Konten dari Pengguna

Urgensi BRIDA dan Tantangan Evidence Based Policy Making

Andy Arnolly Manalu
ASN, di Kota Jambi. A Floydian and KLanis.
10 Januari 2024 12:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andy Arnolly Manalu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Keberhasilan pengambilan kebijakan dalam implementasi diawali dengan proses perumusan yang baik. Salah satu pendekatan pengambilan kebijakan yang lazim dikenal adalah Evidence Based Policy (EBP) atau pengambilan kebijakan berdasarkan kajian terhadap bukti-bukti yang diperoleh sebelumnya. Secara singkat EBP menjadikan pencapaian target dalam periode sebelumnya sebagai basis perumusan kebijakan untuk periode berikutnya. Dalam praktiknya, EBP didahului dengan melakukan kajian terhadap seri data yang tersedia. Seri data dimaksud adalah bukti-bukti yang telah dipilah dan dikategorikan sesuai dengan bidang atau sektor kajian. Paling penting untuk dipastikan bahwa bukti-bukti tersebut harus relevan, representatif dan valid.
ADVERTISEMENT
EBP setidaknya memiliki dua tujuan. Pertama, menggunakan informasi dan pengetahuan yang diperoleh melalui kegiatan evaluasi dalam bentuk data yang telah diolah untuk perumusan kebijakan-kebijakan yang lebih berkualitas. Kedua, membangun pengetahuan dan pemahaman yang bermanfaat untuk pengambilan kebijakan dan keputusan yang lebih baik di masa yang akan datang. Untuk mencapai tujuan tersebut EBP dapat dilakukan melalui kajian yang bertujuan meningkatkan efektivitas program yang sudah ada atau justru menghapuskan lalu membuat kebijakan serta program yang baru. Kajian tersebut perlu didukung dengan kapasitas untuk melakukan analisis, koleksi data dan manajemen yang mencakup sumber daya manusia dan alokasi anggaran.
Pemerintah Daerah sebagai entitas yang menjalankan penyelenggaraan urusan negara dan pelayanan publik seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan dituntut mampu merumuskan kebijakan yang baik dan tepat. Kebijakan yang tepat tidak semata-mata menjalankan fungsi regulatif tapi memecahkan permalahan yang dihadapi secara efektif dan efisien. Konstruksi EBP merupakan langkah lanjut dari kerangka kerja yang bersifat partisipatif dan kolaboratif. Bukan saja antara institusi penyelenggara negara dengan perguruan tinggi, lembaga penelitian, perusahaan swasta dan pihak lain yang sering dikenal dengan skema triple helix dan penta helix tapi yang paling penting justru antar unit kerja. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, konstruksi perumusan EBP idealnya merupakan kolaborasi antar Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Bagaimana pun, harus diakui bahwa perumusan kebijakan yang ada selama ini masih jauh dari evidence based. Kalaupun ada yang berkilah telah mempertimbangkan data terkait, lazimnya hanya berhenti pada aspek pemenuhan formalitas dengan sedikit sekali melakukan forecast melalui metodologi ketat dan dapat dipertanggungjawabkan tingkat kesahihannya.
ADVERTISEMENT
Fakta ini, sedikit banyak menjawab mengapa sering kali produk kebijakan publik mengalami apa yang dikenal sebagai lack of implementation. Terlihat lengkap, runtut dan aplikatif namun ketika diimplementasikan ternyata tidak semua bisa dilaksanakan karena ketidaksesuaian atau ketiadaan aspek-aspek tertentu yang tadinya diperkirakan akan membuat kebijakan mencapai tujuan ideal. Perumusan kebijakan publik yang memposisikan semua faktor dalam kondisi Ceteris Paribus atau serba ideal adalah muasalnya. EBP, hakikatnya selain membantu merumuskan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan atau permasalahan dalam prosesnya akan memberikan informasi yang komprehensif terkait situasi yang melatari, faktor eksternal dan internal termasuk kemungkinan keterlibatan aktor-aktor kunci dengan peran masing-masing.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah di satu sisi dihadapkan setidaknya dua batasan yaitu waktu dan ketersediaan anggaran. Periodeisasi merupakan elemen waktu yang bersifat rigid dan memberikan batasan kepada pemerintah daerah dalam proses perencanaan sampai pelaksanaan. Ketersediaan anggaran merupakan elemen pembiayaan yang menunjukkan kemampuan daerah memberikan dukungan operasional implementasi kebijakan dalam bentuk program dan kegiatan. Keduanya tidak bisa dikompromikan karena merupakan bagian dari siklus perencanaan dan penganggaran berjenjang. Kedua Batasan ini merupakan salah satu barrier yang membuat EBP masih sulit terealisasi secara komprehensif dalam perumusan kebijakan di daerah. EBP membutuhkan pendekatan berbasis riset atau penelitian yang biasanya memiliki rentang waktu yang tidak selalu linear dengan kalender penyelenggaraan pemerintahan. Kajian yang dilakukan terhadap data sebagai representasi bukti capaian pada periode sebelumnya juga tidak serta merta bisa dilakukan karena ada kendala lain dalam bentuk ketersediaan sumber daya manusia, prioritas penganggaran dan keputusan politik. Jadi kalau kita bicara riset dalam konteks EBP, sudah saatnya dilaksanakan secara konsisten oleh pemerintah daerah namun tetap mempertimbangkan aspek-aspek krusial yang tak bisa dipinggirkan terkait kecepatan dan ketepatan pelayanan publik.
ADVERTISEMENT
Mempertimbangkan BRIDA Sebagai Katalisator EBP
Pemerintah melalui Perpres Nomor 78 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional telah mengamanatkan kepada pemerintah daerah untuk membentuk Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) yang menyelenggarakan penelitian, pengembangan, pengkajian, penerapan serta invensi dan inovasi yang terintegrasi di daerah. BRIDA mempunyai tugas melaksanakan kebijakan, koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi di daerah secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan penyusunan rencana induk dan peta jalan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di daerah sebagai landasan dalam perencanaan pembangunan daerah di segala bidang kehidupan yang berpedoman pada nilai Pancasila.
Pepres 78/2021 bukan hanya mengubah struktur kelembagaan terkait riset dan inovasi secara nasional tapi juga mendorong pembentukan badan yang secara spesifik melaksanakan riset dan inovasi di daerah. Sekilas kebijakan ini memberikan ruang dan peran yang terang benderang mengenai penyelenggaraan riset dan inovasi oleh pemerintah daerah. Memperhatikan tugas yang diemban BRIDA maka pertanyaan yang menarik dalam kaitannya dengan EBP, apakah ke depan perumusan kebijakan publik di daerah akan mengalami perubahan yang fundamental?
ADVERTISEMENT
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis terlebih menjelaskan pendekatan perumusan kebijakan berbasis informasi dan pendekatan berbasis bukti. Sumner (2009) menyatakan bahwa yang pertama membahas kuantitas pengetahuan. Artinya data tersedia secara kuantitatif namun tidak dikumpulkan dengan metode yang tepat sehingga tidak bisa dilakukan analisis komprehensif dan seringkali data tersebut tidak berhubungan dengan sektor atau bidang kebijakan terkait. Pendekatan berbasis bukti sebaliknya membahas kualitas pengetahuan atas data yang tersedia dan relevan dengan sektor kebijakan yang akan dikaji. Keduanya memiliki intensi yang berbeda dengan penelitian sebagaimana yang didefinisikan secara luas oleh Court (2006:5) sebagai “segala upaya sistematis untuk meningkatkan persediaan pengetahuan termasuk penyelidikan dan evaluasi kritis; penyusunan teori; pengumpulan, analisis, dan kodifikasi data, serta riset berorientasi aksi”.
ADVERTISEMENT
Sumber foto: The politics of evidence: from evidence-based policy to the good governance of evidence, London School of Economics and Political Science, 2016, page 134.
Bukti dalam perspektif pemerintah sebagai policy maker dan peneliti memiliki konstruksi hierarki yang berbeda. Pendapat dari Jackson (2008: 2-3) dan Staley (2008:6) mengkategorikan bukti untuk pembuat kebijakan adalah sesuatu yang lazim ditemui dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, apapun yang tampak relevan, memiliki relevansi kebijakan, tepat waktu dan memiliki tujuan yang jelas. Sementara dalam penelitian, bukti harus ilmiah, proven, punya penjelasan teoritis, dibutuhkan sepanjang waktu dan memiliki persyaratan dan kualifikasi.
BRIDA dari sisi nomenklatur menekankan pada aspek riset dan inovasi. Keduanya memiliki persinggungan yang kuat dengan aktivitas penelitian dalam arti luas. Dengan intensi yang lebih cenderung ke arah penelitian maka kemudian timbul pertanyaan bagaimana mendesain kegiatan penelitian di instansi pemerintahan daerah yang tidak terbiasa dengan aktivitas tersebut dan membangun koneksitas dengan proses perumusan kebijakan di daerah? Menurut hemat penulis, pertanyaan ini penting dijadikan titik mula guna menyusun peta jalan pembentukan BRIDA dan kontribusi idealnya terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelayanan publik. Mengharapkan terjadinya transformasi policy by research dengan pembentukan BRIDA rasanya masih terlalu jauh. Paparan yang dikemukakan penulis pada bagian terdahulu merupakan gambaran besar tentang kendala yang ditemui.
ADVERTISEMENT
Sisi positifnya keberadaan BRIDA pada tahap awal dapat menjadi katalisator yang berfungsi mempercepat dan memassalkan perumusan kebijakan publik berbasis bukti atau EBP. Ada beberapa alasan untuk mendukung pernyataan ini. Pertama, dari aspek kebutuhan riil, praktik EBP lebih urgen untuk diaplikasikan karena paling relevan dengan ketersediaan sumber daya manusia dan kebutuhan pendukung penyelenggaraan pemerintahan daerah Saat ini, ASN yang memiliki kompetensi sebagai peneliti di pemerintah daerah sangat kecil. Meski demikian dalam kerangka EBP, SDM ASN yang tersedia dan diproyeksikan menjadi bagian dari BRIDA dapat dimaksimalkan potensinya. Praktik EBP tidak serumit melakukan riset yang memiliki standar baku dan terikat pada kaidah ilmiah yang seringkali tidak langsung menjawab permasalahan yang ditemui dalam waktu singkat. Sementara seperti telah disinggung sebelumnya keterbatasan waktu dan anggaran membuat perumusan kebijakan di daerah belum bisa didahului oleh sebuah riset atau penelitian tematik. Kedua, dari segi efisiensi EBP tidak membutuhkan tambahan SDM baru atau pendidikan lanjutan untuk mendapatkan sertifikat kompetensi sebagai peneliti. Perlu diingat bahwa kapasitas keuangan daerah sudah cukup terbebani dengan mandatory spending dan keharusan menekan belanja pegawai di bawah 30 %. Ketiga, EBP dapat dijadikan model perumusan kebijakan publik yang baik untuk seluruh perangkat daerah dengan menjadikan BRIDA sebagai pusat pembelajaran bersama.
ADVERTISEMENT
Beberapa Tawaran Konklusi
Sebagai penutup, penulis perlu meyampaikan beberapa konklusi pada kondisi transisi dengan mempertimbangkan pembentukan BRIDA yang menurut informasi paling lambat sudah harus direalisasikan pada pertengahan tahun 2024. Pertama, Pemerintah perlu mempertimbangkan kemampuan daerah, baik dari segi anggaran maupun ketersediaan SDM untuk melakukan untuk menjalankan tugas dan fungsi yang ideal dari sebuah institusi riset, dalam hal ini BRIDA. Membebankan pembiayaan BRIDA pada Pemda tanpa pemberian tambahan atau insentif khusus, saat ini bukanlah kebijakan yang tepat. Kedua, Pemerintah daerah belum memiliki ekosistem riset yang memadai. Untuk itu kiranya diperlukan kerangka kerja sama yang melibatkan pihak ketiga sebagai pengampu SDM yang ada di BRIDA dalam melakukan transformasi pengetahuan terkait pelaksanaan riset dan pengembangan inovasi-invensi secara mandiri. Ketiga, memberikan kesempatan dalam bentuk afirmasi kepada SDM yang nantinya bertugas di BRIDA untuk melanjutkan pendidikan dengan spesialisasi riset yang dibutuhkan oleh pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
Last but not least, penulis ingin mengutip apa yang disampaikan oleh Sherlock Holmes, detektif rekaan Sir Arthur Conan Doyle, “It is [a] capital mistake to theorize before you have all the evidence. It biases the judgment.” Ya, suatu kesalahan besar jika dalam proses perumusan kebijakan publik jika teori dan kesimpulan langsung dibangun tanpa melakukan analisis yang mendalam terhadap bukti-bukti yang ada. Keberadaan BRIDA semestinya dilihat dari perspektif yang luas yaitu sebagai rumah untuk diseminasi praktik-praktik ilmiah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah, terutama dalam menghasilkan kebijakan publik dan program pembangunan yang berkualitas dan bermanfaat. Tabik!
Sumber Referensi:
- Smeru Research Institute, Bridging Research and Policy Through Evidence-Based Policy Advocacy, 2011.
- Justin Parkhust, The politics of evidence: from evidence-based policy to the good governance of evidence, London School of Economics and Political Science, 2016.
ADVERTISEMENT
- Brian W. Head, Reconsidering evidence-based policy: Key issues and challenges, Routhledge, Taylor and Francis Group, 2017.