Ketidak Adilan Sistem dan Hukum Sosial mengenai Mantan Narapidana

Anisa Fadhila
Mass Communication student at Esa Unggul University, Jakarta - Indonesia.
Konten dari Pengguna
15 Januari 2024 8:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anisa Fadhila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Narapidana Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Narapidana Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Menjadi mantan narapidana dapat membawa beban tersendiri akibat stigma masyarakat, namun di Indonesia, status ini tidak selalu mencerminkan tingkat sanksi sosial yang sama. Di negara ini, kejahatan jalanan memiliki potensi mendapatkan sanksi sosial yang lebih berat dari masyarakat dibandingkan dengan kejahatan kerah putih.
ADVERTISEMENT
Bukti untuk pernyataan ini dapat ditemukan dalam data KPU pada pendaftaran calon anggota legislatif tahun 2019. Setidaknya, ada 199 bakal calon yang memiliki status mantan narapidana dalam kasus korupsi, meskipun undang-undang secara tegas melarang mantan narapidana untuk mencalonkan diri. Di sisi lain, isu penolakan dan pengucilan masyarakat terhadap mantan narapidana yang terlibat dalam kejahatan jalanan sangat tinggi. Hal ini terus menjadi hambatan utama bagi mereka dalam beradaptasi dan bersosialisasi, sehingga sulit bagi mereka untuk mengambil kendali atas kehidupan mereka setelah menjalani hukuman.
Pada sebuah Interview yang dilakukan oleh Vice terhadap tiga orang mantan narapidana yang ketiganya ditangkap karena melakukan kejahatan jalanan yang berbeda-beda, ketiganya memberi pendapat yang sama mengenai sulitnya mencari kerja saat baru saja keluar dari penjara, dimana stigma masyarakat dan sanksi sosial yang menimpa mereka jauh lebih berat apabila dibandingkan dengan koruptor-koruptor diluar sana. Dari hasil penelitian ICW pada tahun 2016, dari 576 vonis kasus korupsi, hanya tujuh vonis yang mengenakan sanksi tambahan berupa pencabutan hak politik untuk memilih dan dipilih.
ADVERTISEMENT
Lalu, jika penjahat ditangkap, diadili, dan dihukum penjara, apa tindakan yang seharusnya diambil ketika mereka dibebaskan? Apakah mereka berhak mendapatkan peluang kedua?
Pertanyaan ini memang sulit. Beberapa mungkin berpendapat bahwa setiap individu berhak mendapat kesempatan kedua, sementara yang lain mungkin berpendapat bahwa penjahat tidak layak mendapat kesempatan kedua karena bisa mengulangi perbuatan yang sama setelah bebas dari penjara.
Menurut saya, ini tergantung pada jenis kejahatan yang terjadi.
Misalnya, pada penjelasan di artikel mengenai jenis kasus pidana yang dapat diselesaikan secara kekeluargaan, dalam hukum pidana, terdapat dua jenis delik, yaitu delik biasa dan delik aduan. Delik biasa, seperti pembunuhan, pencurian, dan penggelapan, dapat diproses atau lanjut di proses tanpa persetujuan korban. Sebaliknya, delik aduan, contohnya perzinaan dan pencemaran nama baik, memerlukan pengaduan dari korban. Meskipun korban mencabut laporannya dalam delik aduan, proses hukum tetap berlanjut selama tiga bulan setelah pengaduan diajukan, seperti diatur dalam Pasal 75 KUHP.
ADVERTISEMENT
Pada tindak kejahatan pada delik aduan di mana kesalahan masih dapat diperbaiki dan terjadi rekonsiliasi dengan pihak korban, maka mantan narapidana dapat dianggap mampu dan memiliki kesehatan jiwa serta raga yang memadai untuk aktif berpartisipasi dalam masyarakat. Sebaliknya, untuk tindak kejahatan di mana kesalahan dinilai tidak dapat menghapus kerusakan yang telah dialami korban, atau dalam situasi di mana mantan narapidana dinilai tidak sehat secara jiwa maupun raga, maka jelas dibutuhkan program rehabilitasi atau pengawasan penuh agar mereka dapat berpartisipasi dalam masyarakat secara efektif.
Dalam menjelajahi realitas yang kompleks menjadi mantan narapidana di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa stigma sosial dan sanksi terkait dengan status ini tidak merata, khususnya antara kejahatan jalanan dan kejahatan kerah putih. Data KPU dan hasil penelitian ICW memberikan gambaran bahwa dalam masyarakat, mantan narapidana yang terlibat dalam kejahatan korupsi masih dapat muncul untuk mendaftarkan dirinya sebagai calon anggota legislatif, sedangkan mereka yang pernah terlibat dalam kejahatan jalanan seringkali menghadapi penolakan dan pengucilan yang jauh lebih signifikan.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan terakhir mengenai hak mantan narapidana untuk mendapatkan peluang kedua menghadapi dilema moral yang kompleks. Oleh karena itu, kebijakan dan program rehabilitasi yang disesuaikan dengan jenis kejahatan mungkin menjadi kunci untuk memberikan kesempatan kedua yang bermakna dan efektif bagi mantan narapidana, memungkinkan mereka untuk berpartisipasi kembali dalam masyarakat dengan cara yang positif dan berkelanjutan.