Konten dari Pengguna

Menyoal Aspek Sosiolegal E-commerce

Andy R Wijaya
Corporate Lawyer - Managing Partner RESOLVA Law Firm
10 November 2023 11:28 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andy R Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi e-commerce. Foto: Blue Planet Studio/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi e-commerce. Foto: Blue Planet Studio/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa bulan belakangan ini terjadi keguncangan ekonomi di dunia usaha retail UMKM yang mengakibatkan penurunan omzet penjualan. Salah satu dampak dari keguncangan tersebut adalah sepinya toko-toko retail, misalnya di pasar tanah abang. Menurut pengakuan para pedagang, penurunan omzet tersebut diakibatkan oleh digitalisasi informasi dalam dunia e-commerce, platform social-commerce-pun kena tuduhan menjadi biang utama atas penurunan omzet mereka.
ADVERTISEMENT
Di platform e-commerce-pun juga demikian, sama-sama berjualan di e-commerce namun barang impor selalu lebih murah, sehingga membuat barang lokal kalah bersaing bahkan sekarang turun sampai 50 persen. Fenomena ini jika terus berlanjut, dikhawatirkan akan mematikan usaha pelaku UMKM kita dan berimbas ke gejala sosial yang lebih parah.

Regulasi yang Adaptif

Sebenarnya keniscayaan untuk masuk dalam digitalisasi informasi bukanlah sesuatu yang dikhawatirkan. Masyarakat, apalagi dunia usaha perlu untuk merespons secara positif atas revolusi industri yang memaksa untuk semakin adaptif atas fenomena tersebut.
Dalam konteks ini, pemerintah seharusnya mempersiapkan regulasi yang adaptif juga untuk merespons perkembangan dunia digital, dengan tetap memperhatikan respons sosial masyarakat. Regulasi tidak terlepas dari aspek sosiologis untuk memuat fenomena sosial yang merefleksikan hubungan antara perilaku masyarakat secara sosial dan ekonomi terhadap penerimaan platform e-commerce.
ADVERTISEMENT
Filsuf termasyhur romawi, Cicero (106-43 SM) mengatakan ubi societas ibi ius, (di mana ada masyarakat, di sana ada hukum) namun keberadaan hukum masyarakat, dalam hal ini masyarakat ekonomi harus mencerminkan pandangan secara sosiolegal, atau aspek sosial dalam masyarakat, agar hukum ini bisa ditaati dan berkelanjutan.
Dalam pandangan Eugen Ehrlich, hukum yang baik adalah yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks adanya fenomena keguncangan tersebut, artinya pengintegrasian hukum menjadi penting untuk membuat regulasi yang berbasis sosial berkeadilan, namun tetap melindungi para pedagang agar terhindar dari dampak buruk ekonomi misalnya predatory pricing.
Pemerintah pun sebenarnya sudah mengantisipasi dengan mengeluarkan Permendag Nomor 31 tahun 2023, yang di dalamnya melarang marketplace dan/atau social-commerce bertindak sebagai produsen, sekaligus melarang platform social-commerce memfasilitasi transaksi pembayaran (aktivitas jual-beli) pada sistem elektroniknya.
ADVERTISEMENT
Permendag ini sebenarnya mencabut peraturan sebelumnya yaitu permendag Nomor 50 tahun 2020 yang tidak melarang platform social-commerce memfasilitasi aktivitas jual-beli. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa platform tik-tok membolehkan transaksi jual-beli, yang akhirnya berujung protes dari pedagang retail, dan akhirnya pemerintah merespons dengan menerbitkan peraturan baru.
Namun, sebenarnya ada ketentuan yang turut terhapus dalam permendag lama, yaitu dihapuskannya ketentuan tentang pengutamaan produk dalam negeri. Bahkan, selain mengutamakan hasil produksi dalam negeri, juga terdapat ketentuan tentang peningkatan daya saing terhadap hasil produksi dalam negeri serta dalam adanya kewajiban pada penyelenggara tentang penyediaan fasilitas ruang promosi barang dan/atau jasa hasil produk dalam negeri.
Ketentuan tersebut padahal sangat bagus untuk mendorong produk dalam negeri bersaing dengan produk impor yang dipasarkan melalui e-commerce. Kita justru mempertanyakan, satu sisi pelarangan platform social-commerce adalah langkah tepat, namun sisi lain kenapa pengutamaan produk dalam negeri justru dihapus? Di sinilah seharusnya pemerintah melihat lebih dalam lagi problem social yang dialami oleh para pedagang, baik retail offline maupun pedagang e-commerce.
ADVERTISEMENT

Keberpihakan dan “Anti Dumping”

Salah satu penekanan dalam mengantisipasi fenomena keguncangan tersebut adalah mau tidak mau, pemerintah harus berpihak pada pedagang dalam negeri untuk mengantisipasi derasnya barang impor, dengan melakukan dua hal.
Pertama, melakukan edukasi terstruktur terhadap pedagang retail yang belum sadar tentang digitalisasi informasi. ini sebenarnya untuk menjawab pasar di beberapa tempat yang terlihat sepi dan cenderung menyalahkan platform e-commerce.
Kedua, keberpihakan dalam mendukung pedagang dalam negeri, dengan mengembalikan ketentuan pada permendag lama tentang pengutamaan produk dalam negeri dalam platform penyelenggara perdagangan elektronik. Meskipun tidak di ikuti dengan pemberian sanksi, namun ketentuan tersebut dirasa mampu membuat penyelenggara untuk mengutamakan produk-produk dalam negeri di platform mereka. Apalagi secara digital, algoritmanya bisa diatur untuk memprioritaskan produk dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain pemerintah sudah saatnya memikirkan kembali tentang kebijakan anti dumping, yaitu tindakan yang diambil pemerintah berupa pengenaan bea masuk antidumping terhadap barang dumping. Namun ini tentunya berbeda dengan antidumping yang sebenarnya, mengingat barang impor yang terdapat dalam platform e-commerce merupakan harga kesepakatan antara pembeli (pengimpor) dan penjual (pengekspor) yang terkena bebas bea masuk.
Sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96 Tahun 2023 tentang ketentuan kepabeanan, cukai, dan pajak atas impor dan ekspor barang kiriman; bahwa barang dengan harga di bawah USD1500 atau di atas USD 1500 namun diimpor oleh penerima barang yang bukan badan usaha maka bebas bea pajak dan bea masuk.
Kita mungkin bertanya-tanya, mengapa harus dibebaskan dari bea masuk? karena ini adalah dampak kesepakatan Free Trade Agreements (FTA) antar negara. Pertanyaannya akankah pemerintah bersedia untuk melakukan negosiasi atas free trade tersebut?
ADVERTISEMENT
Ini merupakan tantangan untuk mewujudkan “antidumping” yang dimaksud, yaitu membebankan biaya agar barang impor harganya tidak di bawah harga produksi barang lokal, yang sudah bisa dipastikan barang impor tersebut pasti terkena subsidi dari pemerintah negara setempat.
Sejenak mungkin kita perlu melihat kebijakan pemerintah untuk menerapkan antidumping dalam rangka menangkal barang impor yang dilakukan oleh negara asing yang terdapat dalam PMK nomor 34 tahun 2011 tentang tindakan antidumping, tindakan imbalan, dan Tindakan pengamanan perdagangan.
Di mana pemerintah dengan getol menerapkan tidak hanya pajak dan bea masuk saja, namun juga menerapkan bea masuk anti dumping jika harga ekspor dari barang yang di impor lebih rendah dari nilai normalnya yang menyebabkan kerugian.
ADVERTISEMENT
Itulah aspek sosiolegal yang perlu diramu untuk melindungi eksistensi dari pelaku UMKM di negara kita. Selain mungkin juga perlunya peningkatan edukasi soal persaingan usaha di era digital dan juga subsidi tepat sasaran untuk kelangsungan usaha UMKM.