Keluhan Presiden atas Impor

Angga Hermanda
Ketua Exco Pusat Partai Buruh Bidang Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan. Pengurus Koperasi Petani Indonesia (KPI). Anggota Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Fakultas Pertanian Untirta.
Konten dari Pengguna
9 Juni 2022 14:52 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Angga Hermanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Kata "Bodoh" dari Presiden untuk Impor Pangan yang Terjadi Secara Berulang

Aksi Pemuda Peduli Pangan untuk Menolak Impor Pangan Pada Tanggal 16 Oktober 2011 | Sumber: Koleksi Pribadi/Serikat Petani Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Pemuda Peduli Pangan untuk Menolak Impor Pangan Pada Tanggal 16 Oktober 2011 | Sumber: Koleksi Pribadi/Serikat Petani Indonesia
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Keluhan Presiden Joko Widodo kembali mengemuka atas berbagai impor yang masih dilakukan pemerintah. Presiden geram karena hal ini dapat membuat industri dalam negeri sulit berkembang. Ternyata sampai dengan saat ini masih banyak kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang membelanjakan anggaran pembangunan dan belanja untuk barang impor. Padahal barang-barang impor tersebut sudah bisa diproduksi dari dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Presiden bahkan menyatakan kesedihannya dan sempat mengatakan “bodoh” tatkala kembali mengingat kebutuhan cangkul yang harus dipenuhi dari produk impor. Apabila permasalahan impor tak kunjung dientaskan maka Presiden sudah bersiap untuk mengganti Menteri terkait (reshuffle). Keluhan ini disampaikan Presiden dalam acara Aksi Afirmasi Bangga Buatan Indonesia di Nusa Dua Bali bulan Maret 2022 lalu.
Silang Pendapat
Auto kritik Presiden atas impor kepada pemerintahannya sendiri sesungguhnya sudah berkali-kali disampaikan. Atas kegundahan itu Presiden menekankan visi Nawa Cita (9 program prioritas) yang berlandaskan pada Trisakti, yakni berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Namun visi ini dinilai tak memenuhi target pada pemerintahan periode pertama sehingga kembali dilanjutkan pada periode kedua dalam visi Indonesia Maju.
ADVERTISEMENT
Bukti nyata dari salah satu capaian Nawa Cita yang gagal diwujudkan adalah Kedaulatan Pangan. Dimana ketersediaan pangan belum sepenuhnya bertumpu pada produksi petani dalam negeri dan negara tak memiliki kendali penuh atas sistem pangan secara nasional. Kasus termutakhir yang ditemui terkait ini mendera minyak goreng sawit dan kedelai. Pemerintah menyerahkan kedua komoditas itu pada mekanisme pasar secara bulat-bulat.
Sementara itu, kegagalan program padi jagung kedelai (Pajale) pada pemerintahaan periode pertama semestinya menjadi refleksi untuk diperbaiki. Bukan justru mengemukakan haluan lain dari fokus produksi dalam negeri ke Gerakan Tiga Kali Ekspor (Gratieks) yang sedang digagas Menteri Pertanian saat ini. Program ini amat beresiko mengingat kebijakan satu data pertanian yang dijanjikan belum diintegerasikan secara menyeluruh.
ADVERTISEMENT
Misalnya saja pada awal tahun 2022, Menteri Perdagangan mengakui telah mengeluarkan izin impor untuk kedelai, daging sapi, bawang putih, dan gula konsumsi karena produksi dalam negeri tak mencukupi kebutuhan nasional. Karenanya Indonesia masih bergantung pada negara lain untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti kedelai dari Amerika Serikat dan Brazil, daging sapi dari Australia, bawang putih dari China, hingga gula yang berasal dari India.
Tak hanya itu, Kementerian Perdagangan juga mengakui bahwa bawang merah dan cabai berpotensi akan turut diimpor dalam waktu dekat. Menimbang kenaikan harga yang terjadi secara signifikan akibat produktivitas anjlok di sejumlah sentra produksi. Pada sisi lain Perum Bulog tengah terancam tak bisa menyerap beras produksi petani sesuai target. Hal ini disebabkan oleh besaran Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras berada dibawah standar harga pasar. Kondisi tersebut dikhawatirkan menjadi dasar pemberlakuan impor beras medium tahun ini. Meski hasil investigasi Ombudsman RI pada tahun 2021 menunjukan beras sisa impor tahun 2018 yang saat ini ada sekitar 134.000 ton masih menumpuk di Gudang Bulog.
ADVERTISEMENT
Polemik impor berbagai bahan pokok itu dijawab Badan Pangan Nasional dengan jaminan stok akan aman. Perbedaan pendapat diantara kementerian/lembaga dibidang pangan ini kian memperumit. Kehadiran Badan Pangan Nasional yang diharapkan mampu mengatasi masalah pangan justru menambah ramai arena perdebatan di mata publik. Hal ini dilatari oleh orientasi Badan Pangan Nasional yang belum sesuai dengan mandat UU Pangan. Badan Pangan Nasional masih sekadar memastikan ketersediaan pangan cukup. Sehingga belum bekerja untuk tujuan yang besar agar pangan terjangkau oleh rakyat dan memastikan pangan itu berasal dari petani dalam negeri.
Butuh Konsistensi
Berdasarkan persoalan tersebut, Presiden mesti memimpin secara langsung penyelenggaraan negara dibidang pangan sebagai hajat hidup orang banyak. Mengatasi persoalan pangan patut disadari tak cukup hanya bertumpu pada satu atau dua kementerian/lembaga. Karena pangan menjadi manifesatasi hidup dan matinya suatu bangsa. Kebijakan jangka panjang yang perlu diterapkan adalah peneguhan sistem pangan di Indonesia. Melalui prinsip kedaulatan pangan sebagai antitesis dari ketahanan pangan.
ADVERTISEMENT
Kedaulatan pangan memposisikan petani, nelayan, masyarakat adat dan produsen pangan skala kecil lainnya sebagai subjek, bukan lah objek dari kebijakan. Oleh karena itu, aspirasi dan kebutuhan dari para subjek (selaku produsen pangan yang utama di Indonesia) akan lebih diutamakan, bukan lagi didasarkan pada tuntutan pasar. Pendapat ini sesungguhnya sudah jelas dijabarkan dalam visi-misi Presiden Jokowi dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 dan RPJMN Tahun 2020-2024. Sehingga tidak boleh ada visi-misi lain dari menteri atau pimpinan lembaga yang berseberangan dengan Presiden. Konsistensi ini sangat penting agar kata bodoh tak kembali terucap dari kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.