Kemenangan Rakyat Atas UU Cipta Kerja

Angga Hermanda
Ketua Exco Pusat Partai Buruh Bidang Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan. Pengurus Koperasi Petani Indonesia (KPI). Anggota Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Fakultas Pertanian Untirta.
Konten dari Pengguna
28 Januari 2022 17:16 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Angga Hermanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Kegundahan Presiden atas impor pangan dan ketimpangan tanah semestinya menjadi titik balik untuk menangguhkan pemberlakuan UU Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya.

Sumber: Koleksi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Koleksi Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) telah diputuskan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi RI (MK) dalam sidang putusan Judicial Review tanggal 25 November 2021 lalu. Momen ini menjadi yang pertama kali sejak MK berdiri, setelah sebelumnya sekitar 44 perkara permohonan Uji Formil selalu ditolak atau tidak dapat diterima mahkamah. Menurut MK proses pembentukan UU Cipta Kerja dinyatakan cacat formil karena tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). MK juga memutuskan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
ADVERTISEMENT
Bersyukur dengan Khidmat
Pada awalnya pembentukan UU Cipta Kerja diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan investasi di Indonesia. Alih-alih mendapatkan dukungan, pengesahan UU Cipta Kerja justru menuai protes keras dari berbagai gerakan rakyat seperti petani, buruh, nelayan, masyarakat adat, pegiat lingkungan hidup dan akademisi perguruan tinggi. Berbagai organisasi kemasyarakatan sedari awal sudah mengingatkan Pemerintah Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) bahwa UU Cipta Kerja berpotensi kuat melanggar UUD NRI 1945.
Belum lagi pembahasan UU Cipta Kerja yang sangat cepat dan tidak partisipatif. Karena itu, tidak mengherankan apabila setelah UU Cipta Kerja disahkan masih terdapat berbagai kesalahan kata. Sangat disayangkan ketergesaan ini kembali terjadi dalam penyusunan dan pengesahan peraturan pelaksana UU Cipta Kerja seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan menteri.
ADVERTISEMENT
Dampak dari peraturan yang dibuat serampangan ini menyebabkan banyak hak rakyat tercederai. Misalnya soal pemenuhan hak asasi petani dan masyarakat di perdesaan yang terlanggar dengan aturan mempermudah impor pangan, melemahkan pelaksanaan reforma agraria, memperumit penyelesaian konflik agraria di kawasan hutan, dan membuka peluang perampasan tanah petani dengan dalih proyek strategis nasional maupun program peningkatan ekonomi.
Jika ditelaah lebih dalam, perubahan terhadap berbagai aturan di atas bermula dari permintaan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) kepada pemerintah untuk merevisi undang-undang yang membatasi perdagangan bebas. Adapun undang-undang yang dimaksud antara lain meliputi UU Pangan, UU Hortikultura, UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Pemerintah lalu seolah mengafirmasi desakan WTO dengan mengesahkan UU Cipta Kerja yang mengubah, menambah dan/atau menghapus pasal-pasal dalam beberapa undang-undang yang membatasi impor produk pertanian. Sebagai contoh penghapusan frasa 'dalam negeri' pada pasal-pasal UU Cipta Kerja yang dimaksudkan untuk melonggarkan pengaturan produk pertanian luar negeri masuk ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, kita patut bersyukur secara khidmat atas putusan MK terhadap UU Cipta Kerja tersebut. Posisi putusan MK menjadi sangat penting sebagai bentuk kemenangan rakyat yang menempuh jalur konstitusional. Mengingat DPR-RI dan Pemerintah harus melakukan berbagai penyesuaian apabila pada masa yang akan datang hendak membentuk kembali suatu undang-undang yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Paling tidak terdapat tiga catatan kunci perintah dari mahkamah. Pertama, perlu ada landasan hukum yang mengatur tentang ‘Omnibus Law’. Kedua, pembentukan undang-undang harus lebih menguatkan partisipasi publik. Kemudian ketiga materi mesti berlandaskan konstitusi UUD NRI 1945 yang menitikberatkan pada demokrasi ekonomi, perlindungan hak asasi manusia dan kelestarian alam.
Titik Balik
Namun setelah putusan MK dibacakan, pemerintah bersikap akan tetap menjalankan UU Cipta Kerja dan peraturan pelaksana demi menjamin segala bentuk investasi. Kendati demikian, pada sisi yang lain Presiden Joko Widodo geram ketika menerima keluhan dari petani yang enggan menanam bawang putih karena pemerintah melakukan impor saat waktu panen. Hal ini menyebabkan harga bawang putih anjlok ditingkat petani. Pada waktu yang berdekatan, Presiden juga dibuat gerah dengan ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah yang masih terjadi. Ketimpangan ini memicu banyak tanah telantar di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kedua permasalahan itu sesungguhnya bersumber dari beberapa peraturan perundang-undangan yang diubah UU Cipta Kerja. Kegundahan yang dirasakan Presiden mesti menjadi titik balik untuk menangguhkan pemberlakuan UU Cipta Kerja dan peraturan pelaksana. Kemudian menjalankan kembali agenda kerakyatan yang sudah termakhtub dalam Visi Nawacita dan Visi Indonesia Maju. Terutama yang terkait dengan reforma agraria dan kedaulatan pangan.
Reforma agraria harus secara sungguh-sungguh dijalankan dengan meredistribusikan tanah seluas 9 juta hektare kepada petani dan tunawisma. Program ini akan mengurangi jarak ketimpangan yang dikhawatirkan Presiden. Sebab salah satu sumber dari Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) berasal dari tanah-tanah yang ditelantarkan oleh korporasi. Petani penerima TORA akan berproduksi untuk meningkatkan ekonomi di perdesaan. Kondisi demikian menjadi jalan untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Di mana basis produksi pangan berada ditingkat lokal bukan dari pasar internasional.
ADVERTISEMENT