Konten dari Pengguna

Ironi Anak Jalanan: Masalah Sosial yang Terabaikan

angel jessica
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
20 Januari 2023 20:31 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari angel jessica tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anak Jalanan Belajar Menulis Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Anak Jalanan Belajar Menulis Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu aset bangsa adalah anak yang akan mewarisi negara di masa depan. Anak merupakan “bibit” yang perlu dilindungi dan diberdayakan agar dapat memberikan “buah” yang dapat mensejahterakan dirinya dan bangsa. Melihat kondisi demikian, sudah sepantasnya bagi negara untuk melindungi hak-hak anak agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, termasuk hak anak jalanan. Hal tersebut dipertegas pada Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menyatakan bahwa fakir miskin maupun anak yang ditelantarkan dipelihara oleh negara.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, terdapat suatu kenyataan yang berlawanan terhadap pedoman yang ditegaskan dalam pernyataan tersebut. Berdasarkan data penyandang masalah kesejahteraan sosial anak jalanan yang dipublikasikan oleh Kementerian Sosial pada tahun 2012, jumlah anak jalanan di Indonesia mencapai angka 135.598 ribu jiwa. Lebih spesifik, jumlah anak jalanan pada tahun 2021 yang mendapatkan penanganan di Provinsi Jakarta adalah sebanyak 410 yang didasarkan pada data dari Badan Pusat Statistik.
Padahal, anak jalanan ini adalah anak yang berusia di bawah umur dan menghabiskan sebagian atau bahkan seluruh waktunya di jalanan. Hal ini sangat memprihatinkan sebab anak yang berusia di bawah umur seharusnya mendapatkan pendidikan dan perawatan yang mendukung perkembangan dan pertumbuhannya.
Regulasi yang mengatur mengenai eksploitasi anak telah termuat dalam Pasal 76 bagian 1 UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Terhadap anak dari eksploitasi secara ekonomi dan seksual. Namun, sanksi berupa kurungan, penjara, dan denda jelas tidak akan efektif terhadap pelaku yang merupakan orang tua dengan kekurangan terhadap ekonomi. Hal ini dapat berimplikasi pelanggaran terhadap Pasal 24 UU No. 12 tahun 2005 tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang menyatakan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dalam keluarga. Namun, jika keluarga ditahan dan diadili oleh hukum, keluarga, dalam hal ini orang tua, akan semakin tidak berdaya untuk memberikan perlindungan. Oleh karena itu, sudah seharusnya pemerintah lebih berfokus pada pemberdayaan daripada penghukuman.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa program yang dilakukan oleh pemerintah untuk menindaklanjuti permasalahan anak jalanan tersebut, seperti implementasi Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2008 di Kota Makassar yang memuat upaya pembinaan, rehabilitasi, pemberdayaan, dan bimbingan lanjutan. Kemudian, ada pula pembuatan rumah singgah atau rumah perlindungan anak di beberapa daerah. Namun, program pemberdayaan ini sesungguhnya seperti sebuah ironi tanpa implementasi yang berdampak nyata. Data dari BPS yang telah disebutkan sebelumnya menjadi salah satu bukti kuat bahwa program pemberdayaan belum terlaksana secara maksimal.
Tidak hanya itu, sebagaimana dikutip dari Jurnal “Efektivitas Program Penanggulangan Anak Jalanan Berbasis Community Development di Kota Serang (Studi Pada Program Rumah Singgah), posko sahabat anak yang dibentuk di Kota Serang ternyata terbengkalai, kumuh, dan rusak. Padahal, dalam posko tersebut, akan ada pendataan dan pembicaraan terhadap anak jalanan. Namun, kenyataannya adalah posko ini tidak berfungsi lagi sejak 2015. Kemudian, Satpol PP pun diketahui jarang melakukan razia dan penjaringan. Satpol PP hanya operasi secara keliling saja. Hal tersebut jelas tidak cukup untuk mengurangi jumlah anak jalanan yang marak di masyarakat. Satpol PP harusnya dapat menetap secara sementara agar suatu daerah atau jalanan tersebut tidak dikerubungi oleh anak jalanan lagi.
ADVERTISEMENT
Menurut Nanda Aidiel, dkk dalam Prosiding “Pemberdayaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah”, program pemberdayaan anak jalanan juga seringkali kurang memaksimalkan upaya memutus rantai rasa “kepemilikan” anak terhadap jalanan. Akibatnya, segudang program pemberdayaan anak jalanan akan sia-sia karena anak telah terbiasa menghabiskan waktunya di jalanan.
Rumah singgah dan pemberdayaan anak jalanan harus semakin didengungkan oleh pemerintah. Penyakit sosial seperti fenomena anak jalanan akan memburuk di masa yang akan datang. Pemerintah tidak dapat hanya mengandalkan Satpol PP ataupun petugas yang berwenang untuk menindaklanjuti permasalahan anak jalanan di berbagai daerah.
Oleh sebab itu, dibutuhkan pula simpati dan empati masyarakat untuk bergerak memberdayakannya. Sayangnya, era teknologi dengan persaingan yang kuat pada saat ini telah memunculkan karakter individualis dalam masyarakat. Hal ini pun perlu menjadi catatan bagi pemerintah agar dapat menumbuhkan rasa kooperatif dan tanggung jawab oleh setiap masyarakat untuk bekerja sama dalam memberdayakan anak jalanan yang terlantar.
ADVERTISEMENT