Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca: Tantangan dan Peluang di Daerah
23 Mei 2024 9:53 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Andy Arnolly Manalu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris pada tahun 2016 untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat Celsius dari tingkat pra-industri. Perjanjian ini menetapkan untuk peningkatan kapasitas dan ketahanan adaptif, mengurangi kerentanan terhadap bahaya perubahan iklim dan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan. Berbeda dengan Protokol Kyoto yang menekankan tanggung jawab pengurangan emisi GRK berada pada negara maju maka Perjanjian Paris meletakkan tanggung jawab untuk mengurangi emisi secara lebih proporsional dengan asumsi bahwa negara berkembang juga dapat menjadi penyumbang utama emisi GRK.
ADVERTISEMENT
Konvensi Internasional untuk Perubahan Iklim ke-28 (COP 28) yang berlangsung pada tahun 2023 di Dubai, Uni Emirat Arab memberikan ruang kepada Non-Party Stakeholders yang di dalamnya termasuk Pemerintah Daerah dapat memberikan kontribusi penurunan emisi GRK sebesar 20 Gt CO2eq pada tahun 2030. Nationally Determined Contribution (NDC) sebagai komitmen Indonesia terhadap Perjanjian Paris bertujuan membantu transformasi sistem, pembangunan rendah karbon dan pencapaian target pembangunan yang berketahanan iklim tak terkecuali di daerah untuk mencapai target penurunan emisi GRK.
Saat ini, kegiatan penting yang sedang terjadi di seluruh Pemerintah Daerah adalah penyusunan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah atau biasa disingkat dengan RPJPD yang berlaku selama 20 tahun. Sejalan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak yang dimulai pada tahun 2015 dan berakhir pada November tahun 2024 maka untuk pertama kalinya periodeisasi dokumen perencanaan pembangunan di Indonesia dari pusat sampai ke daerah akan dimulai dan berakhir pada tahun yang sama yaitu tahun 2025-2045. Pemerintah melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri memastikan terwujudnya keselarasan RPJPD Tahun 2025-2045 yang merujuk pada RPJPN Tahun 2025-2045 melalui mekanisme pendampingan dan konsultasi berjenjang. Salah satu visi sasaran dari 5 sasaran Visi Indonesia Emas 2045 adalah Intensitas Penurunan emisi GRK menurun menuju net zero emission. Persentase penurunan emisi GRK juga menjadi 1 dari 45 indikator utama pembangunan nasional ke daerah yang masuk ke dalam landasan transformasi sebagai misi ke-5 dari 8 misi agenda pembangunan transformasi menyeluruh.
ADVERTISEMENT
Gambaran singkat di atas merupakan pintu masuk yang tepat untuk memikirkan ulang, merancang konsep pendekatan, kebijakan dan program yang dapat berkontribusi terhadap penurunan emisi GRK di tingkat daerah. Mengingat kontribusi pemerintah daerah akan menjadi agregasi mencapai sasaran 2045 yaitu penurunan emisi GRK sebesar 51,51% secara kumulatif dari baseline 28,16% pada tahun 2025 dan 80,98% secara tahunan dari baseline 32,65% pada tahun 2025 sebagaimana termuat dalam Rancangan Akhir RPJPN Tahun 2025-2045.
Tantangan Penurunan Emisi GRK di Daerah
Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon memberikan mandat kepada Pemerintah Daerah melakukan Inventarisasi Emisi GRK untuk penyusunan dan penetapan baseline, penyusunan dan penetapan target dan penyusunan serta penetapan rencana aksi mitigasi yang didahului pemantauan, pengumpulan data aktivitas, faktor emisi dan penghitungan emisi GRK. Dalam konteks penyusunan baseline, penetapan target dan perencanaan aksi mitigasi merupakan kewenangan pemerintah provinsi namun dalam pelaksanaan dan pemantauan mitigasi menjadi tanggung jawab Gubernur dan Bupati/Walikota.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini memang menunjukkan adanya alur yang terputus meskipun dalam praktiknya pemerintah provinsi dipastikan mengundang atau melibatkan perwakilan pemerintah kabupaten/kota dalam proses penetapan. Secara sederhana alur yang terputus yang dimaksud adalah kondisi di mana pemerintah daerah setingkat kabupaten/kota kesulitan untuk menginterpretasikan pencapaian target dan aksi mitigasi ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah yang sifatnya lintas sektoral. Mengingat sektor-sektor yang berkontribusi terhadap emisi GRK diampu oleh beberapa Perangkat Daerah. Ada beberapa penyebab yang menjadi tantangan, seperti: Pertama, tidak tersosialisasikannya dengan baik dokumen perencanaan mitigasi perubahan iklim yang dibuat pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota.Kedua, atensi pemerintah kabupaten/kota terhadap isu-isu perubahan iklim tidak sebesar upaya pemenuhan target pencapaian visi dan misi yang diakumulasikan dalam dokumen rencana pembangunan daerah jangka menengah. Ketiga, isu emisi GRK dan perubahan iklim dapat dirasakan tapi belum menjadi kesadaran kolektif yang menjadi salah satu determinan utama dalam merumuskan kebijakan dan program pembangunan di daerah. Padahal agregasi dari penurunan emisi GRK di tingkat kabupaten/kota merupakan capaian target di tingkat provinsi. Begitu pula keberhasilam pelaksanaan mitigasi perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Peluang Penurunan Emisi GRK di Daerah
Kewajiban untuk melakukan penyelarasan RPJPD Tahun 2025-2045 dengan RPJPN 2025-2045 dalam perjalanannya mendatangkan perdebatan terutama di kalangan insan perencanaan pembangunan di daerah. Alasan paling utama adalah karena karateristik dan isu utama pembangunan di masing-masing daerah relatif tak sama, sumber daya manusia yang berbeda dari segi kualitas dan kuantitas serta kemampuan pembiayaan. Namun penulis melihat kewajiban penyelarasan ini sebagai sebuah berkah terselubung. Memang secara teknis, pemerintah kabupaten/kota masih diberikan ruang untuk menggantikan indikator utama pembangunan nasional ke daerah dengan indikator yang dianggap berada pada aras yang sama. Dalam kasus penurunan intensitas emisi GRK, misalnya pemerintah kabupaten/kota diperbolehkan menggunakan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH). Persoalannya, IKLH yang merupakan akumulasi Indeks Kualitas Air, Indeks Kualitas Tanah dan Indek Tutupan Lahan memiliki substansi yang berbeda dengan pengukuran emisi GRK termasuk tindak lanjut penanganannnya. Bisa dibayangkan, alangkah absurdnya jika selama 20 tahun ke depan, kondisi ini terus dipertahankan tanpa adanya upaya serius untuk mengetahui tingkat emisi GRK pada level kabupaten/kota sementara ancaman perubahan iklim semakin nyata dan membutuhkan solusi yang kongkrit dan dapat dieksekusi.
ADVERTISEMENT
Dari tanggal 14-17 Mei 2024, bertempat di salah satu hotel di kawasan Jakarta Barat, ICLEI-Local Governments for Suistainability yang bekerja sama dengan WWF Indonesia, CDP Indonesia dan Koaksi Indonesia menghelat kegiatan pelatihan dalam rangka peningkatan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan inventarisasi emisi GRK. Kegiatan ini dihadiri oleh anggota ICLEI Indonesia dan undangan lain yang merupakan perwakilan dari 31 pemerintah daerah. Selama tiga hari, seluruh peserta diajak untuk memahami urgensi penurunan emisi GRK yang erat kaitannya dengan diksi “keberlanjutan” yang menjadi salah satu kata kunci dalam Visi Indonesia Emas 2045 dan diadopsi dalam visi RPJPD tahun 2025-2045 di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Setelah itu, dilanjutkan dengan pelatihan tematik Inventarisasi Emisi GRK sektor sampah/limbah, sektor energi, sektor Agriculture, Forestry and Other Land Use (AFOLU) yang mencakup pengenalan metodologi dan kerangka konseptual Inventarisasi Emisi GRK. Para peserta kemudian diajak untuk belajar bersama memanfaatkan dan melakukan ujicoba kalkulasi Inventarisasi GRK dengan memanfaatkan tools yang telah disiapkan dengan menginput data awal yang berpotensi menjadi penyumbang faktor emisi dari berbagai sektor. Pada hari terakhir, para peserta diperkenalkan dengan metode yang digagas One Planet Cities Challenge (OPCC) yaitu Penyusunan Target Mitigasi Perubahan Iklim Dengan Menggunakan Pendekatan Berbasis Sains (Science-based Target) dan Strategi Penyusunan Rencana Aksi Mitigasi Perubahan Iklim Daerah: Priotisasi Aksi Mitigasi dan Penataan Kelembagaan Pengendalian Perubahan Iklim Daerah. Kegiatan ini dipungkasi dengan Rencana Tindak Lanjut dan Evaluasi Pelatihan.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan pentingnya, setelah ini apa? Dalam sudut pandang penulis, kegiatan ini bertemali dengan salah satu tantangan untuk memenuhi Indikator Utama Pembangunan Nasional ke Daerah yaitu persentase penurunan emisi GRK. Materi yang disampaikan termasuk tools yang diberikan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu model pendekatan untuk menyusun dokumen Inventarisasi Emisi GRK di tingkat kabupaten/kota. Tentunya, seperti yang disampaikan salah satu narasumber pemanfaatan tools ini harus tertuang dalam dokumen resmi Pemerintah Daerah dan telah mendapatkan validasi dari pihak-pihak yang memiliki keahlian. Itu sebabnya, seperti yang telah diungkapkan sebelumnya kegiatan ini merupakan berkah terselubung yang membutuhkan tindak lanjut yang kongkrit.
Beberapa gagasan yang dapat penulis kemukakan antara lain: Pertama, penataan dan penguatan kelembagaan yang bertugas untuk melakukan Inventarisasi Emisi GRK di daerah. Perangkat Daerah yang mengampu sektor-sektor yang berkontribusi terhadap emisi GRK harus membentuk kelompok kerja yang bertugas melakukan Inventarisasi emisi GRK yang dapat dipergunakan sebagai baseline riil pada periode RPJMD Pertama (2025-2030). Kedua, Berkaca pada proses penyelarasan RPJPD Tahun 2025-2045 dengan RPJPN Tahun 2025-2045, dirasa perlu untuk Kementerian/Lembaga terkait isu GRK yang berkoordinasi dengan Kemendagri untuk secara khusus menerbitkan surat dan panduan Inventarisasi Emisi GRK serta dasar hukum penganggaran yang spesifik sehingga tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Ketiga, Para Pengambil Kebijakan di level top management dalam lingkup Pemerintah Daerah perlu untuk terus diberikan pemahaman dan internalisasi nilai-nilai terkait pentingnya Inventarisasi Emisi GRK yang bertujuan memperkuat penetrasi kebijakan dan program yang berkontribusi terhadap penurunan emisi GRK.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, kerja-kerja untuk perubahan tidak bisa dilakukan sendiri. Kolaborasi mungkin terdengar sebagai kata yang utopis di tengah kecenderungan masyarakat kita yang kian individualis. Toh, tak perlu harus menunggu agar lagu ciptaan Sang Trubador, Iwan Fals, Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi menemukan relevansi yang seutuhnya dalam hari-hari kita di masa yang akan datang.
Tabik!