news-card-video
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

ESG Rating S&P 2025: Siapa Jawara di Indonesia? (ESG Seri 5)

Andryanto EN
ESG Task Force Perusahaan Emiten Terbuka. Lulusan Universitas Brawijaya Sarjana Ekonomi. Aktif Traveling, Berlari dan ESG Enthusiast.
6 Maret 2025 12:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andryanto EN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ESG (Sumber : Freepik)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ESG (Sumber : Freepik)
ADVERTISEMENT
Seiring dengan meningkatnya perhatian global terhadap keberlanjutan, Environmental, Social, and Governance (ESG) menjadi salah satu indikator utama dalam menilai kinerja perusahaan. ESG Rating, yang diberikan oleh lembaga pemeringkat global seperti S&P Global Ratings, menjadi tolok ukur penting bagi investor dalam mengevaluasi risiko dan peluang investasi berbasis keberlanjutan.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2025, Indonesia memasuki fase kritis dalam penguatan tata kelola ESG di sektor industri dan keuangan. Perusahaan terbuka (go public) semakin dituntut untuk menerapkan prinsip keberlanjutan dalam operasional bisnis mereka, sejalan dengan regulasi internasional seperti Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CS3D) Uni Eropa dan inisiatif ESG global lainnya.
"ESG bukan hanya tentang memenuhi standar atau meraih skor tinggi dalam rating tertentu, tetapi lebih dari itu, yaitu bagaimana perusahaan benar-benar menginternalisasi prinsip keberlanjutan dalam strategi dan operasional bisnisnya," ujar Lydiawaty, CEO Bumi Global Karbon (BGK).
Pernyataan ini mencerminkan bagaimana ESG kini telah menjadi bagian integral dari strategi bisnis dan bukan sekadar kewajiban kepatuhan bagi perusahaan yang ingin tetap kompetitif di pasar global.
ADVERTISEMENT
Metodologi ESG Rating S&P dan Implikasinya bagi Perusahaan Indonesia
ESG Rating yang dikembangkan oleh S&P Global didasarkan pada sejumlah indikator utama yang mencakup kinerja lingkungan (E), aspek sosial (S), serta tata kelola perusahaan (G). Masing-masing aspek diukur berdasarkan keterbukaan informasi perusahaan, kebijakan yang diterapkan, serta dampak nyata terhadap lingkungan dan masyarakat.
Beberapa parameter utama yang digunakan dalam penilaian meliputi:
Lingkungan (E): Pengelolaan emisi karbon, efisiensi energi, kebijakan daur ulang, serta keberlanjutan rantai pasok.
Sosial (S): Hak tenaga kerja, keberagaman dan inklusi, serta dampak sosial perusahaan terhadap komunitas.
Tata Kelola (G): Transparansi keuangan, independensi dewan direksi, serta kepatuhan terhadap regulasi dan etika bisnis.
Dalam pemeringkatan terbaru, emiten yang menunjukkan komitmen terhadap ekonomi hijau dan keberlanjutan sosial cenderung memperoleh skor ESG yang lebih tinggi. Sebaliknya, perusahaan yang belum memiliki strategi mitigasi risiko lingkungan dan sosial mendapat peringkat yang lebih rendah.
ADVERTISEMENT
Tren ESG di Indonesia: Sektor Unggulan dan Tantangan Implementasi
Laporan terbaru S&P mengenai ESG di Indonesia menunjukkan bahwa sektor infrastruktur, perbankan, dan energi hijau menjadi kontributor utama dalam peningkatan ESG Rating.
Sektor Infrastruktur: Emiten seperti PT Wijaya Karya Beton (WIKA Beton) berhasil memperoleh sertifikasi Environmental Product Declaration (EPD), yang menandakan komitmen mereka terhadap pengurangan dampak lingkungan.
Sektor Perbankan: Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan beberapa bank lain mulai menerapkan prinsip green banking, dengan penyaluran kredit berbasis keberlanjutan.
Sektor Energi Hijau: Perusahaan yang berinvestasi dalam energi terbarukan dan pengurangan emisi karbon mendapatkan skor lebih tinggi dalam penilaian ESG.
Namun, masih terdapat beberapa tantangan dalam implementasi ESG di Indonesia, antara lain:
 Keterbatasan Transparansi dan Pengungkapan Data
ADVERTISEMENT
Banyak perusahaan yang belum memiliki sistem pelaporan ESG yang komprehensif dan terstandarisasi.
 Ketergantungan pada Energi Fosil
Sektor manufaktur dan industri masih didominasi oleh energi berbasis batu bara dan minyak, yang menjadi kendala dalam transisi menuju ekonomi hijau.
 Ketidakjelasan Regulasi Domestik
Meskipun pemerintah telah menetapkan peta jalan ESG, masih terdapat kesenjangan dalam harmonisasi regulasi lokal dengan standar internasional seperti CS3D Uni Eropa.
Dampak ESG Rating terhadap Kinerja Investasi
Studi empiris menunjukkan bahwa perusahaan dengan ESG Rating yang lebih tinggi cenderung memiliki kinerja keuangan yang lebih baik dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor:
 Akses Pendanaan Lebih Luas: Investor global semakin memilih portofolio berbasis ESG, sehingga perusahaan dengan skor tinggi memiliki peluang lebih besar untuk memperoleh pendanaan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
 Manajemen Risiko yang Lebih Baik: Perusahaan yang menerapkan ESG lebih siap menghadapi risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memperhitungkan faktor keberlanjutan.
 Reputasi Perusahaan yang Lebih Baik: ESG berkontribusi pada peningkatan citra perusahaan di mata konsumen dan pemangku kepentingan lainnya.
"Bagi pemangku kepentingan, terutama investor, investasi berbasis ESG semakin dipandang sebagai langkah strategis yang lebih tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan (higher resiliency). Pandemi Covid-19 dan perubahan iklim menjadi pengingat bahwa risiko bukan hanya soal keuangan, tetapi juga keberlanjutan perusahaan dalam menghadapi tekanan lingkungan, sosial, dan tata kelola," tambah Lydiawaty yang juga pengamat ESG di Indonesia.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Dinamika ESG Rating S&P 2025 menunjukkan bahwa perusahaan di Indonesia semakin menyadari pentingnya integrasi keberlanjutan dalam operasional bisnis mereka. Namun, masih diperlukan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan kinerja ESG, antara lain:
ADVERTISEMENT
 Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas: Perusahaan perlu mengadopsi standar pelaporan ESG yang lebih ketat dan transparan.
 Investasi dalam Teknologi Hijau: Sektor industri harus mulai mengalihkan sumber energinya ke alternatif yang lebih berkelanjutan.
 Penguatan Regulasi Domestik: Pemerintah perlu menetapkan kebijakan ESG yang lebih terstruktur agar dapat bersaing di pasar global.
Sebagai bagian dari ekosistem ekonomi global, perusahaan terbuka di Indonesia harus melihat ESG bukan hanya sebagai kewajiban kepatuhan, tetapi juga sebagai strategi bisnis jangka panjang yang dapat meningkatkan daya saing mereka di pasar internasional.