Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Dosen Seharusnya Membimbing, Bukan Mencabuli
21 Desember 2021 16:08 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Angelica Margaretha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Gimana nasib hubungan kita? Kamu enggak ada respons positif."
Kemudian pesan berbunyi, "(Nama korban) I love You."
ADVERTISEMENT
"Sebentar lg kamu wisuda. Tinggalkan saya. Kita akan gak ketemu lg. Lamaran sy gimana? Gak pernah ada jawaban. Terbang bersama angin."
"Kita akan berpisah dan bersuami orang lain,"
tangkapan layar dari pesan yang dikirim dosen UNJ yang diduga melakukan pelecehan seksual pada mahasiswa bimbingannya pada 25 Januari 2019 yang diunggah akun Twitter @ay*sanj*s.
Kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia sedang melonjak. Media terus-terusan diramaikan dengan berita kekerasan seksual yang silih berganti. Beberapa di antaranya adalah kasus pemerkosaan 12 santriwati, kasus pemerkosaan bergilir buruh pabrik di Sukabumi, kasus pemerkosaan dan perdagangan anak di Aceh, Kasus kekerasan seksual yang dialami Novia Widyasari.
Tidak terkecuali kasus-kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh para dosen di tingkat perguruan tinggi seperti yang pernah terjadi di Undip oleh dosen FIB, di UGM, di FISIP USU, di UIN Malang, dan yang paling menyorot akhir-akhir ini adalah kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen UNSRI, dosen UNRI, dan dosen UNJ yang menjadi sorotan seluruh kalangan masyarakat terutama para mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Latar belakang pelaku yang merupakan seorang dosen sangat amat tidak bisa diwajarkan melakukan hal tersebut. Layakkah seorang tenaga pendidikan yang seharusnya mendidik mahasiswanya yang adalah masa depan bangsa justru malah melakukan pelecehan?
Sudah bukan hal baru lagi. Pelecehan seksual di lingkungan kampus adalah sesuatu yang sering terjadi, bukan hanya baru-baru ini, tapi sejak dulu. Mirisnya, hanya sedikit dari mereka yang berani speak up. Banyak dari antara mereka yang menjadi korban juga merasa terpaksa dan tidak berani mengatakan tidak ataupun menolak atau hanya diam ketika mengalami pelecehan seksual hanya karena si pelaku adalah seseorang yang memiliki kekuasaan dan kedudukan yang tinggi di kampus.
Beberapa dari korban sudah melaporkan kasus yang dialaminya, tapi hanya sedikit yang ditindaklanjuti. Sisanya mengendap dan hilang seiring berjalannya waktu. Tidak sedikit juga pelaku maupun pihak universitas yang meminta agar kasus yang dialami diselesaikan secara kekeluargaan bahkan lewat jalur tertutup agar nama kampus tidak tercoreng.
ADVERTISEMENT
Bahkan, banyak juga dari dosen yang menjadi pelaku pelecehan seksual tersebut mengancam mahasiswanya, seperti kasus yang terjadi di UNSRI, para korban terancam batal yudisium bahkan disekap di toilet kampus. Saya yakin, perasaan para mahasiswa tersebut bercampur aduk antara ketakutan tidak bisa ikut wisuda, ditambah lagi takut terhadap pelaku yang adalah dosennya sendiri. Sungguh disayangkan, orang yang berpendidikan tinggi tidak memiliki rasa kemanusiaan. Jangankan rasa kemanusiaan, akal sehatnya saja, mungkin sudah tidak berfungsi.
Ironisnya, banyak dari pelaku pelecehan seksual yang mengaku bahwa dirinya tidak sengaja dan khilaf. Sebuah alasan yang sangat tidak masuk akal. Bagaimana seseorang melakukan hal yang dianggap haram oleh agama secara tidak sengaja? Bukankah ketika ingin memakan daging babi saja sudah pasti kita menolak karena tahu kalau itu haram?
ADVERTISEMENT
Perlu digarisbawahi bahwa kekerasan seksual bentuknya tidak hanya sebatas tindakan asusila, melainkan juga tindakan yang melanggar hak dan kemanusiaan korban. Ini selaras dengan pasal 5 Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021 yang menyatakan bahwa yang termasuk kekerasan seksual adalah verbal, non fisik, fisik, dan melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Artinya, kekerasan seksual tidak selalu berbentuk fisik. Namun, kasus-kasus seperti pesan bernada sexting, pesan rayuan, yang dilakukan oleh dosen UNJ, ataupun pengiriman video-video porno yang juga banyak terjadi, merupakan bentuk kekerasan seksual.
Dari para pelaku kekerasan seksual tersebut, salah satu di antaranya, masih terus melakukan perlakuan yang bejat hingga sekarang, walaupun penangan kasus-kasus telah dilakukan. Ironisnya, banyak dari para pelaku kekerasan seksual tersebut yang ternyata menjabat posisi penting di lembaga kampus ataupun di organisasi-organisasi pusat.
ADVERTISEMENT
Bayangkan, tanpa disadari beberapa dari kita yang berontak atas perbuatannya ternyata malah ikut mendukung mereka menjabat. Kita dengan naif tertawa bersama mereka, ikut mendukung ide-ide mereka, sedangkan banyak orang yang menderita akibat perbuatannya. Masih ada orang yang menjadi korban kebejatan disertai nafsunya, yang dengan mudah ia lakukan tanpa merasa bersalah.
Banyak perempuan yang dituntut untuk bisa menjaga dirinya sendiri. Pengedukasian tentang berpakaian dan lain sebagainya telah menjamur sana sini. Tidak sedikit orang tua yang mendidik anak perempuannya sejak kecil untuk bisa menjaga diri. Saya sendiri pun ketika duduk di bangku SMP dimasukkan ke dalam salah satu dojo beladiri agar saya dapat menjaga diri.
Namun, rasanya seperti menuang air ke dalam ember yang bocor. Semua perempuan berupaya menjaga dirinya dengan baik, tapi tetap saja masih banyak di antaranya yang menjadi korban kekerasan seksual. Ironisnya, pelaku kekerasan seksual tidak bisa diprediksi. Siapa pun, bisa menjadi pelaku, bahkan orang-orang terdekat sekalipun. Bukankah sudah sepatutnya kasus-kasus kekerasan seksual ini diberi perhatian lebih?
ADVERTISEMENT
Sudah seharusnya semua ini dihentikan. Para pelaku kekerasan seksual tidak layak dibiarkan dan ditolerir atas perbuatan bejatnya. Siapa pun pelakunya, setinggi apa pun jabatannya, jika dia adalah predator seksual sudah sepatutnya mendapat hukuman yang setimpal.
Kita sebagai masyarakat dapat memulainya dengan hal-hal kecil seperti membangun stigma pro penyintas dan kontra pelaku. Hal ini dapat mendukung para penyintas untuk sadar bahwa para predator seksual tidak bisa dibiarkan begitu saja. Stigma yang terbentuk ini akan membangun kesadaran secara tidak langsung untuk ikut mendukung para penyintas berdiri tegak melawan para predator seksual.
Normalisasi pelecehan seksual dalam bentuk apa pun, seperti candaan pun, harus segera dihilangkan. Bila dirasa ada yang tidak beres atau Anda sendiri yang justru menjadi korban kekerasan seksual, jangan pernah takut untuk bersuara. Tubuh kita adalah hak kita dan milik kita sepenuhnya!
ADVERTISEMENT