Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menyelamatkan Uang Negara
1 April 2024 13:40 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Andy R Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu yang lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan atas dugaan adanya fraud di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) ke Kejaksaan Agung sebesar Rp 2,5 triliun. Pelaporan itu merupakan tahap pertama, dan akan ada tahap lanjutan yang lebih besar. Belum lama juga Kejaksaan Agung memproses kasus timah di bangka dengan potensi kerugian negara Rp 271 triliun.
ADVERTISEMENT
Di bulan januari, Ketua PPATK mengatakan bahwa 36,7% dana Proyek Strategis Nasional digunakan untuk kepentingan pribadi. Jika Proyek Strategis Nasional mencapai kurang lebih Rp 5.000 triliun (Permenko Perekonomian 7/2023), dan yang mengalir adalah 36%, artinya uang negara yang mengalir ke kantong pribadi adalah Rp 1.800 triliun. Sebuah angka yang sangat fantastis untuk sebuah kebocoran uang negara.
Beberapa peristiwa di atas adalah contoh kebocoran uang negara yang termonitor. Kemungkinan masih banyak yang tidak terendus, dan masih banyak cerita serupa, serta bisa jadi akan terdapat lagi potensi kebocoran-kebocoran lain. Lalu seperti apa langkah yang efektif dan efisien untuk mencegah serta untuk mengejar kebocoran tersebut?
Dalam diskursus ilmu hukum, mendiskusikan cara kerja sistem hukum untuk mencegah kejahatan atau untuk mengejar pelaku kejahatan adalah hal biasa. Namun jika pencegahan serta pengejaran itu dikaitkan dengan analisa biaya adalah jarang sekali dilakukan. Tema diskusi hukum yang sering adalah tentang hukum itu sendiri, tanpa menggunakan variabel lain.
ADVERTISEMENT
Melihat tiga peristiwa di atas sepertinya negara perlu memikirkan tentang bagaimana mencegah potensi kebocoran uang negara atau perburuan atas kebocoran tersebut secara lebih efektif berbasis biaya. Biaya di sini adalah APBN yang dialokasikan pada Kementerian/Lembaga berbasis Hukum dengan menaksir pada penyelamatan uang negara atas potensi kebocoran dimaksud.
Ide ini sebenarnya dalam ilmu hukum sudah dipelopori oleh Ronald Coase di tahun 1949 kemudian dilanjutkan oleh Richard Posner, yaitu Economic Analisys of Law (EAL). Yang pada intinya menekankan pada analisa ekonomi terhadap tindakan hukum yang dilakukan untuk menuju keberhasilan dan kebahagiaan.
Namun pandangan yang futuristik tersebut sering digunakan dalam lingkup organisasi atau perusahaan dalam rangka menempatkan hukum sebagai bagian dari tools untuk melakukan efisiensi dalam perusahaan. Pandangan ini setidaknya dapat menjadi spirit atas prioritas penanganan seperti tiga peristiwa di atas, namun dalam konteks negara.
ADVERTISEMENT
Hukum untuk Penyelamatan
Dalam konteks negara, keberadaan hukum dan perangkat hukum mutlak diperlukan. Perangkat hukum seperti polisi dan jaksa tidak mungkin absen dalam sebuah negara. Salah satu fungsi pemerintahan adalah fungsi pemeliharaan hukum dan ketertiban (Muir, 2020). Fungsi ini sebenarnya sudah jamak dipahami oleh beberapa kalangan, bahkan orang awam sekalipun.
Namun Dapray Muir, seorang pengacara di Amerika Serikat mengelaborasi tentang fungsi pemerintahan dengan menempatkan hukum yang baik sebagai prasyarat akan terwujudnya perekonomian negara yang baik pula, bahkan berujung pada kesejahteraan rakyat.
Tegasnya, Pemerintah dengan mempersiapkan anggaran biaya tertentu dapat memaksimalkan kementerian/lembaga berbasis hukum yang prioritas untuk bekerja dalam rangka menyelamatkan uang negara untuk tujuan jangka panjang, yang salah satunya adalah untuk menjadikan warga masyarakatnya bahagia, sebagaimana dipahami aliran utilitarianisme yang diperkenalkan oleh Jeremy Bentham.
ADVERTISEMENT
Kita mungkin bisa bedah APBN, selain tujuannya adalah untuk pembangunan, juga dilengkapi untuk ketertiban hukum yang di dalamnya juga ada fungsi untuk mencegah serta mengejar kebocoran APBN atau uang negara. Di bidang hukum anggarannya adalah sekitar Rp 170 triliun; yang tersebar di antaranya di Kepolisian, Kejaksaan, KPK, PPATK, BPK, dan kementerian yang berbasis hukum.
Di sinilah perlu mendeskripsikan sebuah pemeliharaan hukum dan ketertiban dari sudut pandang efisiensi, yang mengarah pada ketepatgunaan dengan memaksimalkan biaya yang ada. Yaitu bagaimana melihat performa anggaran Rp 170 triliun tersebut bukan hanya dalam bingkai pemeliharaan dan ketertiban, namun juga dalam bingkai pencegahan dan penyelamatan.
Dengan memasukkan pekerjaan hukum pada sebuah biaya, maka pendekatan secara ekonomi menjadi wajar untuk dilakukan. Sebagai contoh, kita perlu bedah paling tidak APBN 2022 dan 2023; berapa anggaran untuk bidang hukum dan berapa uang negara yang di selamatkan?. Untuk Kejaksaan pada tahun 2022 dengan anggaran Rp 10,1 triliun, uang negara yang diselamatkan Rp 37 triliun. Sedangkan pada tahun 2023 dengan anggaran Rp 10,8 triliun, uang negara yang di selamatkan sebesar Rp 74 triliun.
ADVERTISEMENT
KPK pada tahun 2022 dengan anggaran Rp 1,3 triliun dapat menyelamatkan uang negara Rp 59 triliun. Kepolisian pada tahun 2022 dengan anggaran Rp 99 triliun menyelamatkan uang negara Rp 1,5 triliun, sedangkan pada tahun 2023 dengan anggaran Rp 107 triliun dapat menyelamatkan uang negara Rp 3,74 triliun.
Melihat penegakan hukum tersebut, sepertinya pemerintah perlu mereformulasi kembali akan tugas dan pemanfaatan lembaga negara dalam penegakan hukum untuk menyelamatkan uang negara yang lebih besar lagi. Pemerintah perlu memprioritaskan pada kebocoran uang negara dan menyelamatkannya demi kesejahteraan rakyat, dengan metode efektivitas peran di lembaga-lembaga yang berbasis hukum. Efektivitas ini adalah pada peletakan prioritas lembaga mana yang bekerja dalam rangka untuk mencegah serta mengejar kebocoran uang negara.
ADVERTISEMENT
Tiga Pendekatan Isu
Perwujudan penyelamatan uang negara melalui penegakan hukum tersebut mungkin bisa menjadi isu perbaikan untuk pemerintahan baru ke depan, dan setidaknya bisa tercermin dalam tiga isu prioritas: Pertama, bagaimana mengurai tumpang tindih dalam pemrosesan kasus korupsi. Ada tiga Lembaga yang berlomba dalam penegakan hukum, setidaknya perlu ada reformulasi design pemberantasan korupsi dan penyelamatan uang negara. Pemerintahan baru nantinya perlu mengefisiensikan anggaran dalam bidang hukum serta menempatkan lembaga dengan pembagian kerja yang lebih detail dan proporsional.
Misalnya, KPK dengan fokus pencegahan dan pemberantasan korupsi atas keuangan negara dan BUMN dapat dimaksimalkan perannya, mungkin dengan memperluas volume pekerjaan. Artinya SDM dan anggaran bisa semakin meningkat, dengan harapan pencegahan korupsi serta perburuan uang hasil kejahatan negara dapat dimaksimalkan.
ADVERTISEMENT
Dua, alokasi anggaran yang tepat sasaran dengan mempertimbangkan efektivitas penyelenggaraan. Karena fokus utama adalah pencegahan dan perburuan uang hasil kejahatan, maka alokasi anggarannya-pun harus linear dengan lembaga-lembaga yang berhubungan dengan isu tersebut. Artinya negara perlu mempertimbangkan untuk mengurangi anggaran pada lembaga-lembaga yang fokus utamanya bukan pada isu pencegahan serta perburuan uang hasil kejahatan.
Tiga, refungsionalisasi lembaga dengan pendekatan pada kesejahteraan. Turunan dari prioritas lembaga hukum tadi juga termasuk melakukan refungsionalisasi lembaga pada upaya pencegahan kebocoran uang negara sekaligus perburuan kebocorannya. Di sisi lain, pendekatan pada kesejahteraan rakyat juga perlu dilakukan. Hal ini berangkat dari pandangan bahwa: jika rakyat sejahtera, maka kejahatan akan berkurang (Grover, 2013).
Dalam ranah ini mungkin kita bisa mengambil penilaian yaitu Polri meskipun cuma menyelamatkan uang negara Rp 3,74 triliun, namun keberadaannya adalah dalam rangka pengamanan dalam negeri, yang di dalamnya menekankan pada kesejahteraan. Jika kesejahteraan tercukupi, maka angka kriminalitas akan rendah dan aparat keamanan-pun akan bekerja dengan intensitas rendah juga. Artinya anggaran untuk keamanan parameternya dapat turun, jika masyarakat sejahtera.
ADVERTISEMENT
Pada sisi lain kebocoran uang negara sering terjadi pada kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Menurut Laporan tahunan KPK tahun 2022, pengadaan barang/jasa merupakan kejahatan terbanyak ke-dua setelah gratifikasi atau suap.
Dan kasus tertinggi pengadaan barang/jasa ini adalah jenis persekongkolan tender. Artinya dari sini perlu ada penguatan lembaga yang fokus pada fair competition, misalnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Refungsionalisasi inilah yang perlu diterapkan pada lembaga-lembaga tersebut, untuk menjaga iklim usaha yang sehat.