Konten dari Pengguna

Adiksi Teknologi: Bagaimana Mekanisme Otak Saat Kecanduan Teknologi?

Angela Putri Gunadi
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya
19 November 2024 17:51 WIB
·
waktu baca 5 menit
clock
Diperbarui 1 Desember 2024 14:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Angela Putri Gunadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi adiksi teknologi. Foto: shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi adiksi teknologi. Foto: shutterstock.com
ADVERTISEMENT
Saat ini, teknologi telah terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Dari bangun hingga kembali tidur, teknologi telah memengaruhi hampir setiap aspek rutinitas manusia dan mempengaruhi cara individu berinteraksi, bekerja, bermain, dan mengelola tugas sehari-hari. Smartphone kini seakan benda ajaib yang bisa digunakan untuk berbagai fungsi: telepon, kamera, navigator, asisten pribadi, komputer pribadi dan menghadirkan fungsi perbankan, perencanaan, belanja, pembelajaran, konferensi video, dan fungsi lainnya dalam genggaman kita. Apalagi sejak pandemi COVID‐19, masyarakat menghabiskan lebih banyak waktu secara online dibandingkan sebelumnya yang menjadikan manusia kini makin bergantung dengan teknologi (Kappeler, 2024). Namun dengan seiring meningkatnya ketergantungan kita pada teknologi, risiko mengembangkan kebiasaan penggunaan teknologi yang tidak sehat pun meningkat dan dapat menyebabkan adiksi terhadap teknologi.
ADVERTISEMENT
Menurut Holden (2001, dalam Turel et al., 2011), kecanduan teknologi adalah jenis khusus dari kecanduan perilaku (behavioral addiction) yang terkait pada ketergantungan psikologis pada penggunaan teknologi. Kecanduan teknologi melibatkan berbagai bentuk aktivitas daring yang bermasalah termasuk kecanduan media sosial (social media addiction), game (internet gaming disorder), judi online (gambling addiction), penggunaan pornografi (problematic pornography use), belanja (online shop addiction) (Gold, 2024; Sherer, 2024). Yang menarik, baik dalam kecanduan perilaku maupun kecanduan zat (alkohol, tembakau, dll.), pecandu terlibat dalam perilaku berisiko, mengabaikan tugas mereka, dan menderita berbagai konsekuensi negatif karena perubahan yang akan segera terjadi di area otak yang bertanggung jawab atas motivasi dan pembelajaran (Helmuth 2001, dalam (Turel et al., 2011).
ADVERTISEMENT
Meskipun kecanduan teknologi tidak memiliki diagnosis formal dalam DSM-5, efek yang ditimbulkan sebanding dengan kecanduan perilaku lainnya, yang ditandai dengan perilaku kompulsif (dorongan tak tertahankan untuk melakukan sesuatu), penarikan diri, dan rutinitas sehari-hari yang terganggu (Bottel et al., 2023). Dalam konteks penggunaan teknologi terutama internet, individu yang mengalami kecanduan tidak mampu untuk mengendalikan penggunaan teknologi, kesulitan dengan tanggung jawab pribadi dan profesional, dan terus menggunakan teknologi meskipun ada konsekuensi negatif (Sherer, 2024). Sama halnya dengan kecanduan zat, orang dengan kecanduan teknologi mungkin mengalami “gejala putus zat” jika akses ke teknologi terputus. Ketika akses terhadap teknologi terputus, mereka mungkin memerlukan intensitas yang lebih besar dalam menggunakan teknologi untuk merasakan efek menyenangkan yang sama. Hal ini tentunya tak hanya berpengaruh negatif pada kesejahteraan mental individu, namun juga adanya gejala fisik seperti ketegangan mata, sakit kepala, dan gangguan tidur.
ADVERTISEMENT
Jadi, sebenarnya apa yang terjadi pada otak ketika mengalami kecanduan terhadap teknologi? Seperti jenis adiksi yang lain, dopamin memainkan peran penting dalam sistem penghargaan otak (reward system) yang diaktifkan selama aktivitas yang menyenangkan, dalam hal ini saat menggunakan teknologi. Ketika individu terlibat dengan platform digital seperti media sosial atau game, dopamin akan dilepaskan dan sensasi menyenangkan akan terasa. Rasa menyenangkan ini akan memperkuat perilaku ini dan membuatnya lebih mungkin diulang (Weinstein & Lejoyeux, 2020). Dalam sebuah studi pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) mengungkapkan bahwa dorongan/keinginan dalam kecanduan game dan dorongan/keinginan dalam kecanduan zat memiliki mekanisme neurobiologis yang serupa (Ko et al., 2009). Perubahan ini terutama memengaruhi pemrosesan penghargaan (reward system), kontrol kognitif, dan mekanisme penghambatan perilaku yang tidak diinginkan, yang mengarah pada perilaku kompulsif dan gangguan pengambilan keputusan. Selain itu, individu yang kecanduan teknologi juga akan rentan mengalami kecemasan atau kegelisahan saat tidak berada didekat perangkat smartphone mereka (Bayar & Budak, 2021). Kecenderungan untuk memprioritaskan interaksi daring daripada hubungan di dunia nyata juga dapat menyebabkan isolasi sosial dan tekanan emosional pada individu dengan kecanduan internet (Al-Kandari & Al-Sejari, 2021).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penjelasan mengenai adiksi teknologi diatas, diperlukan kesadaran dalam penggunaan teknologi agar tidak berujung pada adiksi teknologi. Beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk meminimalisir perilaku adiksi teknologi adalah dengan menerapkan batasan screentime harian yang jelas, menerapkan “zona bebas gadget” diarea rumah misalnya di tempat tidur dan di meja makan, dan menerapkan digital detox, yakni kegiatan untuk sementara waktu tidak menggunakan perangkat digital seperti smartphone, laptop, dan media sosial. Selain strategi diatas, penerapan mindfulness juga dapat digunakan sebagai strategi yang efektif untuk mengatasi kecanduan teknologi dengan meningkatkan kesadaran dalam penggunaan teknologi. Mindfulness adalah “sadar penuh-hadir utuh”, artinya melibatkan kehadiran penuh pada saat ini, mengamati pikiran dan perasaan tanpa menghakimi (Cheng et al., 2020). Dengan penerapan mindfulness, individu akan memperoleh memegang kendali atas kebiasaan digital mereka yang mengarah pada kesehatan dan kesejahteraan psikologis individu.
ADVERTISEMENT
Al-Kandari, Y. Y., & Al-Sejari, M. M. (2021). Social isolation, social support and their relationship with smartphone addiction. Information, Communication & Society, 24(13), 1925–1943. https://doi.org/10.1080/1369118X.2020.1749698
Bottel, L., Brand, M., Dieris-Hirche, J., Pape, M., Herpertz, S., & Te Wildt, B. T. (2023). Predictive power of the DSM-5 criteria for internet use disorder: A CHAID decision-tree analysis. Frontiers in Psychology, 14, 1129769. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2023.1129769
Chen, H., Dong, G., & Li, K. (2023). Overview on brain function enhancement of Internet addicts through exercise intervention: Based on reward-execution-decision cycle. Frontiers in Psychiatry, 14, 1094583. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2023.1094583
Cheng, S.-S., Zhang, C.-Q., & Wu, J.-Q. (2020). Mindfulness and Smartphone Addiction before Going to Sleep among College Students: The Mediating Roles of Self-Control and Rumination. Clocks & Sleep, 2(3), 354–363. https://doi.org/10.3390/clockssleep2030026
ADVERTISEMENT
Kappeler, K. (2024). A Longitudinal Perspective on Digital Skills for Everyday Life: Measurement and Empirical Evidence. Media and Communication, 12, 8159. https://doi.org/10.17645/mac.8159
Weinstein, A., & Lejoyeux, M. (2020). Neurobiological mechanisms underlying internet gaming disorder. Dialogues in Clinical Neuroscience, 22(2), 113–126. https://doi.org/10.31887/DCNS.2020.22.2/awenstein