Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
IHSG Anjlok : Ancaman bagi Investasi Berkelanjutan (ESG Seri 6)
19 Maret 2025 13:15 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Andryanto EN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Jakarta – Pasar modal Indonesia mengalami salah satu hari terburuknya. Pada 18 Maret 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjun bebas hingga 6,12%, menyentuh level 6.076,08. Ini bukan hanya sekadar angka. Bagi investor, pelaku pasar, hingga pemegang kebijakan, ini adalah sinyal bahaya yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
ADVERTISEMENT
Sejak pagi, pasar saham sudah berada dalam tekanan berat. Pada pukul 11:19 WIB, IHSG jatuh lebih dari 5% ke level 6.146,91, memaksa Bursa Efek Indonesia (BEI) menerapkan trading halt selama 30 menit. Namun, saat perdagangan dilanjutkan, bukannya membaik, IHSG justru semakin tenggelam. Pada satu titik, indeks sempat menyentuh level 6.018,39 sebelum akhirnya sedikit terkoreksi di sesi penutupan.
Bagi banyak investor, peristiwa ini seolah mengingatkan kembali pada keguncangan pasar saat pandemi COVID-19 di tahun 2020. Namun, berbeda dengan lima tahun lalu, penyebab kali ini jauh lebih kompleks. Ada badai fiskal yang mengancam stabilitas ekonomi domestik, ada koreksi besar-besaran di saham-saham konglomerasi, dan ada pula sentimen global yang semakin menekan pasar.
Pemerintah dalam Jeratan Fiskal, Investor Mulai Kehilangan Kepercayaan
ADVERTISEMENT
Salah satu faktor utama di balik jatuhnya IHSG adalah kondisi fiskal Indonesia yang semakin rapuh. Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa penerimaan negara anjlok hingga 30%, hanya mencapai Rp269 triliun per Februari 2025. Situasi ini diperparah dengan lonjakan utang yang mencapai 44,77% dibanding tahun sebelumnya, memaksa pemerintah mengeluarkan lebih banyak surat utang untuk menutupi defisit APBN yang sudah menembus Rp31,2 triliun.
Investor melihat ini sebagai sinyal buruk. Dengan penerimaan negara yang terus melemah, belanja pemerintah pun dipangkas hingga 7%, terutama di sektor infrastruktur dan energi. Padahal, sektor-sektor inilah yang selama ini menjadi tulang punggung pergerakan IHSG. Ketika belanja negara mulai seret, emiten-emiten konstruksi, energi, dan industri manufaktur mulai kehilangan kontrak besar mereka, yang berujung pada kejatuhan harga saham mereka di pasar.
ADVERTISEMENT
Dampaknya sangat terasa pada saham-saham berkapitalisasi besar. PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), yang selama ini menjadi andalan pasar, jatuh 4,65% ke level Rp8.200 per saham. PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN), yang selama ini dipandang sebagai pemimpin di sektor energi terbarukan, juga tersungkur hingga 16,33% ke Rp4.790 per saham. Bahkan, PT DCI Indonesia Tbk (DCII), yang bergerak di industri data center, harus rela terkena Auto Reject Bawah (ARB) karena aksi jual yang terlalu masif.
Saham-Saham Konglomerasi Tak Lagi Kebal, Investor ESG Mulai Menarik Diri
Di tengah gejolak ini, ada satu pola menarik: saham-saham milik konglomerasi besar mengalami koreksi paling tajam. Saham-saham yang selama ini dianggap sebagai pilihan "aman" justru menjadi beban bagi IHSG.
ADVERTISEMENT
PT DCI Indonesia (DCII) menjadi yang paling terpukul dengan penurunan mencapai 30% dalam satu hari. Saham milik Toto Sugiri ini sudah lama menjadi favorit investor berkat bisnis data center yang terus berkembang. Namun, valuasi yang tinggi dan sentimen pasar yang memburuk membuat investor panik dan memilih keluar.
Hal yang sama terjadi pada saham-saham Grup Barito milik Prajogo Pangestu. Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) dan Barito Renewables Energy (BREN) terjun bebas. Bahkan, Pantai Indah Kapuk Dua (PANI) yang berada di bawah Grup Aguan ikut tergerus hingga 19,41%.
Fenomena ini menunjukkan bahwa investor mulai lebih selektif dalam menaruh modal mereka. Saat ini, standar investasi global semakin mengarah ke prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG), dan Indonesia masih tertinggal dalam aspek ini.
ADVERTISEMENT
Laporan LRQA Supply Chain ESG Risk Outlook 2025 mengungkapkan bahwa lebih dari 50% rantai pasok di Asia-Pasifik kini dikategorikan sebagai “berisiko tinggi” dalam aspek ESG. Hal ini membuat investor global mulai menarik diri dari negara-negara yang tidak memiliki regulasi ESG yang ketat.
Ditambah lagi, regulasi baru dari Uni Eropa, Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CS3D), mewajibkan perusahaan-perusahaan di Eropa untuk memastikan bahwa rantai pasokan mereka bebas dari risiko lingkungan dan sosial. Perusahaan di Indonesia yang tidak memenuhi standar ini berisiko kehilangan akses pasar Eropa, yang berarti kehilangan salah satu sumber pendanaan utama mereka.
Krisis ESG: Dari Risiko Sosial hingga Ketidakpastian Regulasi
Di sisi lain, aspek sosial dalam ESG juga menjadi perhatian utama investor. Laporan terbaru dari Supply Chain ESG Risk Outlook 2025 menyoroti bahwa masalah ketenagakerjaan di Asia Tenggara semakin meningkat. Indonesia masih menghadapi persoalan upah rendah, jam kerja berlebihan, hingga minimnya transparansi di sektor manufaktur dan energi.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini semakin diperburuk oleh ketidakpastian regulasi di Indonesia. Hingga saat ini, belum ada kebijakan ESG yang benar-benar diterapkan secara ketat. Banyak perusahaan besar yang masih menggunakan pendekatan "hijau di atas kertas", tanpa ada implementasi nyata.
Akibatnya, investor institusi global mulai mengalihkan dananya ke negara-negara yang lebih siap dengan regulasi ESG, seperti Singapura dan Korea Selatan. Tak heran jika indeks saham di negara-negara tersebut justru menguat saat IHSG mengalami tekanan.
Apa yang Harus Dilakukan?
Di tengah ketidakpastian ini, Indonesia memiliki dua pilihan: bertahan dengan sistem lama yang membuat investor semakin lari, atau melakukan reformasi besar-besaran di sektor ESG.
Langkah pertama yang harus diambil adalah memperbaiki tata kelola fiskal. Pemerintah harus lebih transparan dalam mengelola utang dan belanja negara agar investor tidak kehilangan kepercayaan.
ADVERTISEMENT
Langkah kedua, perusahaan-perusahaan besar harus segera beradaptasi dengan standar ESG global. Jika tidak, mereka akan semakin tertinggal dalam persaingan investasi internasional.
Terakhir, regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) harus lebih proaktif dalam mendorong implementasi ESG di pasar modal. Jika ESG hanya menjadi jargon tanpa tindakan nyata, kepercayaan pasar tidak akan kembali dalam waktu dekat.
ESG adalah Masa Depan, Bukan Sekadar Tren
Kejatuhan IHSG bukan hanya akibat dari faktor ekonomi jangka pendek, tetapi juga cerminan dari masalah yang lebih besar: Indonesia belum siap menghadapi era investasi berbasis ESG.
Tanpa perbaikan di sektor tata kelola, lingkungan, dan sosial, kepercayaan investor akan terus terkikis, dan pasar modal Indonesia akan semakin tertinggal dari negara-negara lain. Namun, jika ESG diterapkan dengan serius, Indonesia bisa kembali menarik minat investor dan menciptakan pasar modal yang lebih stabil dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT