Konten dari Pengguna

Trump Tarik AS dari Perjanjian Paris, Dekarbonisasi Global Terancam (ESG Seri 2)

Andryanto EN
ESG Task Force Perusahaan Emiten Terbuka. Lulusan Universitas Brawijaya Sarjana Ekonomi. Aktif Traveling, Berlari dan ESG Enthusiast.
5 Februari 2025 9:45 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andryanto EN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Amerika Serikat (Sumber : Freepik)
zoom-in-whitePerbesar
Amerika Serikat (Sumber : Freepik)
ADVERTISEMENT
Presiden Donald Trump kembali menarik Amerika Serikat dari Perjanjian Paris pada 20 Januari 2025, menandai kali kedua AS mundur dari kesepakatan global tersebut setelah sebelumnya melakukan langkah serupa pada 2017. Keputusan ini menjadikan AS sebagai salah satu dari sedikit negara, bersama Iran, Libya, dan Yaman yang menolak bekerja sama dalam upaya global membatasi pemanasan bumi di bawah 2°C.
ADVERTISEMENT
Keputusan ini memicu reaksi keras dari komunitas ilmiah, aktivis lingkungan, dan para pemimpin dunia, yang menilai langkah tersebut sebagai kemunduran besar dalam perang melawan perubahan iklim. Banyak pihak khawatir bahwa penarikan AS akan menghambat transisi energi bersih dan memperburuk dampak perubahan iklim dalam jangka panjang.
Dalam pernyataannya, Trump mengklaim bahwa Perjanjian Paris merugikan ekonomi AS, terutama industri minyak dan batu bara. Ia menegaskan bahwa kebijakan hijau yang diterapkan oleh pemerintahan sebelumnya di bawah kepemimpinan Joe Biden telah memberikan dampak negatif terhadap pekerja sektor energi fosil dan merugikan daya saing industri dalam negeri.
Sebagai bagian dari strateginya, Trump mulai menghapus berbagai kebijakan pro-lingkungan yang diterapkan oleh pemerintahan Biden, termasuk insentif untuk energi terbarukan seperti kendaraan listrik dan tenaga angin. Langkah ini dianggap sebagai sinyal bahwa AS akan kembali bergantung pada bahan bakar fosil dan meninggalkan upaya percepatan transisi energi bersih.
ADVERTISEMENT
Penarikan AS dari Perjanjian Paris bukan sekadar keputusan politik, tetapi memiliki dampak luas bagi masa depan transisi energi global.
Menurut laporan Rhodium Group, emisi AS hanya turun 0,2% pada 2024, jauh dari target pemotongan 61% pada 2035 yang ditetapkan di bawah kepemimpinan Biden. Tanpa komitmen dari salah satu negara penghasil emisi terbesar di dunia, upaya global untuk mengurangi jejak karbon menjadi semakin sulit.
Dengan mundurnya AS, kepemimpinan dalam kebijakan iklim kini semakin bergeser ke Uni Eropa dan Tiongkok. Kedua kekuatan ekonomi ini telah memperkuat regulasi ESG (Environmental, Social, and Governance) serta mempercepat investasi dalam energi terbarukan. Sementara itu, AS justru memilih untuk kembali mengandalkan bahan bakar fosil.
Insentif untuk energi bersih yang sebelumnya didorong oleh pemerintahan Biden kini mulai dipangkas, berpotensi menghambat pertumbuhan sektor kendaraan listrik dan energi terbarukan. Banyak investor global yang sebelumnya tertarik berinvestasi di sektor hijau di AS kini mulai mempertimbangkan pasar lain yang lebih stabil dalam kebijakan ESG mereka.
ADVERTISEMENT
Climate Action Tracker memperkirakan bahwa dengan AS keluar dari Perjanjian Paris, target global untuk membatasi pemanasan di bawah 2°C menjadi semakin sulit. Bahkan, skenario terburuk menunjukkan suhu bumi bisa naik hingga 2,6°C pada akhir abad ini, jauh di atas batas aman yang direkomendasikan para ilmuwan.
Meskipun AS menarik diri dari Perjanjian Paris, banyak negara tetap berkomitmen terhadap target dekarbonisasi mereka. Uni Eropa telah mengesahkan kebijakan ambisius seperti EU Green Deal, sementara Tiongkok terus meningkatkan kapasitas energi terbarukan mereka dan memperketat regulasi emisi industri.
Namun, absennya AS dalam kesepakatan ini menciptakan tantangan besar. Sebagai produsen minyak dan gas terbesar dalam sejarah, AS memiliki peran penting dalam upaya transisi energi global. Tanpa kontribusi signifikan dari AS, target net-zero emissions dunia menjadi semakin sulit dicapai.
ADVERTISEMENT
Keputusan Trump untuk menarik AS dari Perjanjian Paris menciptakan ketidakpastian besar dalam lanskap energi global. Meskipun negara lain tetap berusaha mencapai target ESG mereka, absennya AS sebagai pemain utama menimbulkan pertanyaan besar: Bisakah dunia mencapai dekarbonisasi tanpa AS?
Sejarah menunjukkan bahwa keputusan seperti ini sering kali bersifat sementara. AS mungkin akan kembali ke Perjanjian Paris di masa depan, tergantung pada dinamika politik dan pemerintahan berikutnya. Namun, pertanyaannya kini adalah berapa lama dunia harus menunggu, dan berapa banyak kerusakan yang terjadi selama periode ketidakpastian ini?
Saat dunia berusaha mengejar target dekarbonisasi, keputusan AS untuk keluar dari Perjanjian Paris menjadi pengingat bahwa kebijakan iklim global masih sangat dipengaruhi oleh dinamika politik domestik.
ADVERTISEMENT