Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Dinamika KKN dan Transmisi Kekuasaan Antar-Generasi
25 Agustus 2024 8:38 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Angga Bagus Bismoko tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, perhatian publik Indonesia tertuju pada fenomena keluarga berkuasa yang berupaya keras mewariskan kekuasaan kepada generasi muda—anak dan menantu mereka. Kejadian ini mengingatkan masyarakat pada masa kelam Orde Baru, ketika Presiden Soeharto berkuasa selama 32 tahun dan nepotisme merajalela dalam struktur pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Era tersebut berakhir dengan reformasi pada tahun 1998, yang bertujuan untuk menciptakan Indonesia yang lebih demokratis dan bebas dari praktik-praktik otoriter.
Namun, peristiwa terbaru ini mengindikasikan bahwa bayang-bayang masa lalu masih menghantui perjalanan demokrasi Indonesia. Gerakan masyarakat yang marah memunculkan slogan “Peringatan Darurat” di media sosial, diiringi dengan demonstrasi mahasiswa, buruh, dan berbagai elemen masyarakat di berbagai daerah.
Mereka mengecam upaya terang-terangan keluarga penguasa yang tampaknya berusaha menggerogoti proses demokrasi yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade.
Meskipun demikian, esai ini tidak akan fokus pada strategi politik culas yang dilakukan oleh keluarga penguasa tersebut. Sebaliknya, esai ini akan mengkaji bagaimana keluarga secara dinamis, melalui praktik kolusi dan nepotisme, mampu secara terstruktur mentransmisikan nilai, norma, dan status sosial-ekonomi antar-generasi.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, praktik kolusi dan nepotisme tidak hanya dilihat sebagai upaya mempertahankan kekuasaan, tetapi juga sebagai mekanisme transmisi nilai dan status sosial yang terjadi dalam keluarga.
Transmisi Antar-Generasi dalam Konteks Kekuasaan
Keluarga memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan identitas dan nilai-nilai individu. Dalam konteks politik dan kekuasaan, keluarga sering kali menjadi medium utama untuk mentransmisikan nilai-nilai, norma, dan status sosial-ekonomi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Proses ini dikenal sebagai transmisi antar-generasi, di mana karakteristik dan posisi sosial-ekonomi orang tua ditransfer kepada anak-anak mereka, baik secara langsung maupun melalui berbagai mekanisme sosial.
Dalam keluarga yang memiliki akses ke kekuasaan, transmisi ini menjadi lebih terstruktur dan terencana. Anak-anak diajarkan sejak dini tentang pentingnya kekuasaan dan cara mempertahankannya, termasuk melalui praktik-praktik yang mungkin dianggap tidak etis oleh sebagian masyarakat, seperti kolusi dan nepotisme.
ADVERTISEMENT
Kolusi, dalam hal ini, dapat dipahami sebagai kerja sama tersembunyi antara anggota keluarga atau kelompok tertentu untuk mencapai tujuan yang menguntungkan mereka, sementara nepotisme merujuk pada pemberian posisi atau keuntungan kepada anggota keluarga dalam institusi politik atau ekonomi. Fenomena ini semakin gencar muncul ke publik sepanjang periode kedua Pemerintahan Presiden Jokowi.
Kolusi dan Nepotisme sebagai Mekanisme Transmisi Nilai
Dalam konteks politik Indonesia, kolusi dan nepotisme telah lama menjadi bagian dari struktur kekuasaan, terutama selama era Orde Baru. Praktik-praktik ini tidak hanya berfungsi untuk mempertahankan kekuasaan di tangan keluarga penguasa, tetapi juga sebagai alat untuk mentransmisikan nilai-nilai yang dianggap penting oleh keluarga tersebut.
Misalnya, nilai-nilai seperti loyalitas, kepatuhan, dan pentingnya menjaga kekuasaan keluarga menjadi bagian integral dari pendidikan politik yang diterima oleh anak-anak dalam keluarga penguasa.
ADVERTISEMENT
Transmisi nilai ini diperkuat oleh status sosial-ekonomi keluarga, yang memberikan akses kepada pendidikan berkualitas, jaringan sosial yang luas, dan sumber daya ekonomi yang besar. Dengan demikian, anak-anak dari keluarga penguasa memiliki modal sosial dan ekonomi yang cukup untuk melanjutkan dan memperluas pengaruh politik keluarga mereka.
Praktik nepotisme kemudian menjadi salah satu mekanisme utama untuk memastikan bahwa kekuasaan tetap berada di tangan keluarga, dengan menempatkan anggota keluarga dalam posisi strategis dalam pemerintahan atau institusi penting lainnya.
Dampak Sosial dan Ekonomi dari Kolusi dan Nepotisme
Meskipun praktik kolusi dan nepotisme mungkin efektif dalam mentransmisikan kekuasaan dan nilai antar-generasi, dampaknya terhadap masyarakat dan ekonomi secara keseluruhan sangat merugikan. Ketika sumber daya ekonomi dan kesempatan kerja dikendalikan oleh segelintir keluarga melalui praktik-praktik ini, distribusi kekayaan menjadi tidak merata.
ADVERTISEMENT
Hal ini mengakibatkan ketimpangan sosial yang semakin lebar, di mana keluarga-keluarga tertentu terus menikmati kekayaan dan kekuasaan, sementara sebagian besar masyarakat tetap berada dalam kemiskinan dan kekurangan akses.
Selain itu, praktik kolusi dan nepotisme cenderung menghambat inovasi dan persaingan yang sehat dalam ekonomi. Posisi strategis dalam pemerintahan atau ekonomi tidak lagi didasarkan pada kemampuan atau prestasi individu, melainkan pada hubungan keluarga. Hal ini menyebabkan penurunan kualitas kepemimpinan dan pengambilan keputusan, yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial.
Upaya Mengawal Integritas Demokrasi vs. Dinasti Politik
Untuk menciptakan Indonesia yang lebih adil dan demokratis, kita harus menghadapi tantangan dinasti politik yang sering kali disertai dengan praktik kolusi dan nepotisme. Dinasti politik, di mana kekuasaan politik diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam keluarga yang sama, dapat mengancam integritas sistem demokrasi. Oleh karena itu, penting bagi seluruh lapisan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya ini.
ADVERTISEMENT
Kepedulian Masyarakat: Masyarakat awam harus menyadari betapa pentingnya peran mereka dalam memerangi praktik-praktik ini. Kepedulian terhadap politik tidak hanya melibatkan partisipasi dalam pemilu, tetapi juga dalam mengawasi dan mengkritisi tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para pemimpin dan dinasti politik. Kesadaran publik yang tinggi dapat bertindak sebagai pengawasan yang efektif untuk mencegah kekuasaan absolut yang diwariskan dalam keluarga-keluarga politik.
Peran Akademisi dan Peneliti: Akademisi dan peneliti juga memainkan peran kunci dalam mengatasi dinasti politik. Mereka perlu mengungkap dan menganalisis dampak dari praktik kolusi dan nepotisme secara mendalam.
Dengan kajian kritis dan data yang kuat, akademisi dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang bagaimana praktik-praktik ini berkembang dan dampaknya terhadap masyarakat. Penelitian ini penting untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan yang dapat mengurangi pengaruh dinasti politik dan memperkuat sistem demokrasi.
ADVERTISEMENT
Kolaborasi untuk Perubahan: Menggabungkan kepedulian masyarakat dengan kontribusi akademisi yang kritis menciptakan tekanan yang diperlukan untuk mendorong pemimpin menuju pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel.
Ini adalah langkah penting menuju masa depan di mana kekuasaan tidak lagi menjadi warisan keluarga, tetapi hasil dari kerja keras, integritas, dan komitmen terhadap kepentingan publik. Kolaborasi antara masyarakat, akademisi, dan pemimpin yang berintegritas akan membantu Indonesia keluar dari bayang-bayang dinasti politik dan membangun demokrasi yang lebih kuat dan sejati.