Battered Child Syndrome: Ketika Kekerasan Gagal Menjadikan Anak Patuh

Andryan Wardhanu
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
24 November 2021 20:59 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andryan Wardhanu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Battered Child Syndrome. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Battered Child Syndrome. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Semua orang sepakat meyakini anak-anak sebagai generasi penerus yang akan berkontribusi di masa yang akan datang. Mayoritas orang tua tentunya akan menyikapi hal tersebut dengan antusias, mungkin dengan memasukkan si kecil ke berbagai tempat les untuk mengasah bakatnya atau bahkan menyuruhnya belajar tanpa kenal lelah.
ADVERTISEMENT
Secara garis besar, tak ada yang salah dengan hal tersebut. Apa salahnya seorang ibu yang memasukkan putrinya ke tempat les piano agar kelak bisa menjadi pianis yang hebat? Apakah salah jika seorang ayah menyuruh putranya rajin belajar agar kelak memiliki masa depan yang cemerlang?
Pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal sangat dipengaruhi oleh peran orang tua serta orang-orang yang berada di lingkungan sekitarnya. Kebutuhan anak berupa pemberian asuh, asih, dan asah akan membuat mereka menjadi generasi potensial. Sebaliknya, perlakuan salah yang diberikan pada anak akan menghambat tumbuh kembangnya.
Salah satu fenomena nyata yang berangkat dari pemahaman tersebut ialah Battered Child Syndrome. Yang hingga kini masih sering dianggap tabu karena kurangnya kesadaran akan kesehatan mental.
ADVERTISEMENT
Apa itu Battered Child Syndrome?
Battered Child Syndrome adalah suatu kondisi klinis pada anak kecil yang telah menerima kekerasan fisik yang serius, yang sering menjadi penyebab cedera permanen bahkan kematian. Cedera permanen yang dialami bukan hanya fisikal atau seksual, namun juga cedera secara psikis yang berkaitan dengan emosi dan kognisi dalam proses belajar.
The World Health Organization (WHO), mendefinisikan Battered Child Syndrome secara spesifik muncul sebab adanya pelecehan atau kekerasan terhadap anak.
Kekerasan di sini ialah segala bentuk perlakuan fisik, penelantaran atau perlakuan lalai, eksploitasi yang mengakibatkan kerugian aktual atau potensial untuk kesehatan mental anak, kelangsungan hidup, perkembangan atau martabat dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan, dan kekuasaan.
Sebagai contoh, seorang anak di bawah umur yang tumbuh dewasa dengan kekerasan orang tua, memiliki kemungkinan besar akan mengidap sindrom ini pada saat beranjak remaja dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Battered Child Syndrome bisa terjadi?
Child abuse atau kekerasan anak pertama kali dilaporkan pada tahun 1860 oleh seorang ahli patologi dan kedokteran forensik Perancis bernama Ambroise Tardieu. Serta pada tahun 1946, John Caffey menemukan fraktur pada anak dengan hematom subdural kronik, sering pula fraktur multipel dengan stadium penyembuhan yang bervariasi, hal ini berujung pada kecurigaan adanya perlakuan salah oleh orang tua pada anaknya.
Selain itu, terdapat pula faktor pendorong lain terjadinya kekerasan pada anak yang berpotensi memberikan dampak gangguan mental, seperti kepribadian orang tua yang yang over kompetitif dan protektif, pemahaman orang tua pola bahwa pengasuhan dengan melukai anak secara fisik dapat mendisiplinkannya, bahkan terjadi karena karena inner child orang tua yang belum bisa diajak untuk berdamai dan menjadikan anak sebagai pelampiasan.
ADVERTISEMENT
Segala bentuk kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional, penolakan fisik, penolakan emosional, termasuk menyaksikan kekerasan ini menimbulkan trauma tersendiri pada anak di masa remaja dan dewasanya.
Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Hasanah dan Ambarini (2018) menunjukkan bahwa faktor trauma pada masa lalu berpotensi menjadi faktor permasalahan psikosis di usia remaja. Hal tersebut dikuatkan oleh penelitian Farina, dkk (2018) yang menuturkan bahwa trauma pada anak berhubungan secara signifikan terhadap psikopati pada masa remaja.
Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa trauma pada anak dapat berpengaruh terhadap beberapa aspek yang menyebabkan remaja mengalami suatu gangguan mental dan permasalahan psikologis lainnya. Maka tampak bahwa pengalaman-pengalaman yang terjadi pada masa kanak-kanak, terutama yang berhubungan dengan psikologi anak memiliki risiko atau dapat berdampak terhadap perilaku di masa remaja.
ADVERTISEMENT
Dampak psikologis pengidap Battered Child Syndrome
Perkembangan kepribadian anak-anak sangat dipengaruhi oleh perilaku yang terbentuk karena pengalaman traumatis yang mereka alami. Hubungan sosial (keluarga atau pertemanan) maupun akademik merupakan contoh aspek dalam kehidupan remaja yang terganggu akibat trauma masa kanak-kanak.
Selain itu, trauma anak juga dapat menjadi determinan dari perilaku bunuh diri dan depresi. Kecenderungan self harm atau bahkan bunuh diri yang dilakukan remaja terjadi karena terus-menerus dibayangi oleh pengalaman buruk di masa lalu yang berakhir pada keputusasaan atau kegoyahan.
Akibat dari trauma masa kanak-kanak seringkali berubah dan bisa saja berbeda setiap individu. Wajar jika dampak yang dialami setiap individu pada usia remaja saling berbeda, walaupun sama-sama mengalami trauma.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Anggadewi (2020), diidentifikasikan bahwa dampak yang muncul sebagai akibat dari peristiwa tersebut paling dominan kecemasan, kemudian diikuti dengan ketidakmampuan dalam mengendalikan diri. Self harm dan suicidal serta agresivitas tidak terlalu dominan berdampak pada subjek namun kemunculan gejala ini merupakan suatu keprihatinan dan perhatian yang cukup serius karena tindakan-tindakan yang dilakukan sangat membahayakan diri maupun orang lain.
ADVERTISEMENT
Referensi
Anggadewi, B. E. T. (2020). Dampak Psikologis Trauma Masa Kanak-kanak Pada Remaja. Solution: Jurnal of Counseling and Personal Development, 2(2), 1-7
Hasanah, C. D. U., & Ambarini, T. K. (2018). Hubungan Faktor Trauma Masa Lalu Dengan Status Mental Beresiko Gangguan Psikosis Pada Remaja Akhir di DKI Jakarta. Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental, 3(2), 73-81. http://dx.doi.org/10.20473/jpkm.V3I22018.73-81
Farina, A. S., Holze, K. J., Delisi, M., & Vaughn, M. G. (2018). Childhood Trauma and Psychopatic Featrures Among Juvenile Offenders. International Journal of Offender Therapy and Comparative Criminology, 1-22
Widiastuti, D., & Sekartini, S. (2005). Deteksi Dini, Faktor Risiko, dan Dampak Perlakuan Deteksi Dini, Faktor Risiko, dan Dampak Perlakuan Salah pada Anak Salah pada Anak. Sari Pediatri, 7(2), 105 – 112
ADVERTISEMENT
Kempe, C. H., Silverman, F. N., Steele, B. F., Droegemueller, W., Silver, H. K. (1985). The battered-child syndrome. Child Abuse & Neglect, 9(2), 143-154. https://doi.org/10.1016/0145-2134(85)90005-5