Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Romansa Permasalahan Indonesia dan Politik Uang yang Tiada Tamatnya
5 Februari 2023 21:05 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari angel jessica tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seperti kisah romansa, Indonesia dan permasalahan politik uang telah menelan waktu hingga melewati berbagai pemilu. Berbagai operasi tangkap tangan hingga survei dan penelitian yang dilakukan beberapa lembaga telah menggambarkan masih maraknya politik uang di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Salah satu buktinya dapat dikutip dari Indeks Kerawanan Pemilu yang dipublikasikan oleh Bawaslu pada tahun 2019. Hasilnya mengindikasikan sejumlah 176 kabupaten atau kota memiliki kerawanan tinggi dalam permasalahan politik uang sementara 338 daerah memasuki kategori kerawanan tingkat sedang.
Sekali lagi, bagaikan kisah romansa, hubungan terlarang yang dilarang dalam undang-undang ini dibentuk dengan kekuatan besar dan kunci-kunci yang melanggengkannya. Kekuatan besar itu tidak lain dan tidak bukan adalah uang.
Sudah cukup jelas bahwa kedudukan money is power adalah mutlak di sini. Selanjutnya, tiga kunci yang melanggengkan kekuatan tersebut adalah kondisi-kondisi tragis yang dikemas dalam hubungan yang manis.
Peserta Pemilu Egois dan Masyarakat Tanpa Pendidikan Kritis (Saling Melengkapi)
ADVERTISEMENT
Mula-mula, peserta pemilu mendapatkan kekuatan finansial ini dari seseorang atau suatu tokoh lain yang terlibat, tetapi agak ditutup-tutupi dalam cerita. Biasanya disebut investor politik.
“Gue kasih, ya. Tapi kalau lo terpilih, balikin modal gue lewat kebijakan yang menguntungkan gue,” kata tokoh lain tersebut.
Cinta itu buta, begitu pula cinta uang. Kekuatan finansial ini akhirnya mencoba menalukkan hati pemilih yang pada umumnya adalah rakyat tanpa pendidikan cukup tinggi untuk berpikir kritis. Mungkin, terlihat rasional jika rakyat tersebut berusaha mendapatkan sejumlah keuntungan dari suatu hal.
Namun, nyatanya tindakan penaklukan ini sedang menipu masyarakat. Hal ini menjadikan pemilihan umum sebagai ajang transaksional. Masyarakat tersebut telah menggadaikan kedaulatannya kepada peserta pemilu yang egois dengan imbalan sejumlah materi.
ADVERTISEMENT
Jika demikian, masyarakat tersebut seharusnya tidak dapat menuntut tanggung jawab dari peserta pemilu yang terpilih dari ajang transaksional tersebut karena telah mendapatkan imbalan yang seharusnya. Jelas, kelebihan dan kelemahan dari pihak-pihak ini saling melengkapi dalam kedudukan yang tidak seimbang.
Tenggelam dan Membudaya di Masyarakat (Diwajarkan)
Seperti kisah cinta bernuansa itu—yang jelas-jelas dilarang dalam kitab suci manapun, atau kisah cinta yang berbeda keyakinan—kisah politik uang di Indonesia juga telah menyebar bagaikan wabah di masyarakat. Lambat laun, hal ini membudaya dan mendapatkan pemakluman.
Dalam pengakuan Tatang Johari, misalnya, si calon ketua LPM yang pernah viral di media massa, mengakui bahwa dirinya tergoda untuk menyebarkan amplop setelah mengetahui bahwa calon lainnya juga melakukan hal demikian. Dengan demikian, seolah-olah memang begini cara bermain di politik.
ADVERTISEMENT
Lebih daripada itu, sebagaimana dikutip dari artikel "Mengurangi Politik Uang Dalam Pilkada, Mungkinkah? Suara Publik di Tiga Kabupaten di Jawa Timur" ada persepsi mewajarkan yang terindikasi dalam kelompok umur yang semakin tua.
Pemalakan dari pengakuan Andi Yuliani Paris yang dimuat dalam detik.com juga demikian. Masyarakat meminta gula, beras, dan barang lainnya dengan janji akan memilih calon tersebut dalam pemilihan legislatif.
Penegakan Hukum Tumpul ke Atas (Pembatas Hubungan yang Tipis)
Sementara beberapa permasalahan dari suatu hubungan yang kandas biasanya adalah ketidakmampuan pasangan dalam situasi long distance relationship (LDR). Namun, di kisah Indonesia dan politik uang, penegakan hukum yang seharusnya memisahkan keduanya bukan menjadi sebuah tembok yang cukup besar dan kokoh.
ADVERTISEMENT
Lebih-lebih seperti jaring ikan yang banyak bolongnya. Mulai dari aparat penegak hukum hingga materi penegakkan hukumnya sendiri, yaitu undang-undang yang masih punya banyak kelemahan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum masih memuat kelemahan di bagian masa tenang dan masa kampanye.
Pasal-pasal tersebut tidak mencantumkan pihak lain di luar pelaksana kampanye dalam pelarangan pemberian imbalan kepada peserta kampanye. Padahal, bisa jadi politikus egois mempunyai kaki-tangan tersembunyi di luar pelaksana kampanye.
Proses penegakkan hukum yang rumit juga menjadi alasan. Coba lihat berapa kasus yang diberhentikan prosesnya dengan dalih tidak memenuhi unsur. Pada tahun 2020, sebanyak 96 kasus dugaan politik uang dihentikan. Namun, tidak ada transparansi lebih mendalam. Pengawasan yang lemah juga termasuk.
ADVERTISEMENT
Hal ini dikarenakan politik uang sering masuk di dalam aktivitas masyarakat biasa, seperti arisan dan acara rumahan. Tidak heran jika hubungan Indonesia dan politik uang semakin mesra dalam realitas menyedihkan.
Hubungan Indonesia dan politik uang mungkin lebih dalam dari hubungan yang pernah saya, Anda, kita, atau mereka alami. Walaupun demikian, jalinan bobrok ini harus segera dihentikan. Sebab, tidak heran jika banyak pejabat korupsi di bangku pemerintah jika pemilihannya saja tidak sesuai dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Atau, mungkinkah asas luber jurdil hanya sebagai idealisme yang tidak tercapai? Semoga tidak atau setidaknya saya, Anda, kita, dan mereka, dapat bertanggung jawab menjawab dan membuktikkan yang baik adanya.
ADVERTISEMENT