Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.0
Konten dari Pengguna
Masih Relevankah Baterai Nikel Kita?
5 September 2023 17:52 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Andry Satrio Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kebijakan hilirisasi nikel dengan menghentikan ekspor bijih nikel kini sudah berjalan selama 4 tahun. Hilirisasi yang bertujuan meningkatkan nilai tambah nikel ini terus diperdebatkan manfaat dan kerugiannya. Meskipun nikel dapat menjadi baja nirkarat (stainless steel), akan tetapi Pemerintah memiliki tujuan akhir agar pengolahan nikel menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik.
ADVERTISEMENT
Awalnya, Indonesia tidak diperhitungkan untuk menghasilkan bahan baku baterai kendaraan listrik. Ini karena nikel yang dihasilkan merupakan nikel kadar rendah (limonit) yang lebih cocok menghasilkan baja nirkarat dibandingkan baterai kendaraan listrik.
Teknologi hidrometalurgi High Pressure Acid Leach (HPAL) dan Step Temperature Acid Leaching (STAL) menjadi game changer bagi pengolahan nikel kadar rendah. Melalui teknologi ini, nikel kadar rendah memungkinkan untuk diolah menjadi bahan baku yang cocok untuk baterai (MHP/Mixed hydroxide precipitate).
Menurunkan Biaya Kepemilikan Mobil Listrik
Kunci transisi mobil berbahan bakar minyak (ICEV) menuju mobil listrik (EV) adalah menekan biaya baterai. Hal ini karena 40-60% harga mobil listrik terletak pada komponen baterainya. Dengan menekan biaya baterai maka biaya kepemilikan (Total Cost of Ownership/TCO) bisa sama dengan mobil berbahan bakar minyak.
ADVERTISEMENT
Pelarangan ekspor bijih nikel yang dilakukan Indonesia pada awal 2020 membuat para produsen baterai sulit untuk mendapatkan pasokan bahan baku, terlebih pada saat itu harga bijih nikel terus meningkat.
Di saat yang bersamaan pelaku industri seperti Tesla juga mencari alternatif lain selain kobalt. Selain merupakan komponen baterai yang mahal, penambangan kobalt menyisakan persoalan sosial dan lingkungan di negara penambang.
Lithium Iron Phosphate (LFP) muncul sebagai alternatif baterai berbasis nikel dan kobalt (NMA dan NMC). Selain lebih murah, jumlah cadangan bijih besi dan fosfat (phospate) lebih banyak dibandingkan nikel dan kobalt. LFP juga menawarkan prinsip keberlanjutan karena minim persoalan sosial dan lingkungan yang dihadapi dalam pengolahannya.
LFP sebenarnya sudah digunakan sejak lama di China. Penggunaannya dimulai oleh BYD sebagai pabrikan pertama baterai mobil listrik pada 2010. Contemporary Amperex Technology Co. Limited (CATL) saat itu masih menggunakan NMC karena memiliki energy density yang besar dibanding LFP. Rendahnya energy density membuat mobil listrik dengan LFP tidak dapat digunakan dengan jarak tempuh yang jauh.
ADVERTISEMENT
BYD menggunakan LFP sebagai produk utamanya karena dinilai lebih aman dan tidak cepat panas. Perusahaan ini bahkan memberikan ilustrasi nail test antara LFP dan NMC. Hasilnya baterai NMC lebih mudah terbakar setelah ditusuk oleh paku. Ilustrasi tersebut membuat regulator China meminta agar pabrikan baterai melakukan uji coba tahan api terhadap produknya. Terlebih beberapa kejadian tabrakan yang diikuti kebakaran menimpa mobil dengan berbaterai NMC.
Aspek keamanan pengguna diikuti dengan dukungan pemerintah terhadap riset dan industri baterai membuahkan hasil. Kini, LFP tidak lagi menghadapi persoalan energy density rendah. Sejumlah pabrikan, termasuk CATL yang sebelumnya fokus pada pengembangan NMC mulai beralih ke LFP.
Tesla yang pada saat itu menggunakan NMC yang dipasok oleh Panasonic mulai berpaling menggunakan LFP yang diproduksi CATL di 2020. Di tahun ini, Tesla 3 yang diproduksi Shanghai Gigafactory menggunakan LFP, meskipun Tesla di Amerika Serikat masih menggunakan NMC. Pada kuartal ketiga 2021, Tesla berpindah menggunakan LFP secara global. Hasilnya, harga mobil Tesla lebih murah daripada sebelumnya.
Bergesernya Penggunaan NMC menuju LFP
Saat ini secara global, pangsa pasar terbesar baterai masih didominasi oleh nikel. Namun, seiring dengan permintaan global, baterai LFP meningkat pesat. Tahun 2024, pangsa pasar antara LFP dan NMC/NCA akan sama besar. Selain, manfaat yang telah dibahas sebelumnya, saat ini CATL sudah mengembangkan fasilitas pengisian cepat (fastcharge) baterai LFP yang dapat mengisi baterai hanya 10 menit untuk jarak tempuh 400 km.
ADVERTISEMENT
Penetrasi baterai LFP juga akan semakin masif dengan bantuan Inflation Reduction Act (IRA). IRA memaksa pabrikan baterai untuk menggunakan bahan dasar selain nikel yang justru lebih banyak di Benua Amerika. Pabrikan baterai dan mobil listrik tentunya akan memilih menggunakan LFP untuk mendapatkan insentif subsidi dari IRA. Di satu sisi, IRA membuat produksi LFP tidak lagi bergantung dan dimonopoli oleh China.
Di Indonesia, penjualan mobil listrik terbesar di 2022 masih didominasi lebih dari 75% oleh Wuling Air EV yang mana merupakan mobil listrik LFP. Pertengahan tahun 2023, Hyundai Ioniq 5 mulai menyalip penjualan Wuling Air EV. Saat ini hanya dua basis produksi mobil listrik di Indonesia yakni Wuling dan Hyundai.
ADVERTISEMENT
Pabrikan mobil listrik potensial yang akan hadir di Indonesia seperti BYD saat ini juga menggunakan baterai LFP untuk mobil listrik terbarunya.
Saat ini pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia mulai bergeser. Beberapa pengolahan nikel melalui HPAL masih membutuhkan waktu untuk menghasilkan MHP. Dengan arah pabrikan mobil listrik yang sudah mulai melihat LFP, tentu ini ancaman bagi nikel Indonesia.
Mimpi Pemerintah untuk menguasai hulu hingga hilir mobil listrik kini berhadapan dengan realita. Kebijakan Pemerintah pun terlihat bergeser ke arah menawarkan pabrikan mobil listrik untuk menjual mobilnya di Indonesia.
Rencana penjualan mobil listrik impor CBU ini bisa saja justru diklaim sebagai 'investasi' dari pabrikan mobil listrik. Padahal pabrikan ini sebatas membuka kantor cabang penjualan, bukan basis produksi, seperti halnya yang terjadi di Malaysia.
Gagalnya Pemerintah menarik Tesla untuk berinvestasi bahan baku baterai di Indonesia mendorong Pemerintah menawarkan Tesla opsi lain seperti berinvestasi pengolahan lithium, bukan lagi nikel. Hal yang akan ditargetkan Indonesia di 2027 sebagai produsen lithium terbesar ketiga, tentunya di tengah pergeseran teknologi baterai dari lithium ke sodium yang membuatnya juga akan tidak relevan di masa yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Dengan permintaan baterai bebas nikel dan kobalt, patut kita pertanyakan: Akankah nikel Indonesia tetap relevan sebagai bahan baku mobil listrik di masa depan?