Konten dari Pengguna

Hari Kerohanian: Toleransi Nian Menjadi Abaian

Angelita
Mahasiswa jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara 2024
25 November 2024 11:02 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Angelita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Generated by OpenAI's DALL·E.
zoom-in-whitePerbesar
Generated by OpenAI's DALL·E.
ADVERTISEMENT
“Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” ucap Gus dur, ucapan singkat dengan penuh makna mengingatkan tiap insan akan Hari Kerohanian yang menjadi momen merayakan kebersamaan dalam keberagaman agama dan keyakinan, sebuah perwujudan nyata dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Namun, ironisnya, penghormatan dan toleransi yang ingin dicapai masih sering kali tergambar dalam bentuk intoleransi dan perseteruan yang masih meresap dan terjadi di berbagai lapisan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Hari Kerohanian, hari yang diperingati setiap 3 November, menjadi hari peringatan yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai-nilai spiritual dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Diharapkan, Hari Kerohanian ini dapat menumbuhkan perilaku saling menghargai di tengah keberagaman agama di Indonesia. Hal ini mengingat terdapat enam agama dan kepercayaan di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965.
Peringatan Hari Kerohanian Nasional juga sejalan dengan UUD 1945 Pasal 29 yang menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan mengamalkannya sesuai dengan kepercayaannya.
Hal ini menunjukkan bahwa negara menghormati hak asasi manusia dalam bidang keagamaan serta tidak memaksakan satu agama tertentu kepada seluruh rakyatnya. Sayangnya, berbagai kasus intoleransi agama di Indonesia terus menjadi tantangan dalam mewujudkan kerukunan umat beragama, meskipun prinsipnya dijamin oleh konstitusi negara. Sebagai contoh, kasus pembubaran doa rosario di Tangerang Selatan yang terjadi pada Minggu malam, 5 Mei 2024, menjadi bukti nyata minimnya nilai toleransi di Indonesia. Pengancaman dalam bentuk verbal dan nonverbal dilakukan pada masyarakat yang sedang menjalankan ibadah doa rosario hingga dibawanya senjata tajam berjenis pisau sebanyak tiga bilah untuk melakukan ancaman agar korban berhenti melaksanakan ibadah. Peristiwa ini menjadi salah satu kasus yang sempat ramai dibahas karena menuai berbagai respons atas kekesalan masyarakat Indonesia terhadap peristiwa yang terjadi. Mereka beranggapan bahwa makna toleransi sudah tidak berlaku lagi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang kerap terjadi adalah penolakan terhadap pembangunan tempat ibadah dengan berbagai alasan. Sebagai contoh, rencana pembangunan gereja di tanah milik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Maranatha di lingkungan Cikuasa, Kelurahan Gerem, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon, mendapatkan penolakan dari sejumlah masyarakat hingga Pemerintah Daerah Kota Cilegon. Penolakan ini bukan hanya terjadi pada kasus ini saja. Menurut riset Indeks Kota Toleran yang diterbitkan oleh Setara Institute, Kota Cilegon selalu masuk dalam deretan peringkat yang cukup rendah, yaitu nomor delapan dari bawah pada 2020, nomor tiga dari bawah pada 2021, nomor satu dari bawah pada 2022, dan nomor dua dari bawah pada 2023. Hingga saat ini, tidak ada satu pun tempat ibadah umat nonmuslim yang berdiri di Cilegon. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Cilegon tahun 2021, tercatat ada 381 masjid dan 387 musala di Cilegon, tanpa satu pun gereja, pura, ataupun vihara yang tercatat. Sementara itu, jumlah warga nonmuslim di tahun yang sama tidaklah sedikit, yakni total 6.740 warga Kristen, 1.743 warga Katolik, 215 warga Hindu, 215 warga Buddha, dan 7 warga Konghucu, yang tentunya membutuhkan tempat ibadah.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, pemerintah daerah berkewajiban melindungi seluruh masyarakat dalam kebebasan menjalankan ibadah agamanya sepanjang tidak menyalahgunakan atau merendahkan agama lain serta tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum. Pemerintah daerah juga tidak dapat mencegah pembangunan tempat ibadah. Menjaga kerukunan umat beragama tidak hanya menjadi tanggung jawab bersama umat beragama dan pemerintah, tetapi juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Salah satunya diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Menjaga Kerukunan Umat Beragama, Memperkuat Forum Kerukunan Umat Beragama, dan sebagainya, serta Pembangunan Tempat Ibadah. Peraturan Bersama ini disebut juga dengan SKB 2 Menteri Tempat Ibadah.
ADVERTISEMENT
Toleransi adalah salah satu pilar yang menjaga keberagaman Indonesia agar tetap harmonis dan kohesif. Dengan lebih dari 17.000 pulau dan ratusan suku serta agama, Indonesia telah lama dikenal sebagai contoh hidup dari prinsip Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti "berbeda-beda tetapi tetap satu." Namun, dengan segala kasus yang terjadi, muncul tanda terkikisnya nilai toleransi itu sendiri yang memunculkan kekhawatiran nyata terhadap masa depan keberagaman bangsa.
Penyebab terkikisnya toleransi ini sangat kompleks, mulai dari penyebaran informasi yang tidak akurat hingga kurangnya edukasi tentang nilai-nilai keberagaman. Fenomena ini tidak boleh dibiarkan berkembang karena dampaknya tidak hanya merusak hubungan antarindividu dan antarumat beragama, tetapi juga mengancam kesatuan nasional.
Toleransi terhadap perbedaan, khususnya dalam hal agama, harus terus dijaga dengan serius. Sikap saling menghormati dan menerima perbedaan tidak hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi juga tanggung jawab kolektif masyarakat dan negara. Upaya untuk menanamkan nilai-nilai toleransi sejak dini, termasuk melalui pendidikan formal, kampanye kesadaran, dan praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari, sangatlah penting.
ADVERTISEMENT
Tanpa upaya bersama untuk memperkuat kembali sikap toleransi, kerukunan yang telah menjadi kekuatan utama Indonesia bisa melemah, membuka ruang bagi perpecahan. Oleh karena itu, membangun kembali dan mempertahankan sikap toleransi terhadap keberagaman agama bukan hanya suatu pilihan, tetapi kebutuhan dan kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap warga negara. Hanya dengan memupuk dan merawat toleransi, Indonesia dapat terus menjadi bangsa yang kuat dan bersatu dalam keragamannya.