Konten dari Pengguna

Korupsi dan Suap Sebagai Masalah Besar di Indonesia

Angelita SC Sibarani
Mahasiswa Fakultas Hukum USU
11 Oktober 2024 21:39 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Angelita SC Sibarani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Fakta korupsi dan suap di Indonesia

ADVERTISEMENT
Praktik suap dan korupsi telah menjadi isu yang mengakar dalam dalam masyarakat Indonesia. Fenomena ini bukan hanya menjadi masalah hukum, tetapi juga telah meresap ke dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan politik negara kita. Sebagai warga negara yang peduli akan masa depan bangsa, saya merasa perlu untuk menyuarakan keprihatinan dan pandangan saya mengenai masalah yang telah banyak dinormalisasikan oleh masyarakat ini.
Ilustrasi korupsi dan suap (sumber: https://pixabay.com/id/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi korupsi dan suap (sumber: https://pixabay.com/id/)
Pertama-tama, mari kita pahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan suap. Dalam kamus hukum Black's Law Dictionary, penyuapan diartikan sebagai tindakan menawarkan, memberikan, menerima, atau meminta nilai dari suatu barang untuk mempengaruhi tindakan pegawai lembaga atau sejenisnya yang bertanggung jawab atas kebijakan umum atau peraturan hukum. Tindakan ini merupakan salah satu bentuk dari tindak pidana korupsi, di mana seseorang memberikan sesuatu, baik berupa uang, barang, atau bentuk lainnya, kepada pejabat atau orang yang memiliki wewenang dengan tujuan untuk mempengaruhi keputusan atau tindakan pejabat tersebut demi keuntungan pribadi si pemberi suap. Sementara itu, korupsi memiliki cakupan yang lebih luas, meliputi berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Namun, kedua hal ini sama-sama dapat memberikan dampak negative yang signifikan bagi kehidupan bermasyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks hukum di Indonesia, praktik suap dan korupsi telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini secara tegas menyatakan bahwa suap dan berbagai bentuk korupsi lainnya merupakan tindak pidana yang dapat dikenai sanksi hukum. Namun, meskipun kerangka hukum telah ada, implementasi dan penegakannya masih jauh dari sempurna. Praktik suap dan korupsi di Indonesia telah menjadi semacam "budaya" yang sulit diberantas. Dari level grassroot hingga tingkat elite, dari urusan kecil seperti pengurusan KTP hingga proyek-proyek besar pemerintahan, suap seringkali dianggap sebagai "pelumas" untuk memperlancar proses. Fenomena ini mencerminkan betapa dalamnya akar korupsi telah tertanam dalam sistem dan masyarakat kita.
ADVERTISEMENT
Mari kita lihat beberapa contoh kasus korupsi besar yang telah mengguncang negeri ini. Kasus e-KTP yang merugikan negara hingga 2,3 triliun rupiah sekitar tahun 2011-2012 menjadi salah satu contoh betapa masifnya dampak korupsi. Dalam kasus ini, dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik justru digelapkan oleh sekelompok elit politik dan birokrat. Namun terdapat bagian yang saya sayangkan dari amar putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim terhadap Setya Novanto, sebagai salah satu Terdakwa dalam kasus ini. Dalam amar yang ke-6, Setya Novanto dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk menduduki jabatan publik selama 5 (lima ) tahun terhitung sejak terpidana selesai menjalani masa pemidanaan. Hal ini jelas membuka ruang bagi Setya Novanto untuk kemudian terlibat aktif lagi sebagai politikus walaupun tidak di partai terkait setelah melakukan tindakan yang merugikan Negara dalam jumlah yang sangat besar.
ADVERTISEMENT
Belum lagi kasus Bank Century yang menelan dana talangan sebesar 6,7 triliun rupiah pada tahun 2008, atau skandal Jiwasraya yang merugikan negara hingga 16,81 triliun rupiah. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, tetapi mencerminkan betapa besar potensi pembangunan dan kesejahteraan rakyat yang telah dirampas oleh para koruptor. Dan yang baru terjadi adalah kasus hakim DS yang terbukti menerima suap sebesar 300 juta ketika mengadili perkara yang menjerat mantan Wali Kota Kediri Samsul Ashar di PN Surabaya. Kasus ini berawal saat DS menjadi ketua majelis hakim di PN Surabaya yang menyidangkan terdakwa mantan Wali Kota Kediri (Alm) Samsul Ashar karena terlibat tindak pidana korupsi proyek pembangunan Jembatan Brawijaya Kota Kediri pada 2021. Samsul Ashar dituntut 12 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU). Namun, Samsul Ashar kemudian divonis 4 tahun 6 bulan penjara. Atas hal ini, DS mendapatkan sanksi berat berupa pemberhentian tidak dengan hormat.
ADVERTISEMENT
Namun, perlu diketahui bahwa kasus seperti ini bukan hanya terjadi dalam skala besar di tingkat pusat. Di tingkat daerah, kita sering mendengar kasus-kasus kepala daerah yang terjerat korupsi. Sebut saja kasus suap impor daging sapi yang melibatkan mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, atau kasus korupsi pengadaan alat kesehatan yang menjerat mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa korupsi telah menyebar ke berbagai level pemerintahan, dari pusat hingga daerah.
Lalu, apa sebenarnya dampak dari semua ini? Korupsi tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga memiliki dampak yang luas dan mendalam terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan kesehatan, atau perbaikan sistem pendidikan, justru masuk ke kantong pribadi para koruptor. Akibatnya, kualitas hidup masyarakat tidak kunjung membaik, kesenjangan sosial semakin melebar, dan kepercayaan publik terhadap pemerintah semakin menurun. Bahkan hal ini juga bisa menjadi cikal penyebab semakin maraknya tindakan kriminalitas di Indonesia. Lebih dari itu, korupsi juga menciptakan distorsi dalam sistem ekonomi. Ketika suap menjadi "biaya tambahan" dalam berbisnis, hal ini akan meningkatkan biaya produksi yang pada akhirnya dibebankan kepada konsumen. Akibatnya, daya saing produk nasional menurun, investasi terhambat, dan pertumbuhan ekonomi melambat.
ADVERTISEMENT
Dampak korupsi tidak hanya terbatas pada kerugian finansial dan material yang langsung terlihat, tetapi juga memiliki konsekuensi tidak langsung yang jauh lebih berbahaya dan mengakar, yaitu terciptanya budaya ketidakjujuran yang meresap ke dalam berbagai lapisan masyarakat. Ketika tindakan korupsi mulai dianggap sebagai hal yang "biasa" atau bahkan "diperlukan" dalam kehidupan sehari-hari, hal ini secara perlahan namun pasti akan membentuk mentalitas kolektif yang sangat merusak masyarakat, terutama generasi muda. Masyarakat akan mulai menerima gagasan bahwa untuk mencapai kesuksesan, mendapatkan pelayanan publik, atau bahkan sekadar menyelesaikan urusan administratif sederhana, praktik-praktik curang dan tidak etis adalah hal yang wajar dan dapat diterima. Paradigma ini kemudian berkembang menjadi norma sosial yang tidak tertulis, di mana kejujuran dan integritas dianggap sebagai penghalang kemajuan, sementara kecurangan dan manipulasi dipandang sebagai "keterampilan" yang perlu dikuasai.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini tentu saja sangat berbahaya bagi fondasi moral dan etika bangsa ke depannya. Jika dibiarkan, hal ini dapat mengakibatkan erosi nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi pegangan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kepercayaan antar warga negara maupun terhadap institusi pemerintah akan terkikis, yang pada gilirannya dapat melemahkan kohesi sosial dan stabilitas nasional. Lebih jauh lagi, mentalitas semacam ini berpotensi menghambat pembangunan karakter bangsa, mengurangi daya saing negara di kancah internasional, dan bahkan mengancam kelangsungan demokrasi serta keadilan sosial yang menjadi cita-cita bersama.
Lantas, bagaimana upaya penanganan korupsi di Indonesia selama ini? Sejak bergulirnya era reformasi pada tahun 1998, Indonesia telah melakukan berbagai upaya sistematis dan komprehensif untuk memberantas korupsi yang telah mengakar selama puluhan tahun. Upaya-upaya ini mencakup reformasi kelembagaan, penguatan kerangka hukum, serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengawasan. Salah satu langkah paling signifikan dalam perjuangan melawan korupsi adalah pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002 melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. KPK didirikan sebagai lembaga independen yang diberi mandat khusus dan wewenang yang luas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap kasus-kasus korupsi, terutama yang melibatkan kerugian negara dalam jumlah besar atau menarik perhatian publik. Lembaga ini juga diberi kewenangan untuk melakukan tindakan pencegahan korupsi melalui pendidikan anti-korupsi dan kampanye kesadaran publik.
ADVERTISEMENT
Sejak pembentukannya, KPK telah menunjukkan kinerja yang cukup menggembirakan dan mampu mengembalikan kepercayaan publik terhadap upaya pemberantasan korupsi. Lembaga ini berhasil mengungkap berbagai kasus korupsi besar dan kompleks yang melibatkan pejabat tinggi negara, mulai dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menteri kabinet, gubernur, bupati/walikota, hingga pimpinan lembaga negara lainnya. Prestasi KPK tidak hanya terbatas pada penindakan terhadap koruptor kelas kakap, tetapi juga mencakup pengungkapan jejaring korupsi yang sistematis di berbagai sektor pemerintahan.
Salah satu strategi yang efektif dan inovatif yang digunakan KPK adalah Operasi Tangkap Tangan (OTT). Metode ini melibatkan penangkapan pelaku korupsi tepat pada saat transaksi suap atau tindak pidana korupsi lainnya sedang berlangsung. OTT yang sering dilakukan KPK tidak hanya memberikan efek kejut bagi para pelaku korupsi, tetapi juga mampu menimbulkan efek jera yang signifikan bagi para pejabat atau individu lain yang berniat melakukan tindak pidana korupsi. Keberhasilan OTT ini juga telah meningkatkan kepercayaan publik terhadap keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi.
ADVERTISEMENT
Namun, pemberantasan korupsi di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Salah satunya adalah upaya-upaya untuk melemahkan KPK, baik melalui revisi undang-undang maupun melalui kriminalisasi terhadap pimpinan dan penyidik KPK. Hal ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi masih mendapat resistensi yang kuat dari kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Selain KPK, lembaga penegak hukum lain seperti kepolisian dan kejaksaan juga memiliki peran penting dalam pemberantasan korupsi. Namun, kinerja lembaga-lembaga ini dalam penanganan kasus korupsi masih sering mendapat sorotan. Banyak kasus yang mandek di tingkat penyidikan atau penuntutan, atau berakhir dengan vonis yang dianggap terlalu ringan oleh masyarakat.
Di sisi lain, pemerintah juga telah melakukan berbagai upaya pencegahan korupsi. Salah satunya adalah melalui penerapan sistem e-government yang bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan mengurangi peluang terjadinya korupsi dalam pelayanan publik. Namun, implementasi sistem ini masih belum merata di seluruh Indonesia dan masih memerlukan banyak perbaikan. Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk memberantas korupsi?
ADVERTISEMENT
a. Pertama, kita perlu memahami bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya tugas pemerintah atau penegak hukum, tetapi juga tanggung jawab seluruh elemen masyarakat. Sebagai individu, kita bisa memulai dari diri sendiri dengan menolak terlibat dalam praktik suap atau korupsi sekecil apapun. Kita juga perlu berani untuk melaporkan praktik-praktik korupsi yang kita temui.
b. Kedua, pendidikan anti-korupsi perlu ditanamkan sejak dini. Nilai-nilai integritas, kejujuran, dan tanggung jawab harus menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Dengan demikian, kita bisa membentuk generasi baru yang memiliki kesadaran dan komitmen kuat untuk melawan korupsi.
c. Ketiga, kita perlu mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan. Sistem yang transparan akan mempersempit celah untuk praktik korupsi. Ini bisa dimulai dari hal-hal sederhana seperti transparansi anggaran desa, hingga ke level yang lebih tinggi seperti pengadaan barang dan jasa pemerintah.
ADVERTISEMENT
d. Keempat, penguatan lembaga anti-korupsi seperti KPK sangat penting. Sebagai masyarakat, kita perlu terus mendukung dan mengawal kinerja lembaga-lembaga anti-korupsi ini. Kita juga perlu kritis terhadap upaya-upaya yang berpotensi melemahkan lembaga-lembaga tersebut.
e. Kelima, penegakan hukum harus diperketat dan konsisten. Hukuman yang tegas bagi para koruptor akan memberikan efek jera. Namun, yang lebih penting lagi adalah konsistensi dalam penegakan hukum. Tidak boleh ada diskriminasi atau tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi.
f. Keenam, kita perlu membangun sistem yang mendukung whistleblower atau pelapor tindak korupsi. Banyak kasus korupsi yang terungkap berkat keberanian whistleblower. Namun, sering kali mereka menghadapi ancaman atau tekanan. Sistem perlindungan yang kuat bagi whistleblower akan mendorong lebih banyak orang untuk berani melaporkan praktik-praktik korupsi yang mereka temui.
ADVERTISEMENT
g. Ketujuh, pemanfaatan teknologi dalam sistem pemerintahan bisa menjadi salah satu solusi. Sistem e-government yang baik bisa mengurangi interaksi langsung antara pejabat dan masyarakat, sehingga mengurangi peluang terjadinya korupsi. Selain itu, teknologi juga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan transparansi dan memudahkan pengawasan oleh masyarakat.
Tentu saja, pemberantasan korupsi bukanlah pekerjaan mudah yang bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Ini adalah proses panjang yang membutuhkan komitmen dan kerja keras dari semua pihak. Namun, jika kita bersatu dan bertekad untuk memberantas korupsi, saya yakin kita bisa menciptakan Indonesia yang lebih bersih dan lebih baik.
Sebagai penutup, mari kita renungkan kembali. Korupsi bukan hanya masalah hukum atau politik, tetapi juga masalah moral dan etika. Setiap kali kita tergoda untuk terlibat dalam praktik korupsi, sekecil apapun itu, ingatlah bahwa tindakan kita memiliki dampak yang lebih luas. Dampaknya bukan hanya pada diri kita sendiri, tetapi juga pada masyarakat dan masa depan bangsa. Kita semua memiliki peran dalam pemberantasan korupsi. Entah itu sebagai pejabat yang menolak suap, pengusaha yang menjalankan bisnis dengan jujur, atau warga biasa yang berani melaporkan praktik korupsi dan menunjukkan ketidaksetujuan terhadap praktik illegal tersebut dalam kehidupan bermasyarakat. Setiap tindakan, sekecil apapun, akan memberi kontribusi dalam menciptakan Indonesia yang bersih dari korupsi.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, mari mulai dari diri sendiri. Mari kita tumbuhkan keberanian untuk mengatakan "tidak" terhadap korupsi. Mari kita bangun integritas dalam diri kita dan orang-orang di sekitar kita. Dengan tekad yang kuat dan tindakan nyata, saya yakin kita bisa menciptakan perubahan. Kita bisa membangun Indonesia yang bersih, berintegritas, dan bebas dari korupsi. Semoga refleksi ini bisa menjadi cambuk bagi kita semua untuk terus berjuang melawan korupsi demi masa depan Indonesia yang lebih baik.