Konten dari Pengguna

Memaknai (Jual-Beli) Jabatan

Andy Arnolly Manalu
ASN, di Kota Jambi. A Floydian and KLanis.
9 April 2023 20:01 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andy Arnolly Manalu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi jual-beli jabatan. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi jual-beli jabatan. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa hari ini, saya membaca tautan berita mengenai Operasi Tangkap Tangan (OTT) Bupati Kepulauan Meranti, M. Adil. Sang Bupati tidak sendiri, bersamanya KPK juga menangkap setidaknya 25 orang yang didominasi oleh jajaran pejabat di daerahnya.
ADVERTISEMENT
Sehari sesudah ditangkap, KPK resmi menetapkan M. Adil, FN selaku Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) serta MFA, Auditor Muda BPK perwakilan Riau sebagai tersangka. Adapun keterlibatan MFA adalah menerima suap untuk penetapan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk laporan keuangan Kabupaten Kepulauan Meranti.
OTT kepala daerah oleh KPK bukan yang pertama kali terjadi. Bangun kasusnya hampir serupa. Suap dan penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan pribadi seperti jual beli jabatan, penunjukan entitas usaha tertentu sebagai pemenang tender proyek atau melakukan pungli.
Baiklah, tulisan ini tidak akan membahas soal korupsi para elite politik atau kasus OTT M. Adil secara khusus. Sudah banyak tulisan populer atau kajian ilmiah yang melatari fenomena tersebut. Sebenarnya sudah lama saya mau menulis soal ini.
ADVERTISEMENT
Soal jabatan dan sengkarut yang melatarinya terutama terkait jual beli jabatan dan keterlibatan para pejabat dalam kasus korupsi kepala daerah. Keinginan itu seperti mendapatkan momentum ketika mengetahui dalam OTT kali ini ada puluhan pejabat yang ikut ditangkap KPK.
Kiranya, kata meritokrasi adalah keabsurdan dalam dunia birokrasi kita. Sebagai diksi meritokrasi bermakna terang dan jelas. Sebagai praktik, meritoktasi mengisyaratkan hal-hal lain yang serba relatif. Tergantung pada ruang kuasa dan jejaring yang melingkupinya.
Pada titik ini, menduduki atau mengemban suatu jabatan tidak berarti telah memenuhi indikator-indikator ideal dari berjalannya pengisian stratifikasi jabatan dalam konteks meritokrasi secara legal-formal. Apa yang terjadi pada OTT Bupati Probolinggo, Puput Tantri Santiana dan OTT Bupati Pemalang, Mukti Agung Wibowo pada tahun 2021 serta OTT Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi pada tahun 2022 semua terkait jual beli jabatan. Uniknya, OTT terkait jual beli jabatan mayoritas terjadi di daerah.
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah para kepala daerah yang ter-OTT itu tidak ingin dibantu oleh para individu ASN yang cakap dan pantas menduduki jabatan sesuai mekanisme legal formal yang terjadi? Apakah para kepala daerah yang ter-OTT tersebut telah sedemikian kehilangan kreativitas untuk mengumpulkan pundi-pundi atas nama balik modal saat proses elektoral?
Atau yang terjadi sebenarnya adalah mutualisme ilegal antar dua pihak yang menumpang pada pemenuhan tahapan prosedural belaka?. Saya akan mencoba berbagi pemikiran dan sedikit gagasan untuk mengeliminasi praktik-praktik yang sama sekali bertentangan dengan nilai-nilai profesionalisme sebagai aparatur negara.

Memaknai (Jual-Beli) Jabatan

Ilustrasi korupsi Foto: Thinkstock
Berangkat dari kerangka pemikiran yang ideal, Grand Design Reformasi Birokrasi Indonesia 2010-2025 yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 dan turunannya berupa Road Map Reformasi Birokrasi yang disusun oleh Kemenpan-RB dan berlaku selama lima tahun yang bertujuan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik ternyata masih belum berhasil.
ADVERTISEMENT
OTT kepala daerah beserta para pejabatnya termasuk dalam kasus jual-beli jabatan adalah bukti sahih. Ada kesenjangan yang nyata antara konsep-konsep ideal dalam reformasi birokrasi dan praktik di lapangan.
Misalnya, ketika saya menuliskan meritokrasi pada bagian awal tulisan ini maka pemerintah mencoba menyediakan seperangkat aturan main beserta lembaga formal yang bertugas mewujudkannya. Melalui UU Nomor 5 Tahun 2013 tentang Aparatur Sipil Negara dibentuk Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Misi KASN yang pertama adalah untuk mengawasi pelaksanaan nilai dasar, kode etik, kode perilaku, dan netralitas serta penerapan sistem merit dalam kebijakan dan manajemen ASN. Kedua, KASN Melaksanakan tata kelola KASN yang mandiri, profesional, dan akuntabel.
KASN juga memiliki tugas mulia yaitu: Menjaga netralitas Pegawai ASN; Melakukan pengawasan atas pembinaan profesi ASN; serta melaporkan pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan Manajemen ASN kepada Presiden.
ADVERTISEMENT
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi juga tidak tinggal diam. Ada seabrek aturan dan banyak upaya untuk mewujudkan visi Presiden RI yaitu mewujudkan ASN kelas dunia.
Sekilas, tak ada masalah. Piranti hukum telah tersedia. Kelembagaan pun ada namun ternyata kasus OTT dengan latar jual beli jabatan dengan berbagai modus tetap ada. Sekiranya, fenomena ini mau dihadapkan secara diametrial dengan kualitas layanan publik sepertinya ada benang merahnya.
Menurut Public Service Index yang disusun The Global Economy tahun 2022, kualitas layanan publik di Indonesia pada peringkat 79 dari 177 negara dengan indeks 6,20. Kalah dengan negara seperti Malaysia dan Vietnam dengan indeks 4,00 serta Thailand dengan indeks 3,70. Untuk diketahui semakin kecil angka indeks maka semakin baik kualitas layanan publik yang diberikan.
ADVERTISEMENT
Kembali pada konteks jabatan yang diperjualbelikan tadi korban sesungguhnya adalah masyarakat di daerah yang bersangkutan. Mereka tak pernah mendapatkan layanan publik yang betul-betul berkualitas.
Korban dalam skala yang lebih kecil adalah individu ASN yang memiliki kapasitas dan kualitas namun tidak mau ikut-ikutan terjebak dalam interest game dalam bentuk apapun. Ada semacam pola yang diwajarkan. Anda akan disebut sok idealis, aneh atau naif ketika tidak mau terlibat dalam praktik-praktik ilegal yang diwajarkan.
Maka pertanyaannya kemudian, untuk apa ada kompetensi manajerial, kompetensi teknis dan kompetensi sosio-kultural yang harus dimiliki seorang ASN jika kemudian untuk menduduki jabatan segenap kompetensi tersebut harus tunduk pada pemenuhan konsesi tertentu. Secara tak langsung siapapun yang secara sadar terlibat pada proses pencarian dan kesepakatan konsesi dimaksud justru inkompetensi alias tidak kompeten!
ADVERTISEMENT
Pola dan relasi seperti ini bukan tidak diketahui oleh pemerintah di level pusat serta kementerian/lembaga yang berwenang untuk menjalankan reformasi. Problemnya rentang kendali yang luas tidak serta merta dipungkasi dengan regulasi yang ketat.
Ambil contoh lain, KASN terlibat dalam proses seleksi terbuka, lelang jabatan atau open bidding, baik dalam konteks pengawasan atau panitia. Sayangnya, KASN setahu saya, sampai saat ini belum bisa menekankan agar peringkat pertama yang harus dipilih.
Lucunya, peringkat pertama dalam open bidding tidak otomatis akan menjadi sosok yang terpilih untuk menjadi pengisi jabatan yang dilamarnya. Biasanya peringkat 3 besar saja yang diumumkan. Ada frasa pamungkas, “pilihan diserahkan kepada user. Dalam hal ini kepala daerah yang bersangkutan”.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini sama saja menihilkan makna sesungguhnya dari seleksi itu sendiri. Seleksi adalah untuk memilih yang terbaik. Logika yang bolak-balik bukan? Akan ada yang berkilah, peringkat pertama bukan jaminan bisa bekerja dan bekerja sama.
Lha, apakah yang bersangkutan sudah mulai bekerja pada jabatan yang dilamarnya sehingga langsung bisa dinilai seketika? Kalau ternyata setelah menjabat dalam periode tertentu dan Key Index Performance yang bersangkutan tidak bagus maka tinggal digantikan individu yang menduduki peringkat kedua dan seterusnya. Maka, yang namanya talent pool sudah berjalan dengan sendirinya.
Jadi jangan sekali-kali membantah hasil seleksi yang terukur dengan penilaian yang subjektif dan bias personal. Itu absurd sekali, kawan!

Beberapa Gagasan

Ilustrasi penolakan. Foto: Shutter Stock
Berkaca dari kasusbanyaknya kepala daerah lain yang terkena OTT terutama terkait jual beli jabatan maka sudah saatnya pemerintah memikirkan ulang strategi untuk memastikan pengisian jabatan formal pemerintahan berlangsung dengan transparan dan terukur.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa gagasan yang dilatari oleh kebijakan yang telah dijalankan oleh pemerintah saat ini dalam rangka reformasi birokrasi. Pertama, pengisian jabatan seyogyanya diserahkan mekanismenya secara utuh kepada KASN dan disertai dengan pengawasan dan audit berkala yang melibatkan K/L terkait.
Sudah saatnya pintu atau celah untuk negosiasi ditiadakan. Misalnya membuat aturan yang menyatakan peringkat pertama dalam seleksi terbuka harus dipilih dan diangkat dalam jabatan yang dilamarnya.
Kedua, meneruskan dan mengkongkritkan penyederhanaan birokrasi yang disampaikan oleh Presiden RI, Joko Widodo pada tahun 2019 dengan menjadikan struktur eselonisasi hanya dua tingkatan yaitu eselon I dan II. Sisanya adalah jabatan fungsional yang berbasiskan kompetensi. Secara tak langsung, kebijakan ini akan memotong ruang dan peluang terjadinya kesepakatan-kesepakatan jual beli jabatan dalam berbagai modus.
ADVERTISEMENT
Ketiga, meski tak berhubungan langsung, sudah saatnya untuk mempertimbangkan usulan menghilangkan hak pilih bagi ASN dalam setiap momen pemilihan umum. Netralitas ASN itu mestinya tidak ke kanan atau ke kiri. Ia harus berdiri, tegak lurus di tengah.
Sebagai penyelenggara negara ASN punya posisi yang sejajar dengan TNI dan Polri. Jika alasannya TNI dan Polri tidak punya hak dipilih dan memilih karena fungsi pertahanan dan keamanan yang diembannya. ASN dengan fungsi penyelenggaraan pemerintahan termasuk pengelolaan keuangan negara yang tersebar di seluruh Indonesia tidak kalah potensialnya untuk disalahgunakan demi proses elektoral.
Tabik!