Menimbang Usulan Perubahan Masa Jabatan Kepala Desa Jadi 9 Tahun

Andy Arnolly Manalu
ASN, di Kota Jambi. A Floydian and KLanis.
Konten dari Pengguna
29 Januari 2023 15:54 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andy Arnolly Manalu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kepala desa dan aparatur desa sedang mengikuti pelatihan (Foto: Dokumentasi pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Kepala desa dan aparatur desa sedang mengikuti pelatihan (Foto: Dokumentasi pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat di bangku kuliah, salah satu materi ajar yang melekat di kepala saya hingga saat ini adalah otonomi asli itu ada di desa. Jauh sebelum ada pemilihan umum secara langsung, masyarakat desa telah terbiasa memilih pemimpinnya melalui mekanisme one man one vote.
ADVERTISEMENT
Kekuasaan sentralistik Presiden Soeharto tidak mengubah ketentuan tersebut meski ada penyeragaman penyebutan nama desa melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang ini, kelak menjadi dasar penghapusan kelembagaan desa beserta fungsinya yang khas dan melemahkan demokrasi lokal. Ketika reformasi bergulir, dua alasan yang dipergunakan untuk mendorong desentralisasi adalah pemerataan kesejahteraan dan demokratisasi di tingkat lokal.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kelak lebih dikenal sebagai tonggak pemberian otonomi daerah hanya berjarak setahun dari keruntuhan Orde Baru pada bulan Mei 1998. Selang 16 tahun kemudian, barulah terbit Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Tepatnya, disahkan dan diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014.
Setahun kemudian, Dana Desa yang bersumber dari APBN mulai diluncurkan pemerintah sampai saat ini. Entah kebetulan atau tidak pada tanggal 17 Januari 2023 atau 9 tahun setelah UU Desa diterbitkan para kepala desa yang tergabung dalam PAPDESI (Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) berdemonstrasi di depan Gedung DPR RI menuntut perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun.
ADVERTISEMENT
Salah satu amanat UU Desa adalah mengatur masa jabatan kepala desa selama 6 tahun dan dipilih untuk 3 kali masa jabatan. Tuntutan para kepala desa agar masa jabatan diperpanjang tidak datang dari ruang kosong.
Wacana perubahan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun dikemukakan oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar saat bertemu dengan para pakar di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada medio Mei 2022. Meskipun formulasi berubah namun batas jabatan kepala desa tetap 18 tahun.
Menanggapi demonstrasi para kepala desa tersebut, Gus Menteri demikian beliau sering disapa menyatakan bahwa masa jabatan kepala desa sembilan tahun akan menguntungkan masyarakat. Selain itu, perpanjangan masa jabatan kepala desa bisa menekan konflik akibat pemilihan kepala desa (pilkades). Faktanya konflik polarisasi usai Pilkades nyaris terjadi di seluruh desa.
ADVERTISEMENT
Sebagian yang kontra dengan usulan ini menilai bahwa ada agenda politik yang melatarinya. Ada pula yang mempertanyakan aspek regenerasi kepemimpinan jika masa jabatan seorang kepala desa menjadi 9 tahun. Menariknya, Ketua MPO Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Muhammad Asri Anas mengungkapkan, hanya 15 persen kepala desa di seluruh Indonesia yang menginginkan masa jabatannya diperpanjang menjadi 9 tahun.
Menurut Asri, pihaknya tidak berfokus pada masa jabatan, tetapi pada penataan kewenangan dan anggaran dana desa. Dalam diskusi dengan salah satu partai politik, Rabu 25 Januari 2023.
"Kalau misalnya ada ide 9 tahun, standing kami di APDESI itu sesungguhnya nggak ngoyo, nggak ngejar. Kalau kita mau mengejar persentase, hanya 15 persen kepala desa yang benar-benar ingin perpanjangan masa 9 tahun. Jauh lebih banyak yang tidak mengingankan. Teman-teman fokus pada penataan kewenangan dan anggaran dana desa yang lebih besar," katanya.
ADVERTISEMENT
Asri juga mengatakan, jika masa jabatan kepala desa diperpanjang, potensi korupsi bisa meningkat. Maka dari itu, wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa yang disorot merupakan upaya politisasi yang dilakukan berbagai pihak menjelang Pemilu 2024.

Relevansi Masa Jabatan 9 Tahun

Desa memiliki sistem sosial budaya dan kekerabatan yang unik. Termasuk dalam penyelesaian konflik yang terjadi di tengah masyarakat desa. Problem konflik sosial yang terjadi akibat Pilkades sejak dulu sudah ada meski eskalasinya tidak seperti saat ini. Konflik sebelum adanya UU Desa cenderung parsial dan tidak sampai mengganggu stabilitas kelembagaan pemerintahan desa.
Setelah adanya UU Desa lain ceritanya. Setidaknya ada dua faktor pembeda yaitu keberadaan Dana Desa dan perkembangan jejaring politik lokal yang mengakar sampai ke tingkat desa. Dana Desa menjadi isu yang seksi karena kepala desa terpilih akan memiliki akses untuk mengelola anggaran yang terbilang besar untuk ukuran mayoritas desa-desa di Indonesia. Kedua, bukan rahasia lagi kalau kepala desa meskipun dilarang terlibat dan menjadi anggota partai politik secara klandestin kerap menjadi perpanjangan kepentingan politik kekuasaan di atasnya.
ADVERTISEMENT
Pertama, mari melihat relevansi usulan masa jabatan kepala desa selama 9 tahun ini dengan apa yang disampaikan oleh Gus Menteri. Jika parameter perubahan masa jabatan adalah polarisasi dan konflik maka cukup bisa diterima. Penulis, kebetulan pernah beberapa kali berada dalam posisi menengahi konflik pasca Pilkades.
Gagasan rekonsiliasi misalnya mengajak calon kepala desa yang kalah menjadi perangkat desa atau BPD pernah dicoba namun pada praktiknya tetap ada perang dingin dengan kepala desa terpilih. Belum lagi karena faktor kekerabatan yang kuat, polarisasi tersebut bisa menyebar luas.
Dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk membuat relasi sosial pihak-pihak yang terlibat mencair. Sementara di satu sisi, sejak penetapan dan pelantikan kepala desa terpilih roda pemerintahan dan pembangunan desa harus dijalankan. Kondisi yang tidak ideal inipun tidak bisa diprediksi tenggat waktu konsolidasinya.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa tidak maksimal. Kepala desa terpilih beserta aparatur desa lebih sering disibukkan dengan urusan-urusan yang tidak berhubungan langsung dengan tugas dan fungsinya.
Usulan masa jabatan 9 tahun ini dapat dilihat dari kacamata positif yaitu memberi tambahan waktu untuk kepala desa menunaikan visi dan misi sebagai perwujudan janji politiknya. Tentu saja, dibutuhkan persiapan instrumen pengawasan dan regulasi yang ketat untuk memastikan ada perbedaan yang signifikan dari aspek target penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan masa jabatan kepala desa 9 tahun dibandingkan 6 tahun.
Kedua, perpanjangan masa jabatan kepala desa juga berimplikasi kepada perencanaan pembangunan desa. Hal ini sangat penting untuk dipikirkan mengingat masa jabatan 9 tahun ini hampir dua kali lipat masa jabatan bupati/wali kota, gubernur dan presiden. Dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah lazimnya 5 tahun.
ADVERTISEMENT
Saat ini, Kementerian Dalam Negeri telah mendorong penggunaan aplikasi Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) oleh Provinsi dan Kabupaten/Kota. SIPD untuk kabupaten/kota telah sampai ke tingkat desa sebagai satuan pemerintahan terkecil dalam input usulan ataupun perencanaan pembangunan.
Artinya dibutuhkan terobosan untuk mengatasi adanya kesenjangan periode masa berlaku jabatan sekaligus dokumen perencanaan. Mengingat dokumen perencanaan pembangunan desa harus memenuhi aspek sinkronisasi dan harmonisasi dengan dokumen perencanaan satuan pemerintahan di atasnya.
Ketiga, penambahan masa jabatan kepala desa akan berdampak pada kemungkinan (tuntutan) penambahan masa jabatan kelembagaan desa lainnya seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD) termasuk aparatur desa dari aspek-aspek lainnya. Hal ini perlu diantisipasi sejak awal agar tidak ada potensi permasalahan secara kelembagaan dan struktural dalam pemerintahan desa.
ADVERTISEMENT