Konten dari Pengguna

Kemarahan yang Selalu Dipendam, Emang Sehat?

Ane Dwi Septina
Bekerja sebagai Periset Sosial di BRIN
5 Oktober 2024 12:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ane Dwi Septina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
sumber foto: https://depositphotos.com/id/illustrations/marah.html
Bagi beberapa budaya dan norma di masyarakat, mengekspresikan marah bukanlah hal yang baik. Oleh karena itu, saat kecil, kita sering mendengar nasihat orang tua untuk meredam amarah. Entah itu ketika sedang berkonflik dengan saudara yang biasanya usianya lebih kecil ataupun dengan teman sebaya. Alasan yang sering diajarkan adalah: “ngga enak kalau didengar orang”, atau “sama adek yang lebih tua harus ngalah”.
ADVERTISEMENT
Memang sangat wajar, utamanya di budaya asia untuk selalu menjaga harmoni dan menghindari konflik. Sebuah artikel di tahun 1997 menyatakan bahwa ketika anak belajar mengendalikan amarah dengan cara mencontoh dan memahami emosi dapat mencegah dampak buruk dari menahan amarah, yang bisa memicu ledakan emosi (Marion, 1997).
Sayangnya, tidak banyak orang yang sadar bahwa menumpuk amarah tanpa mengelolanya secara baik dapat mengakibatkan bom waktu. Oleh karena itu orang tua perlu membekali anak cara mengelola amarah secara bertanggung jawab. Kemampuan ini sangat diperlukan ketika anak tumbuh dewasa dan menghadapi berbagai situasi negatif yang dapat memicu stress dan kemarahan. Namun, sebelum membekali anak pengetahuan ini, penting pula untuk para orang tua dan calon orang tua untuk dapat mengidentifikasi kemarahan serta ketidaknyamanan yang dirasa serta mengutarakannya dengan cara yang cerdas dan bijaksana.
ADVERTISEMENT
Bom kemarahan yang sudah tertumpuk dapat meledak sewaktu-waktu. Yang dikhawatirkan adalah, ketika ledakan tersebut diarahkan pada orang yang sebenarnya bukan pemicu utama kemarahan. Misal pada kondisi suami yang mendapat tekanan negatif di kantor, lalu dalam perjalanan pulang bertemu dengan pengendara yang ugal-ugalan dalam kemacetan, dan ketika sampai rumah, ketika interaksi dengan anak atau istri ada yang dirasa kurang pas lalu tumpukan amarah tersebut menjadi memuncak dan akhirnya meledak. Imbasnya adalah kekerasan dalam rumah tangga yang dapat berupa kekerasan verbal ataupun juga dengan disertai kekerasan fisik. Faktor eksternal pemicu lainnya adalah melalui hiruk pikuk serta kesibukan masyarakat perkotaan dengan berbagai kendala dan hambatannya. Hal ini juga dapat memicu kemarahan yang diakibatkan oleh stress. Beberapa kajian penelitian sudah banyak menyoroti dampak negatif bagi Kesehatan fisik maupun mental.
ADVERTISEMENT
Sebuah penelitian di tahun 2006 mengungkapkan bahwa kemarahan yang ditahan terbukti meningkatkan kekakuan arteri karotis pada orang dewasa usia 50 tahun keatas (Anderson et al., 2006). Begitu juga dengan penderita arteri koroner yang sering menahan diri dalam mengekpresikan kemarahan memiliki resiko kejadian jantung yang merugikan (Denollet et al., 2010). Nah sekarang kita memiliki dukungan ilmiah bahwa menahan marah dapat memberikan dampak yang kurang baik bagi kesehatan kita, namun apakah artinya setiap perasaan marah kita harus kita lampiaskan begitu saja?. Tentu saja tidak, karena sebagai mahluk sosial kita memiliki tata nilai dan juga norma yang melekat dan sangat perlu untuk dipatuhi.
Mengutip pernyataan dr. Elvine Gunawan, Sp.KJ dari channel youtube Pikiran Rakyat, menyatakan bahwa pelampiasan marah perlu dilakukan secara bijaksana. Melampiaskan pada orang yang tepat, diwaktu yang tepat, dengan kadar yang tepat, dengan cara yang tepat. Ini bisa dilakukan dengan melalui proses belajar (Pikiran Rakyat, 2024).
ADVERTISEMENT
Melampiaskan kemarahan pada orang yang tepat menjadi sorotan utama. Banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga bermula dari kemarahan, baik yang tertahan maupun yang langsung meledak. Khususnya untuk kemarahan yang tertahan, penumpukan emosi ini akan terus meningkat seiring waktu, namun tidak terselesaikan dengan baik. Akibatnya, seperti bom waktu, kemarahan tersebut bisa meledak sewaktu-waktu. Kelompok yang tidak memiliki kekuatan biasanya menjadi sasaran pelampiasan amarah yang tidak tepat. Dalam lingkungan keluarga, anak sering kali menjadi target kemarahan orang tua yang tidak dapat terkelola dengan baik.
Kedua adalah memilih waktu, tempat dan cara yang tepat. Ketika kita mengutarakan kemarahan atau ketidaknyamanan kita, ada baiknya untuk memperhatikan waktu dan tempat. Pemilihan waktu dan tempat yang kurang tepat malah dapat menjadi blunder dalam upaya resolusi konflik yang akan dilakukan. Cara mengutarakannya pun harus memperhatikan kondisi fisik dan mental pihak yang akan kita sampaikan keluhan. Pastikan bahwa pihak yang akan kita sampaikan keluhan kita sedang dalam kondisi yang fit dan juga sedang berada di lokasi yang jauh dari keramaian serta waktu yang tidak terburu-buru. Hal ini diperlukan agar komunikasi yang kita sampaikan bisa masuk dan memimalisir hambatan komunikasi yang mungkin dapat terjadi.
ADVERTISEMENT
Kemarahan yang terpendam dapat mengaburkan fokus utama alasan kenapa kita mengutarakan ketidaknyamanan kita, karena begitu banyak ketidaknyamanan yang dipendam sehingga ketika ada waktu untuk menyampaikan terkadang menjadi hal yang sulit untuk memilih mana yang menjadi fokus masalah saat ini. Oleh karena itu, penting untung mengidentifikasi masalah mana yang akan disampaikan, bagaimana cara menyampaikannya serta membatasi diri dalam proses penyampaiannya dalam artian kadar yang tepat. Kemampuan penyaluran marah secara bijaksana perlu terus dilatih agar dapat tersalurkan dengan baik dan tepat (Pikiran Rakyat, 2024). Mari sama-sama kita berlatih untuk menuju masyarakat Indonesia yang lebih sehat jiwa dan raga!
Referensi:
Anderson, D. E., Metter, E. J., Hougaku, H., & Samer S. Najjar. (2006). Suppressed Anger Is Associated With Increased Carotid Arterial Stiffness in Older Adults. American Journal of Hypertension, 19(11), 1129–1134. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.amjhyper.2006.04.018.
ADVERTISEMENT
Denollet, J., Gidron, Y., & Christiaan J. Vrints, V. M. C. (2010). Anger, Suppressed Anger, and Risk of Adverse Events in Patients With Coronary Artery Disease. The American Journal of Cardiology, 105(11), 1555–1560. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.amjcard.2010.01.015.
Marion, M. (1997). Encouraging the development of responsible anger management in young children. ERIC Clearinghouse on Elementary and Early Childhood Education. https://files.eric.ed.gov/fulltext/ED414077.pdf
Pikiran Rakyat. (2024). NGONTEN #60: Kasus KDRT lagi! Kupas tuntas tentang Toxic Relationship sama dr. Elvine Gunawan Sp.KJ. Youtube.com. https://www.youtube.com/watch?v=5biKZBQeq-g