Pilgub NTT 2018, Bukti Larisnya Politik Identitas Berbasis Agama di Indonesia

Angellyca MD
Undergraduate student majoring International Relations at UPN Veteran Jakarta.
Konten dari Pengguna
10 Juni 2022 15:25 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Angellyca MD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Isu politik identitas semakin marak dibicarakan dan tampak makin relevan dengan keadaan politik saat ini. Sederhananya, politik identitas adalah bagaimana seseorang atau sekelompok orang bersatu secara politik melalui kesamaan identitas mereka, baik berupa agama, suku, ras, etnis dan lain sebagainya untuk membela kepentingan kelompok mereka. Studi tentang politik identitas yang berfokus pada identitas agama, etnis, gender, masyarakat pribumi dan masyarakat lokal akan terus mendapatkan perhatian karena semakin kompleksnya identitas yang dimiliki individu saat ini (Buchari, 2014). Dalam iklim politik Indonesia, terutama yang ditunjukkan melalui praktik demokrasi berupa Pemilihan Umum, isu identitas menjadi sangat krusial dan tergolong menjadi faktor utama rakyat dalam menentukan pilihan politik mereka dalam Pemilihan Umum. Hal tersebut membentuk polarisasi masyarakat berdasarkan pilihan mereka, yang ditentukan oleh etnis dan agama (Nope dkk, 2021).
ADVERTISEMENT
Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah provinsi dengan penduduk multikultural di Indonesia. Penduduk NTT yang sebagian besar Nasrani hidup damai berdampingan dengan penduduk agama lain. Faktanya, masyarakat multietnik akan memiliki dinamika politik yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan masyarakat yang cenderung lebih homogen (Tiran, 2021). Oleh karena itu, dalam implementasi praktik demokrasi di NTT, isu politik identitas juga marak terjadi, terutama ketika Pemilihan Kepala Daerah berlangsung. Kesamaan identitas suku maupun agama calon gubernur dengan masyarakat dijadikan alat untuk mendapatkan dukungan suara masyarakat setempat. Di NTT, meskipun tak terjadi secara terang-terangan, politisasi identitas berbasis suku, etnis dan agama sudah terjadi sangat lama dan semakin terlihat implementasinya ketika pelaksanaan Pemilihan Kepada Daerah di NTT diselenggarakan.
ADVERTISEMENT
Politik identitas tersebut dapat dilihat saat pelaksanaan Pemilihan Gubernur NTT pada tahun 2018. Sebenarnya, tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan Ahok saat Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu membawa pengaruh signifikan dalam praktik politisasi identitas di NTT. Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat itu dipercaya melakukan penistaan agama. Buntut kejadian tersebut sangatlah panjang, hingga tercetusnya gerakan aksi 212 yang ditopang oleh organisasi masyarakat Front Pembela Islam (FPI) yang mendukung pasangan Anies – Sandi. Masyarakat NTT yang mayoritas Nasrani bersimpati akan kejadian tersebut. Hal itu cukup memberikan stigma negatif kepada masyarakat NTT mengenai intoleransi di Jakarta, sehingga muncul keinginan mereka untuk mendukung calon kepala daerah yang memiliki agama yang sama untuk menghindari konflik akibat intoleransi seperti yang terjadi di Jakarta. Situasi tersebut, dimanfaatkan oleh pasangan calon gubernur untuk mendapat dukungan suara dari masyarakat. Saat Pilgub NTT tahun 2018, terdapat pasangan calon yang mengangkat isu identitas berbasis agama untuk mengambil hati masyarakat. Contohnya pasangan calon Viktor Bungtilu Laiskodat dan Yoseph Nai Soi (Victory-Joss) yang menggunakan strategi kampanye dengan mengangkat identitas agama dari beberapa isu identitas di tingkat nasional. Beberapa isu identitas yang dibawa seperti kasus Ahok, Gerakan 212, Negara Khilafah, hingga Piagam Jakarta (Nope, 2021). Tak sampai disitu, saat pasangan calon Victory-Joss melakukan kampanye di Lapangan Sitarda Lasiana Kupang, keduanya bahkan secara langsung mengundang adik kandung Ahok, Vivi Lety Purnama. Saat itu, ia membacakan surat yang ditulis secara langsung oleh Ahok untuk salah satu pasangan calon, Yoseph Nai Soi (Tolo, 2019).
ADVERTISEMENT
Ternyata, strategi yang menggunakan identitas agama tersebut membuahkan hasil, dimana pasangan calon tersebut akhirnya berhasil meraup dukungan suara dan meraih kemenangan di Pilgub NTT tahun 2018. Kampanye politik dengan membawa isu identitas berdasarkan agama di NTT tersebut cukup membuktikan bahwa politik identitas berhasil dijadikan alat bagi calon kepala daerah untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Selain itu, politik identitas berbasis agama Kristen di NTT juga memiliki keterkaitan yang kuat dengan isu politik identitas berbasis Islam yang terjadi di Jakarta saat Pilkada DKI tahun 2017 lalu. Bahkan, isu identitas tersebut terus terbawa sampai pelaksanaan Pemilu tahun 2019. Di Pemilu 2019, politisi yang berpihak pada Ahok serta pasangan calon Jokowi-Amin, serta politisi yang juga kerap membawa isu politik identitas berbasis agama Kristen akan mendapatkan dukungan suara yang lebih dominan dari masyarakat NTT (Tolo, 2019).
ADVERTISEMENT
Fakta yang telah diuraikan sebelumnya membuktikan bahwa politik identitas berbasis agama juga tengah terjadi di NTT. Kontribusi politik identitas berbasis agama Islam di Jakarta tahun 2017 lalu berpengaruh terhadap sensitivitas masyarakat NTT yang dominan Nasrani terhadap keputusan politiknya. Politisi di NTT kerap membawa isu identitas tersebut untuk meraih simpati dan dukungan masyarakat. Usaha kampanye salah satu pasangan calon Victory-Joss pada Pilgub 2018 lalu yang membawa identitas agama Kristen mengantarkan mereka menuju kemenangan akhir. Hal tersebut sejalan dengan fakta bahwa penduduk NTT sebagian besar beragama Nasrani, sehingga terbukti bahwa sebagian besar penduduk NTT yang Nasrani tersebut juga turut menggunakan identitas agama sebagai dasar pemilihan keputusan politik mereka dalam Pilgub tersebut. Politisasi identitas saat Pilgub 2018 lalu di NTT membuktikan bahwa isu identitas sulit dihindari dari masyarakat multikultural. Hal tersebut bukan berarti tidak baik dan tidak bisa pula dianggap salah. Namun, sudah seharusnya bagi masyarakat untuk bisa memahami keragaman identitas yang dimiliki tiap individu, sehingga pada praktiknya kekayaan identitas tersebut dijadikan aset kebaikan bagi perdamain, bukan justru mempersempit kebebasan dalam menentukan pilihan.
ADVERTISEMENT
Referensi
Buchari, S. (2014). Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nope, K. F. Herdiansah, A.G. Darmawan, W. B. (2021). Politisasi Identitas Dalam Pemilihan Gubernur Nusa Tenggara Timur Tahun 2018. Jurnal Wacana Publik 15(1) , 35-41.
Tiran, R. (2021). Politik Identitas Dalam Demokrasi Lokal Di NTT . Jurnal Politicon 10(2) , 33-42.
Tolo, E. (2019, April 30). Di Bawah Bayang-bayang Ahok: Politik Identitas dalam Pemilu di NTT. Retrieved June 9, 2022, from Tirto.id: https://tirto.id/di-bawah-bayang-bayang-ahok-politik-identitas-dalam-pemilu-di-ntt-dniM
Tolo, E. (2019, April 16). Pemilu 2019 dan Politik Identitas Berbasis Agama Nasrani di NTT. Retrieved June 9, 2022, from Islam Bergerak: https://islambergerak.com/2019/04/pemilu-2019-dan-politik-identitas-berbasis-agama-nasrani-di-ntt/