Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Profesionalitas Jurnalis: Fenomena Amplop hingga Plagiarisme
6 September 2022 9:47 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Angel Vibra Karamoy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Profesionalitas dalam bekerja seringkali disebut sebagai tolak ukur keberhasilan sebuah profesi. Hal yang sama juga terjadi pada industri pers. Segala aktivitas wartawan, telah diperhitungkan dengan sedemikian rupa. Sebagaimana dalam Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik, “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik”.
ADVERTISEMENT
Profesionalitas adalah kemampuan untuk melaksanakan segala urusan dengan penyelesaian yang efektif dan efisien. Seorang jurnalis yang profesional melaksanakan tugas mereka dengan cara-cara yang juga profesional. Beberapa diantaranya adalah menghormati hak privasi, tidak menyuap, menyajikan informasi secara berimbang, dan tidak melakukan plagiarisme.
Menghormati Hak Privasi
Menghormati hak privasi didefinisikan sebagai tindakan menghargai segala bentuk privasi dengan tidak memaksa narasumber menyebutkan hal-hal yang bukan konsumsi publik. Perihal ini sebenarnya sudah tertera dalam Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik bahwa wartawan memiliki hak tolak untuk melindungi identitas narasumber, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan menjalankan off the record sesuai dengan kesepakatan.
Wajib hukumnya bagi wartawan untuk melindungi narasumber dan memenuhi kebutuhan hak narasumber. Sebagai contoh, pada kesepakatan off the record. Kesepakatan ini mengatur tentang segala informasi atau data narasumber yang tidak boleh diberitakan.
ADVERTISEMENT
Ketika melakukan kesepakatan, wartawan harus berhati-hati dan memastikan semuanya dijalankan dengan benar dan tidak merugikan pihak manapun. Wartawan perlu untuk memahami bahwa segala bentuk kesepakatan harus dilaksanakan murni karena tugas dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun.
Prinsip Balance dan Cover All Side
Sejatinya wartawan harus dapat menerapkan prinsip balance dan cover all side. Prinsip ini mengatur kewajiban seorang wartawan untuk menyajikan berita secara proporsional. Balance berarti bahwa berita tersebut seimbang dan cover all side berarti berita tersebut memberikan kesempatan yang setara pada semua pihak.
Berita berimbang menurut Pasal 1 dan Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik adalah wartawan menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan dapat menguji kebenaran informasi, menempatkan informasi seimbang antara fakta dan opini, serta mampu menerapkan asas praduga tak bersalah.
ADVERTISEMENT
Berita yang berimbang artinya berita harus dimuat tanpa ditunggangi maksud tertentu. Namun saat ini, sudah bukan kejutan lagi ketika menemukan berita yang berpihak pada satu sisi. Atau dalam situasi lainnya, satu pihak tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk memberikan keterangan.
Porsi yang cenderung berat sebelah, dominasi opini ketimbang fakta, atau memuat berita atas dasar praduga pribadi. Semua hal tersebut faktanya masih saja terjadi hingga saat ini. Dengan tujuan dan kepentingan masing-masing, tampak sangat sulit menghentikan fenomena buruk yang semakin hari justru semakin marak terjadi.
Fenomena Amplop
Meskipun aktivitas jurnalis telah diatur dengan sangat jelas, ada saja budaya buruk dan sisi gelap jurnalisme yang masih terus berkembang. Ini membuktikan bahwa praktik jurnalisme layaknya dua sisi mata uang, memiliki pemahaman yang saling berlawanan.
ADVERTISEMENT
Salah satu budaya buruk yang masih mengakar hingga saat ini adalah fenomena gratifikasi yang lebih dikenal sebagai fenomena amplop atau wartawan amplop. Fenomena amplop merujuk pada aktivitas jurnalis dalam menerima pemberian dari narasumber berupa uang, barang, makanan, fasilitas, dan lain sebagainya.
Dalam aktivitas ini, wartawan amplop terbagi atas dua pola, yaitu pola aktif berburu amplop dan pola pasif yang tidak mengharapkan amplop, namun juga tidak menolak ketika ditawarkan. Ada pula pola pemerasan yang dilakukan dengan mengancam akan menyiarkan informasi tertentu dari narasumber.
Apapun polanya, semua sama bertentangan dengan Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik, “Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap”. Artinya, seorang wartawan harus menjunjung tinggi profesionalisme jurnalis dengan bersikap jujur, adil, dan menolak segala bentuk gratifikasi.
ADVERTISEMENT
Ketika aturan tidak dijalankan dengan baik, perlu diperhatikan apa yang menjadi penyebab hadirnya fenomena ini. Dilihat dari tujuannya, fenomena amplop dapat muncul karena kurangnya penghargaan atas jurnalis di negara berkembang. Terbatasnya modal pada industri pers, berdampak pada kesejahteraan dan kelayakan imbalan yang didapatkan jurnalis. Hal ini yang memicu mereka menempuh cara-cara tersebut untuk mendapatkan imbalan yang lebih.
Plagiarisme
Seorang wartawan profesional, tidak mengharapkan imbalan atas pekerjaan yang dilakukannya. Mereka bekerja dengan ketulusan dan berorintasi pada tugas. Wartawan yang profesional sangat menghargai pekerjaan dan keorisinilan sebuah karya. Sehingga tampak menyedihkan, atau lebih hina, apabila tulisan yang dimuat bukanlah orisinil, melainkan hasil plagiat.
Plagiarisme adalah tindakan menjiplak, meniru, atau mengambil karya orang lain dan menjadikannya sebagai hasil karya sendiri. Plagiarisme tidak hanya merenggut kepemilikan sebuah karya, tetapi lebih buruk dari itu, mereka tidak mencantumkan kredit atas sumber asli dari karya tersebut.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, fakta di lapangan menunjukkan masih ada kasus plagiarisme yang marak terjadi di dunia pers. Salah satu contohnya dikutip dari laman Dewan Pers terkait pengaduan berita plagiat pada tahun 2010.
Dalam laman tersebut, disebutkan adanya aduan plagiarisme oleh Majalah Infosawit Jakarta pada Majalah AgroFarm Jakarta atas berita “Moratorium Bukan Kiamat Bagi Sawit”. Berdasarkan keterangan redaksi Infosawit, Majalah AgroFarm telah mengutip sebagian berita yang ada di Majalah Infosawit tanpa menyertakan keterangan sumber atas informasi tersebut.
Kasus plagiat semacam ini tentu menjadi sebuah aib yang mencoreng profesi jurnalis. Tindakan yang bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik dan merupakan kejahatan besar bagi seorang jurnalis. Maka dari itu, menjadi sebuah catatan bagi semua pihak untuk memastikan segala bentuk informasi yang dimuat dapat dibuktikan, diterangkan, dan dipertanggungjawabkan.
ADVERTISEMENT
Penulis :
Angel Vibra Karamoy, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas.