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi sepi ketika di KRL. Foto: Galeri Pribadi
ADVERTISEMENT
Melihat persoalan kursi prioritas dari kacamata psikologi
KRL merupakan salah satu pilihan transportasi umum yang menjadi favorit bagi masyarakat yang tinggal di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, karena harganya yang murah dan terhindar dari kemacetan jalan. Hal tersebut dapat terlihat dari kondisi dalam gerbong kereta yang selalu ramai oleh penggunanya, terutama pada jam-jam sibuk, seperti pagi dan sore hari.
ADVERTISEMENT
Bagi para anker (anak kereta), pasti sudah tidak asing lagi dengan kursi prioritas yang ada dalam gerbong kereta dan juga di peron stasiun. Adanya kursi prioritas merupakan salah satu upaya PT KAI dalam menjaga kenyamanan para penumpangnya, terutama penumpang yang masuk ke dalam kelompok prioritas, seperti wanita hamil, ibu membawa anak, lansia, dan penyandang disabilitas. Namun dalam penggunaannya, kursi prioritas masih banyak digunakan oleh orang yang tidak diprioritaskan, sehingga yang diprioritaskan adakalanya tidak mendapatkan kursi tersebut.

Bukan Kelompok Prioritas, Tetapi Duduk di Kursi Prioritas, Apakah Salah?

Sekilas, kita bilang “Yes, of course.” Tetapi sebenarnya, belum tentu juga. “loh, mengapa begitu? Kan itu bukan hak mereka.” Memang benar sih kalau itu bukan hak mereka, tetapi kita tidak boleh men-judge begitu saja. Lihat dahulu bagaimana keadaannya. Bila orang tersebut duduk pada saat kondisi kereta sepi dan tidak ada orang yang diprioritaskan, ya, fine-fine saja. Berbeda ketika kondisinya ramai dan ada orang yang diprioritaskan, maka orang tersebut wajib, kudu, dan harus memberikan kursi tersebut kepada orang yang diprioritaskan. Kalau bisa, ya, harus secepat mungkin. “Kalau orang tersebut diam saja dan tetap duduk, bagaimana?” Nah, kita sebagai penumpang lain yang melihatnya harus mengingatkan atau bahkan menegurnya.
ADVERTISEMENT

Duduk di Kursi Prioritas adalah Hal yang Wajar

Abraham Maslow, seorang psikolog Amerika dan salah satu pelopor aliran psikologi humanistik, dalam bukunya “Motivation and Personality” (1954), menjelaskan bahwa manusia merupakan makhluk yang selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya berdasarkan tingkat kepentingannya, yang disebut sebagai Hierarki Kebutuhan. Dalam teorinya, kebutuhan manusia dimulai dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan dimiliki dan dicintai, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan pemenuhan diri.
Dalam hal ini, menurut teori Maslow, baik yang kelompok prioritas maupun yang bukan, kalau duduk di kursi prioritas merupakan hal yang wajar, karena mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan akan rasa amannya. Apalagi ketika sore hari, setelah bekerja seharian, pasti lelah bukan? Dalam kondisi tersebut, seseorang akan merasa lebih baik dan nyaman ketika duduk dibanding berdiri. Kalau duduk, dia bisa menghilangkan rasa lelahnya, sedangkan berdiri tidak.
ADVERTISEMENT
“Berarti, kita yang bukan kelompok prioritas, boleh dong duduk di kursi itu?” Jawabannya tidak, karena teori Maslow tidak membenarkan hal tersebut. Maslow juga mengatakan bahwa kita, manusia, mempunyai pilihan sendiri untuk menentukan tindakan kita. Dalam hal ini, untuk duduk di kursi prioritas atau tidak, tergantung pada diri kita sendiri, karena kita yang memutuskan.

Mereka yang Tetap Duduk Tidak Punya Perasaan?

Sigmund Freud, seorang psikolog yang dikenal sebagai Bapak Psikoanalisis, mengatakan bahwa manusia sendiri yang menentukan bagaimana tindakan atau perilaku yang akan dia lakukan. Dalam hal tersebut, Freud mengatakan bahwa manusia dipengaruhi sama yang namanya id, ego dan superego. Id ini bisa dikatakan sebagai nafsu, karena hanya memikirkan kesenangan saja. Dia tidak peduli terhadap situasi eksternal, asalkan kebutuhannya terpenuhi. Sedangkan superego, lawan dari id, bisa dikatakan sebagai nilai-nilai moral yang ada pada diri seseorang. Nilai-nilai moral ini ada karena didikan orang tua maupun lingkungannya. Dan untuk ego, dia ini diibaratkan sebagai manusia itu sendiri, karena dia yang memutuskan akan mengikuti nafsu atau moral dalam mengambil sebuah tindakan. Juga, mempertimbangkan kenyataan yang ada.
ADVERTISEMENT
Dalam permasalahan ini, orang yang tetap duduk di kursi prioritas disebabkan karena dia mengikuti ajakan id, dibanding ajakan superego. Dia hanya memikirkan kesenangannya saja, yakni untuk memenuhi kebutuhan akan rasa amannya dan tidak peduli pada orang lain. Sebaliknya, jika orang tersebut memberikan kursinya, maka dia mengikuti superego. Dia tahu bahwa kursi tersebut diperuntukan untuk siapa dan jika dia tetap menggunakannya, maka akan ada rasa bersalah terhadap nilai-nilai moral dalam dirinya yang sudah ditanamkan oleh keluarga maupun lingkungannya.
Jadi, mereka yang tetap duduk walaupun bukan kelompok prioritas masih punya perasaan, ya. Hanya saja, mereka mementingkan diri mereka sendiri, bersikap egois dan acuh tak acuh terhadap sekitarnya. Seharusnya, mereka tidak seperti itu. Sebagai pengguna KRL, kita harus sadar bahwa kursi prioritas tersebut sebenarnya hak siapa. Selain itu, kita harus peduli terhadap sekitar kita, karena sebagai manusia, kita adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri dan membutuhkan orang lain. Mari, bersama kita ciptakan suasana yang aman dan nyaman.
ADVERTISEMENT