Ucapan Ulang Tahun untuk Pak Jokowi dan Harapan Kawan Saya

Andy Arnolly Manalu
ASN, di Kota Jambi. A Floydian and KLanis.
Konten dari Pengguna
22 Juni 2022 20:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andy Arnolly Manalu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Aparatur Sipil Negara
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Aparatur Sipil Negara
ADVERTISEMENT
Kawan saya, Petrus Polyando dengan indah menuliskan opini bertajuk, “Alegori IPDN sebagai Jawaban Kekosongan Negarawan Kalokagathos. Goresan yang tertuang dari Permenungan”. Polyando yang saat ini mengabdi sebagai dosen di Institut Pemerintahan Dalam Negeri menggunakan sudut pandang para filsuf awal untuk menjelaskan bagaimana kepemimpinan cum ke(negarawan)an idealnya menyatu dalam sosok yang sama dalam spirit serupa Kalokagathos.
ADVERTISEMENT
Sosok imajiner yang diidamkan oleh Aristoteles, Plato, Xenophon sampai Herodotus dengan berbagai pilihan terminologi yang pada dasarnya berpijak kepada intelektualitas dan moralitas. Dalam kerangka berpikir yang lumayan runut, Polyando mengambil contoh institusi tempatnya mengabdi sebagai lokus paideia (Kawah Chandradimuka) pembentukkan individu-individu kader pemerintahan yang kelak telah tertanam dalam sanubari, sikap dan pola pikirnya nilai-nilai Kalokagathos.
Saya memilih tidak masuk dalam diskusi yang lebih intens mengenai proses pendidikan di IPDN dalam kaitannya dengan menghasilkan kader pemerintahan yang memiliki nilai-nilai kenegarawanan. Alasannya sederhana, saya tidak punya data yang cukup untuk mengomentarinya. Saya justru merasa tergeletik karena tulisan Polyando kembali mengingatkan bahwa pelaksanaan kepemimpinan yang baik tidak berhenti pada aspek prosedural dan administrasi formal. Kepemimpinan yang baik mencakup laku kenegarawanan yang layak menjadi suri teladan bagi bawahan sampai rakyat kebanyakan.
ADVERTISEMENT
Pagi ini, sebelum mulai menulis untuk keperluan penyusunan kertas kerja dan beberapa tulisan yang harus tuntas sebagai syarat mengikuti beberapa kegiatan, saya menyesap secangkir kopi pahit. Sebuah rutinitas yang mungkin sudah jadi pakem dan dilakukan seraya jemari berselancar di layar gawai. Mata saya tertumbuk pada status aplikasi berbagi pesan seorang kawan lama yang melampirkan gambar berisi ucapan selamat ulang tahun kepada Presiden Joko Widodo disertai caption yang bunyinya saya kutip utuh, “Semoga kebijakanmu terhadap reformasi ASN membuahkan hasil yang baik dan tidak sebaliknya. Amin.” Kawan saya ini kebetulan mengabdi di sebuah kementerian dan terdampak kebijakan penyetaraan jabatan struktural ke dalam jabatan fungsional akhir tahun 2021. Kabar terakhir, namanya juga masuk dalam tiga besar Seleksi JPT Pratama di sebuah kementerian yang lain. Kawan-kawan saya memang cerdas dan berprestasi semua...hahaha.
ADVERTISEMENT
Inspirasi datangnya terduga. Entah itu menyangkut dimensi waktu atau asal-mula. Kedua lontaran pemikiran kawan tersebut kemudian mendasari saya untuk kembali memeriksa kekedalaman mengenai isu-isu kepemimpinan, penyelenggaraan pemerintahan dan memudarnya nilai-nilai kenegarawanan. Akhirnya, saya memutuskan untuk menuliskannya dalam platform yang disediakan oleh kumparan.
Intelektualitas dan Moralitas, mungkinkah sejalan?
Salah satu diskursus penting dan nyaris tak berkesudahan dalam kepemimpinan adalah menyandingkan antara intelektualitas dan moralitas. Meminjam permenungan Polyando dalam opininya, sosok Kalokagathos itu meskipun dia dibenci, ditentang oleh masyarakat karena perilakunya yang berbeda (unik) dari kebiasaan/budaya masyarakat, namun dia tetap memelihara fokus untuk mengubah pakem sosial yang menyiksa dalam alam tradisi tersebut. Dia bekerja mandiri bukan menggantungkan pada keterberian atau fasilitas yang ada, namun keluar dari kebiasaan dan lingkungan nyaman, menggapai tujuannya dan kembali memperbaharui kondisi komunitasnya agar keluar dari goa kegelapan.
ADVERTISEMENT
Simpelnya, jika seseorang sudah bisa mempraktekkan intelektualitas yang dalam tataran praksis telah memenuhi standar moral maka dia patut didapuk sebagai sosok pemimpin paripurna atau Kalokagathos. Persoalannya, praktek kepemimpinan dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat patuh pada aspek prosedural, menjalankan regulasi demi regulasi dan berorientasi target. Dalam ketiga aspek ini, konsep moral ditaruh dalam definisi yang abstrak kalau tidak boleh dikatakan cair atau bahkan tak jelas. Kita ambil contoh, ketika Menteri Keuangan menyindir Pemerintah Daerah yang dananya masih banyak mengendap di rekening (20/02/2022).
Dalam konteks intelektualitas, kritik tersebut adalah sah dan menggambarkan ada yang kurang tepat dengan pengelolaan keuangan di daerah. Dalam konteks konsep moral, perlu diperiksa apakah banyaknya anggaran daerah yang masih tersimpan di bank karena prinsip kehati-hatian, kecermatan dalam mengeksekusi program/kegiatan dengan keterpenuhan variabel dan kondisi terkini. Antara penyerapan anggaran dan penyebaran (penerima manfaat) bukankah sesuatu yang tidak bisa dinegosiasikan juga, Bu Menteri? Sebagian ada yang berkilah, “kalau ikut dan patuh aturan kenapa harus takut?”
ADVERTISEMENT
Nah, pada titik inilah jawaban bahwa praktek kepemimpinan dan kenegarawan ternyata tidak cukup dipraktekkan secara simultan oleh individu tertentu tapi juga kolektif. Susah untuk membantah bahwa praktek kepemimpinan kita masih dipenuhi nuansa transaksional. Konstruksi kepemimpinan yang didalamnya mempraktekkan kenegarawanan tidak memberi ruang pada praktek-praktek negosiasi karena untuk negara tidak ada yang patut dinegosiasikan dari kepentingan orang per orang. Tidak pernah sebanding kebutuhan komunitas dengan keinginan privat.
Tak sedikit penyelenggara negara yang mau berkomitmen untuk melaksanakan tugas dan pengabdian dengan penuh integritas. Jargon berAKHLAK misalnya, jika dipelajari dan dicermati bisa dipraktekkan dan akan mendorong reformasi birokrasi yang telah memasuki periode terakhir dari grand strategy RB 2010-2025 menjadi agile, adaptable dan berorientasi pada output dan outcome. Sayangnya, mereka masih belum bisa maksimal memberikan daya ungkit. Status aplikasi berbagi pesan kawan yang saya kutip di atas berada pada zona ini.
ADVERTISEMENT
Jadi, apakah intelektualitas dan moralitas bisa berjalan seiring dalam praktek kepemimpinan? Jawabnya bisa namun jika dia hanya menjadi praktek par excellence bukan praktek pemimpin secara kolektif maka ruang abu-abu itu akan tetap ada dan bertebaran. Alhasil, kebijakan Presiden Jokowi Widodo yang disampaikan oleh kawan saya tadi akan berprogress lambat dan lamat-lamat.
Beberapa pilihan
Salah satu tuduhan serius terhadap pemikirin Platon adalah julukannya sebagai Bapak Totaliterisme. Sebuah tafsir ideologi dalam historiografi peradaban manusia yang pernah mendatangkan banyak kedukaan. Saya kira Totaliterisme sudah tak laku. Pengecualian mungkin masih berlaku untuk sedikit negara. Dalam praktek kepemimpinan mondial bahkan kalaupun ada, ianya akan dihadapkan pada bengisnya ruang baru pembentukan opini publik yang digaungkan beragam platform media sosial. Mungkin secara sinikal saya termasuk yang bersepakat bahwa pemimpin yang memilki intelektualitas dan moralitas dalam satu tarikan nafas hanya bisa dipilih dan terpilih dalam mayoritas masyarakat yang telah tercerahkan pula secara intelektual serta memahami nilai-nilai moral yang universal.
ADVERTISEMENT
Menjadi pemimpin yang negarawan justru akan menghindarkan diri dari perilaku totaliterisme. Ide Plato tentang Kalokagathos lebih mengarah kepada pemikiran sosok ideal bukan ideologi. Itu sebabnya konsep ideal tersebut akan didudukkan ulang dalam kerangka kebutuhan dan keadaan organisasi. Para sosok Kalokagathos sebagaimana disampaikan Polyando salah satunya bisa dibentuk dalam proses pendidikan seperti di IPDN.
Ianya juga bisa terbentuk melalui adagium “non scholae sed vitae discimus” yang secara harfiah berarti bukan untuk sekolah tapi untuk hidup kita belajar. Perubahan kebijakan seharusnya membuat kita lebih tekun belajar, bermakrifat melawan syahwat individual dan kian menyelaraskan antara hubungan horizontal dengan hubungan vertikal sebagai insan yang fana. Semua ini tentu saja tak akan berimplikasi luas dan cepat jika hanya dilakukan secara individual. Kita membutuhkan kolektivitas dalam kerja-kerja yang kolaboratif. Terakhir kawan saya itu mengirim pesan, “mungkin perubahan demi perubahan menuju birokrasi yang lebih agile baru akan tercapai puluhan tahun kemudian, sekarang baru menjelang dua tahun, kira-kira menjelang pensiunlah baru tercapai makna dari birokrasi level 2 itu..”. Saya menangkap tetap ada optimisme di sana.
ADVERTISEMENT
Sungguh, yang kita butuhkan memang optimisme. Sesekali menjadi sinis itu baik tapi sebagai insan yang dididik dalam penjuru Asta Brata dan Ambeg Paramaarta, pesimisme harus dibuang jauh-jauh! Semoga.
Penulis, Kerani di Bappeda Kab. Bungo.