Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Dramaturgi Sandera Hukum
28 Januari 2025 11:55 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Andy R Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah cuplikan cerita film legendaris di tahun 1980-an berjudul ‘Commando’ yang di bintangi Arnold Schwarzenegger (John Matrix), tergambar sebuah kisah matrix yang dengan gigih menyelamatkan putrinya dari penyanderaan. Aksi tersebut semakin takjub karena kegigihan penyelamatan tersebut tanpa adanya negosiasi untuk menyerahkan kekuasaan kepada penyandera. Artinya, penyelamatan sandera tersebut dilakukan tanpa negosiasi sedikitpun untuk membebaskan sandera.
ADVERTISEMENT
Meskipun cerita tersebut hanya sebuah fiksi, namun film yang masuk dalam box office sebagai film action tersebut layak menjadi inspirasi sebuah cerita ‘sandera hukum’. Sandera hukum adalah keadaan seseorang yang memiliki peranan kuat, disaat yang sama sedang terperiksa oleh aparat penagak hukum, minimal berstatus saksi atau bahkan sudah tersangka. Status tersebut akhirnya membuat ruang gerak ‘sandera’ menjadi sempit yang akhirnya memunculkan ruang negosiasi dengan ‘penyandera’.
Dalam terminologi lain, sandera hukum dapat di artikan sebuah kriminalisasi. Karena kriminalisasi sejatinya adalah perbuatan yang dapat menjadi perbuatan kriminal serta dapat di pidana oleh pemerintah (Black Law Dictionary, Henry Campbell Black:1891). Perbuatan yang dapat dipidana inilah yang mengarah pada ruang untuk negosiasi. Meskipun, dalam praktinya masih terdapat kompleksitas dalam penentuan proses kriminalisasi (Andrew Simester: 2000), namun ruang negosiasi tersebut sangatlah terbuka.
ADVERTISEMENT
Dari berbagai literatur, fenomena kriminalisasi di Indonesia mulai lekat dan familiar saat tragedi pembangunan waduk kedung ombo di sragen dan boyolali jawa tengah tahun 1965. Saat itu warga yang menolak ganti rugi akibat pembangunan waduk kedungombo di stigma sebagai antek PKI dan di pidana oleh pemerintah karena dianggap sebagai langkah subversif yang mengganggu program pemerintah.
Jika di era orde baru, kriminalisasi terjadi antara aparat vs rakyat, namun era pasca reformasi, cerita kriminalisasi semakin populer karena pernah dilakukan aparat vs aparat yang terkenal dengan sebutan ‘cicak vs buaya’. Yaitu perseteruan antara KPK vs Polisi, dimana Komisioner KPK saat itu Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah di kriminalisasi secara paksa oleh Polisi. Ataupun kasus cicak vs buaya jilid II dimana penyidik KPK saat itu Novel Baswedan di kriminalisasi dengan kasus lama saat sedang melakukan proses penyidikan simulator SIM yang melibatkan kakorlantas Polri saat itu. Meskipun di era sekarang ini, cerita kriminalisasi tetap banyak dilakukan aparat vs rakyat.
ADVERTISEMENT
Cerita ini menyingkap sebuah sandera hukum dimana pelaku memiliki ruang gerak yang terbatas dan membuka peluang negosiasi. Ruang negosiasi inilah yang menjadi sebuah jalan persimpangan, apakah akan ditempuh upaya negosiasi, atau tetap melangkah dengan resiko ‘siksaan sandera hukum’ kedepan.
Dalam dinamikanya, menurut pengamatan penulis; fenomena sandera hukum ini memiliki ciri utama yaitu tindakan sandera yang memunculkan ancaman atau membuat ke-tidaksuka-an penyandera, serta mewujud dalam kasus dengan setidaknya tiga tipologi; pertama, adalah, aktifnya kasus masa lampau. Kasus ini adalah kasus lama, cenderung dibiarkan, namun tiba-tiba aktif dan mulai diperiksa. Pemeriksaaan ini rata-rata karena sandera memiliki benturan masalah dengan penyandera atau kerja sandera tidak sesuai harapan dari penyandera.
Kedua, tidak berlanjutnya proses hukum. Dalam kasus ini biasanya pemeriksaan sudah dilakukan, status hukum sudah keluar, namun tidak ada tindak lanjut proses hukum. Ciri kedua ini, kasus sudah berproses bahkan sudah ada tersangkanya, namun tanpa alasan kejelasan, kasus dibiarkan bahkan sampai bertahun-tahun mengambang tiada ujung. Ini artinya status tersangka yang ‘diam’ tesebut bisa menjadi ‘kotak pandora’ yang suatu saat bisa dibuka kapan saja, tergantung subyektifitas dari penyandera.
ADVERTISEMENT
Ketiga, pemaksaan kasus kecil. Kasus ini sebenarnya adalah kasus remeh-temeh yang dampak hukumnya tidak terlalu besar bahkan hanya bersifat pelanggaran kecil, namun dampak negatifnya bisa memengaruhi sandera dalam bekerja bahkan berujung pemberhentian dari tugas-tugasnya sebagai penyelenggara negara, jika dia merupakan penyelenggara negara.
Tiga tipologi tersebut merupakan bagian dari kompleksitas penyebutan kriminalisasi sebagaimana di ungkap oleh simester diatas. Menurut Profesor Pidana dari National University of Singapore (NUS) tersebut, kompleksitas berkaitan dengan jenis perbuatan yang dapat di kriminalisasi, dimana jenis perbuatannya secara esensial mengandung sifat jahat namun juga secara hakiki tidak mengandung unsur jahat.
Perbuatan yang tidak mengandung unsur jahat inilah yang masih debatable, apakah seseorang benar-benar bersalah ataukah ada tendensi lain. Pada ranah debatable inilah, bisa menjadi entry point bagi penyidik dalam mengkriminalisasi seseorang. Ruang debatable yang tidak mengandung unsur jahat tersebut diramu seolah memang terdapat unsur jahat yang ujungnya berakhir pada pemidanaan seseorang.
Performa Penegak Hukum
ADVERTISEMENT
Apakah langkah penegak hukum yang mengkriminalisasi tersebut salah? Jawabannya belum tentu salah. Karena penegak hukum baik polisi atau jaksa pasti memakai asas legalitas dalam menjalankan pekerjaannya, dengan mantra asas legalitas: ‘tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas perundang-undangan pidana yang sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan’. Atau dalam kalimat lain, tidak mungkin tidak memiliki alas hukum dalam menindak atau memproses hukum seseorang.
Namun belum tentu juga benar, karena berdasarkan kompleksitas yang di katakan simester tadi, bahwa dalam menentukan kriminalisasi terdapat variabel yang turut menentukan seseorang dapat di pidana atau tidak. Sebagai misal bahwa hukum pidana tidak bisa serta merta ditempatkan sebagai instrumen pertama (premium remidium) dalam proses penegakan hukum, akan tetapi harus dijadikan instrumen terakhir (ultimum remidium).
ADVERTISEMENT
Artinya dorongan lain untuk menciptakan alternatif hukuman ataupun upaya ganti rugi atas perbuatan yang mengarah pada pidana tersebut dapat dilakukan sesuai dengan porsi dan kapasitasnya. Apalagi sang sandera memiliki peran besar dalam rangka menjalankan pekerjaan besarnya. Namun alternatif ini bukanlah upaya penghindaran dari kasus-kasus yang memang secara pro-justitia sudah masuk dan layak untuk di proses.
Jika kasus-kasus tersebut besar, berdampak luas dalam masyarakat, maka tidak lantas dibenarkan bahwa kriminalisasi yang dilakukan memiliki tendensi lain diluar hukum. Ini yang perlu di hindari atas penentuan status hukum, agar terhindar dari tuduhan penghindaran dari jeratan kasus yang memang sudah layak masuk pro-justitia tersebut.
Antara benar dan salah dalam menjalankan pekerjaannya, para penegak hukum setidaknya berada pada ranah akal sehat dan penilaian yang baik (Jeffrey C. Fox: 2017). Dilema antara salah dan benar setidaknya berada pada pendirian penegak hukum dalam mendalami kasus yang sedang dihadapi. Apakah akan bertindak menggunakan akal sehat dan penilaian yang baik (profesional), sebagaimana di utarakan oleh fox tadi. Ataukah akan terbelenggu upaya tendensi yang memiliki resiko delegitimasi institusi penegak hukum.
ADVERTISEMENT
Dilema ini tentunya akan memengaruhi kerja-kerja penegak hukum kedepannya. Karena jika pilihannya adalah profesional, maka kerja penegakan hukum akan lebih mudah dan membawa vibrasi positif untuk di ikuti para penegak hukum lain. Namun jika pilihannya adalah tendensi diluar hukum, maka resiko deligitimasi penegak hukum akan mengancam dan membuat peta jalan penegakan hukum makin berat dan terjal.
Pilihan profesional ini kita bisa mencontoh sebuah pengungkapan kasus raksasa di Brasil yang menggemparkan dunia kurun waktu tahun 2015. Pengungkapan yang di dahului oleh Polisi Federal Brasil tersebut bernama Operasi Lava Jato. Jaksa di Brasil waktu itu membongkar kasus biasa dari sebuah pencucian mobil, namun ujung cerita itu terbongkarlah skandal korupsi terbesar di Amerika Latin dalam sejarah.
ADVERTISEMENT
Skandal tersebut mengungkap pencucian uang sekitar $1,6 miliar melibatkan 3000 rekening bank di luar Brasil yang tersebar di 52 negara, serta melibatkan perusahaan minyak negara Petrobras. Bahkan juga melibatkan Gubernur Negara Bagian Rio de Janeiro Sergio cabral serta presiden Lula da silva. Meskipun belakangan Mahkamah Agung Brasil membatalkan hukuman Lula, dan dapat kembali menggunakan hak politiknya.
Yang menjadi sebuah pelajaran profesionalitas adalah, bahwa Jaksa menjadikan momentum lava jato ini sebagai momentum kampanye anti-korupsi secara menyeluruh di Brasil (Ezequiel A. Gonzales-Ocantos, et al : 2023). Dalam buku terbarunya; Procecutors, Voters and the criminalization of corruption in Latin America, Ocantos menemukan sebuah metode Jaksa yang tak lazim ini dilakukan, namun mendapat dukungan penuh pembenaran dengan pembentukan gugus tugas yang agresif.
ADVERTISEMENT
Metode tersebut juga membuat beberapa tokoh merasa terhina terhadap proses hukum dan demokrasi, namun Jaksa saat itu tidak bergeming serta tidak takut akan menjadi sandera, meski momentumnya adalah menjelang pemilu, bahkan berujung pembatalan calon presiden Lula di Komisi Pemilihan yang membuat Lula gagal mengikuti pemilihan presiden waktu itu.
Profesionalitas penegak hukum ini menjadi percikan positif untuk menciptakan resonansi yang terus menggelombang kepada penegak hukum lain dalam kerja-kerja penegakan hukum. Keberadaannya akan terus mengokohkan performa penegak hukum berserta korps-nya untuk terus meningkatkan kinerjanya, bahkan ketika berhadapan dengan penguasa sekalipun.
Namun, jika tendensi lain tetap membelenggu para penegak hukum, maka para sandera dan pendukungnya perlu mencontoh john matrix dalam film ‘commando’ diatas, yang dalam kegigihannya menyelamatkan sandera tanpa membuka ruang negosiasi dengan penyandera. Ini juga akan menjadi percikan positif untuk masyarakat sipil ditengah dramaturgi soal sandera hukum yang saat ini banyak terjadi.
ADVERTISEMENT