Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Bagaimana Sanksi Pemiskinan Koruptor Berlaku dalam Perspektif Ekonomi-Hukum?
12 Desember 2022 21:14 WIB
Tulisan dari angel jessica tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan salah satu negara yang seringkali diguncang permasalahan korupsi. Dalam era reformasi, kasus korupsi turut berkembang di kalangan tokoh elite pemerintahan, seperti kasus korupsi yang dilakukan oleh Juliari Batubara dalam bantuan sosial penanganan Covid-19.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch, tren atau kecenderungan kasus korupsi di Indonesia yang ditangani serta kerugian negara yang dialami, meningkat dalam kurun waktu tiga tahun, yaitu tahun 2019 - 2021. Keadaan ini juga turut diperparah ketika melihat fakta bahwa tokoh yang terlibat dalam kasus korupsi dapat kembali memiliki kursi di ranah pemerintahan sebagaimana diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum.
Landasan konstitusi mengenai tindak pidana korupsi dimuat dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 dan peraturan lainnya yang memuat kategori yang termasuk dalam tindakan korupsi serta sanksi-sanksi yang dapat dikenakan. Istilah sanksi pemiskinan sendiri tidak dikenal dalam konstitusi di Indonesia. Hal tersebut disebabkan istilah sanksi pemiskinan dilarang dalam hak asasi manusia dan dalam hukum islam. Walaupun demikian, bentuk-bentuknya dari sanksi yang ‘memiskinkan’ tersebut tetap dapat digunakan. Sanksi tersebut dapat berupa penyitaan aset dan perampasan aset.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, penyitaan atau perampasan aset ini termasuk dalam lingkup pemulihan aset yang diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-013/A/JA/06/2014. Pemulihan aset tersebut dikatakan berlaku untuk aset yang merupakan hasil secara langsung atau tidak langsung dari tindakan pidana korupsi, barang yang ditemukan, aset milik negara yang berada dalam kuasa pihak yang tidak berwenang, serta aset lainnya yang merupakan kompensasi.
Namun, ternyata hal ini tidak cukup untuk membuat efek jera. Sebab, regulasi ini masih memuat cacat hukum. Salah satunya adalah adanya hak terhadap koruptor untuk membuktikkan kembali yang diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 37A dan 38B. Hal ini memang diperlukan, khususnya apabila memang dugaan korupsi tersebut tidak benar. Akan tetapi, di sini juga terlihat sebuah kelemahan. Apabila koruptor dapat mengungkapkan asal-usul hartanya dengan baik di pengadilan, padahal harta atau aset tersebut merupakan hasil dari tindakan korupsi ataupun para koruptor kemudian menitipkan harta atau asetnya, tentu saja koruptor tersebut dapat diberikan sanksi yang jauh lebih ringan bahkan dapat lolos dari dugaan tindakan korupsi.
ADVERTISEMENT
Melihat permasalahan demikian, perlu ditegaskan dahulu konsep memiskinkan koruptor. Konsep ini pada dasarnya menerapkan prinsip ekonomi. Sanksi hukum disamakan dengan sebuah harga yang menyebabkan adanya reaksi terhadap suatu harga barang yang naik dengan mengurangi konsumsinya terhadap barang tersebut. Melalui analogi ini, masyarakat akan merespon tindakan hukum yang bersanksi berat dengan melakukan tindakan hukum bersanksi ringan. Dengan demikian, hukuman mati yang sesungguhnya termasuk sanksi yang berat hanya diberlakukan terhadap keadaan tertentu dan dapat digantikan dengan hukuman yang memiskinkan.
Sanksi terhadap koruptor yang mampu memiskinkan ini dapat dilihat sebagai suatu “harga”. Pasarnya berupa pasar keadilan dan kepastian hukum. Permintaan atau demand-nya adalah jumlah kerugian negara neto yang dilakukan oleh seorang koruptor dan penawaran atau supply dapat diartikan sebagai jumlah kerugian negara bruto yang dilakukan oleh seorang koruptor. Neto yang dimaksud adalah yang memang tidak dapat dibuktikkan oleh koruptor dan menjadi kerugian negara melalui data asli yang telah dihitung. Bruto dimaksudkan sebagai kerugian kotor atau kerugian tambahan berupa biaya sosial atau biaya multiplier dari kerugian negara tersebut. Kemudian, yang dimaksud produsen adalah masyarakat suatu negara yang menjadi korban tindakan korupsi atau dalam hal ini diwakilkan oleh pengadilan yang menyediakan “produk” berupa keadilan dan kepastian terhadap konsumen atau para pelaku koruptor yang diharuskan “membeli” produk tersebut.
ADVERTISEMENT
Untuk meminimalisasi ketidakpastian hukum dalam pembuktian terbalik atau tindakan-tindakan suap-menyuap, pemerintah memerlukan kebijakan price floor atau harga eceran terendah yang berada di atas keseimbangan pasar untuk melindungi produsen. Melalui kebijakan ini, konsumen (pelaku tindakan korupsi yang diharuskan membeli produk kepastian hukum) akan memeroleh harga atau sanksi lebih berat dari kerugian neto yang dia hasilkan. Sanksi ini juga harus dimaknai berupa perampasan aset, penyitaan aset, atau denda dan ganti rugi yang mempunyai nilai rupiah yang sesuai dengan sanksi yang dibebankan. Hal ini mengingat bahwa tujuan adanya sanksi ini adalah untuk “memiskinkan” pelaku koruptor yang berkuasa dan serakah. Meskipun demikian, memang tidak serta-merta sanksi ini akan membuat kekayaan koruptor tersebut habis, tetapi akan lebih baik dimaknai bahwa para koruptor tersebut kehilangan hartanya jauh lebih banyak daripada dana atau aset yang ia korupsi. Selain itu, sanksi penjara lebih baik tidak menjadi poin utama mengingat penjara tidak akan mengembalikan kerugian negara secara penuh. Akan lebih baik jika pemaksimalan berupa sanksi penjara menjadi opsi ketika aset koruptor telah habis atau tidak mampu membayar seluruh kerugian, baik bruto dan neto, yang dibebankan.
ADVERTISEMENT
Dengan melihat kenyataan bahwa korupsi masih marajalela, perlu dilihat bahwa sanksi untuk “menghabiskan” aset atau harta kekayaan koruptor sesungguhnya sangat diperlukan. Meskipun memiskinkan ini akan terdengar seperti melanggar HAM dan hukum agama islam, penerapannya sendiri bukan semata-mata membuat para koruptor menjadi masyarakat yang berkekurangan dan menjadi kehilangan penghidupan yang layak. Lain daripada itu, penerapan kebijakan price floor akan tetap menghormati martabat koruptor sebagai manusia, tetapi di satu sisi melindungi seluruh kepentingan rakyat. Penerapan ini juga akan mengatasi permasalahan pembuktian terbalik karena koruptor tetap harus “membayar” dengan “harga” yang lebih berat berapapun besaran aset yang dapat dibuktikan.