Konten dari Pengguna

Pembangunan Keluarga Indonesia dan Fungsi Keluarga Besar yang Terlewatkan

Angga Bagus Bismoko
Asisten Peneliti Ekonomi di Pusat Riset Kependudukan - BRIN. Bergabung dengan kelompok riset Dinamika Keluarga.
1 Januari 2024 8:51 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Angga Bagus Bismoko tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi keluarga main bersama. Foto: Nattakorn_Maneerat/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi keluarga main bersama. Foto: Nattakorn_Maneerat/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pembangunan keluarga di Indonesia menjadi salah satu isu strategis yang terus diupayakan melalui beragam program penguatan ketahanan keluarga. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menjadi motor utama pembangunan keluarga nasional dengan mengacu pada Undang-Undang (UU) No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.
ADVERTISEMENT
Melalui pengoptimalan fungsi keluarga, Program Pembangunan Keluarga berusaha dicapai melalui Bina Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Remaja (BKR), Bina Keluarga Lansia (BKL) dan Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) (Oktriyanto dkk., 2023). Meski demikian, saya merasa beragam program ini melewatkan pembangunan keluarga secara antar generasi yang terjadi secara murni di masyarakat Indonesia.
Program pembangunan keluarga yang bersumber pada UU No. 52 Tahun 2009, sebelumnya diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera mendefinisikan keluarga dalam lingkup sempit. Keluarga dalam UU No. 52 Tahun 2009 pasal 1 angka 6 didefinisikan sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.
ADVERTISEMENT
Dalam UU tersebut, ruang lingkup keluarga cukup sempit hanya mencakup keluarga inti saja. Alhasil, beragam program yang dilaksanakan terkesan pula hanya untuk mengupayakan kemandirian keluarga inti sesuai dengan siklus hidup mereka dari remaja hingga lansia. Upaya peningkatan kemandirian keluarga disematkan pada kemampuan keluarga tersebut dalam menghadapi berbagai distorsi yang mungkin hadir dalam dinamika keluarga mereka.
Artinya, mereka dengan sumber daya keluarga yang terbatas diharuskan mampu untuk mengatasi secara mandiri, maupun dengan bantuan program menuju mandiri, beragam upaya menuju kesejahteraan keluarga.
Beragam program ini, menurut Oktriyanto dkk. (2023) akan berhasil optimal jika anggota keluarga memiliki pengetahuan yang baik tentang fungsi keluarga dengan beragam karakteristiknya. Artinya upaya penguatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga akan berhasil atau tidak bergantung sepenuhnya pada kemampuan keluarga tersebut.
ADVERTISEMENT
Jika keluarga tersebut memiliki pengetahuan yang cukup tentang fungsi keluarga dan aktif berpartisipasi dalam program pembangunan keluarga maka kemungkinan mereka berhasil menuju keluarga sejahtera meningkat. Akan tetapi kondisi ini menciptakan dilema dalam dinamika keluarga.
Di satu sisi, keluarga inti tersebut, dengan beragam sumber daya yang terbatas diharuskan mampu untuk catch up dengan pengetahuan akan program yang ada. Jika keluarga tersebut tidak mampu catch up dengan baik, maka mereka akan dihadapkan pada pilihan yang terbatas dan semakin kecil kemungkinan keberhasilan mewujudkan visi keluarga sejahtera.
Di sisi lain, fokus program pada keluarga inti tersebut secara tidak langsung mengerdilkan kemungkinan fungsi bantuan dari keluarga besar yang melibatkan hubungan antar generasi. Pasalnya, beberapa kasus keluarga yang akhir-akhir ini terjadi menempatkan keluarga kecil sebagai inti dari segala dinamika keluarga dalam menguji ketahanannya. Artinya keluarga inti haruslah menjadi keluarga yang mandiri untuk dapat mencapai keluarga yang tangguh dan sejahtera.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, ketika anak sudah menikah dan memulai rumah tangga baru, tidak sedikit yang berpikir bahwa mereka sudah seharusnya mandiri. Kemandirian ini, yang secara sosial juga diaminkan oleh sebagian masyarakat, disalahartikan sebagai keluarga baru tersebut harus bebas dan merdeka dari peran dan dukungan keluarga besar.
Meski demikian, tidak sedikit dari mereka yang telah berupaya dan berakhir gagal dalam mengatasi problem kemandirian keluarga dan mengarah pada gagalnya fungsi keluarga. Kasus bunuh diri keluarga karena utang piutang hingga keluarga terlibat dalam kekerasan domestik yang berujung hilangnya nyawa adalah beberapa contoh ekstrem gagalnya keluarga menjalankan fungsinya. Beragam problematika ini seharusnya dapat dikelola jika keluarga besar dilibatkan secara langsung maupun tidak langsung dalam program pembangunan keluarga Indonesia.
ADVERTISEMENT
Upaya pelibatan keluarga besar dalam pembangunan keluarga Indonesia perlu dimulai dari perubahan definisi formal tentang keluarga itu sendiri. Langkah ini setidaknya pernah dicoba pada Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketahanan Keluarga yang hingga saat ini belum disahkan karena beragam polemik yang mendasarinya.
RUU tersebut mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat dari perkawinan yang sah yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan Anaknya, atau ayah dan Anaknya, atau ibu dan Anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.
Dalam definisi ini, keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga yang juga diadopsi dari UU Perlindungan Anak (PA) No. 23 tahun 2002 Pasal 1 angka 3 dan dianggap lebih sesuai dengan budaya di Indonesia. Dengan mengacu pada definisi keluarga tersebut, program pembangunan keluarga dapat juga melalui penguatan hubungan antar generasi yang juga mulai tergerus secara masif di era modern.
ADVERTISEMENT
Menyadari hal itu, ada urgensi untuk melakukan reorientasi nilai interaksi antar generasi dalam pembangunan keluarga Indonesia. Upaya melakukannya dapat dimulai dari penguatan nilai tradisional keluarga Indonesia yang fokus secara gotong royong berupaya mewujudkan keluarga yang harmonis.
Menyadarkan kembali nilai keluarga khususnya pada generasi keluarga masa kini diharapkan akan membuka peluang interaksi yang lebih sehat untuk saling terbuka dan memahami upaya memaksimalkan peran keluarga besar dalam mendukung tujuan keluarga sejahtera.
Selain itu, keluarga inti perlu dipandang sebagai bagian integral dari sistem yang lebih besar, bukan entitas terisolasi. Dengan begitu, upaya menyejahterakannya melalui program pembangunan keluarga dapat mengoptimalkan beragam unsur dalam sistem keluarga yang saling terkait. Sejatinya, hubungan antar generasi keluarga tersebut dapat berjalan secara otonom terlepas dari program.
ADVERTISEMENT
Artinya upaya melibatkan keluarga besar dalam dinamika keluarga di Indonesia dapat berjalan tanpa dimediasi oleh sebuah program pemerintah. Secara murni, upaya ini terjadi di masyarakat melalui beragam kegiatan silaturahmi antar keluarga yang khususnya terjadi pada momen-momen kebersamaan seperti lebaran dan hajatan keluarga.
Sebagai contoh, mudik lebaran adalah langkah secara kultural yang memungkinkan hubungan antar keluarga semakin kuat, terlebih jika frekuensi pertemuan keluarga semakin sering. Meski demikian, hadirnya program pembangunan keluarga Indonesia melalui penguatan hubungan antar generasi akan menjadi pembeda dan pendorong upaya mewujudkan ketahanan dan kesejahteraan secara menyeluruh.