Petani, Pandemi dan Resesi

Angga Hermanda
Ketua Exco Pusat Partai Buruh Bidang Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan. Pengurus Koperasi Petani Indonesia (KPI). Anggota Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Fakultas Pertanian Untirta.
Konten dari Pengguna
7 September 2020 11:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Angga Hermanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Foto: Petani (SPI) dan nelayan (SNI) melawan pandmei dan resesi dengan melakukan barter pangan di Jawa Barat (sumber: spi.or.id)
Triwulan pertama tahun 2020 ditandai dengan pandemi Covid-19 yang mulai mempengaruhi roda perekonomian nasional. Pandemi tidak saja menyebabkan terjadinya krisis kesehatan, melainkan juga krisis seluruh unsur perekonomian disetiap penjuru dunia, termasuk krisis pangan. Kondisi ini melatari konsumen mengalami kesulitan untuk mengakses pangan, sementara perekonomian yang melambat tentu juga mempengaruhi kehidupan petani sebagai produsen pangan di seluruh dunia, tak terkecuali petani di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Krisis pangan di dunia dan termasuk di Indonesia sebetulnya telah berulang kali terjadi. Sebelum ancaman krisis pangan sekarang pada tahun 2020 ini, sebenarnya dunia baru saja melewati krisis pangan pada tahun 2008. Meninjau lebih dalam krisis pangan yang terjadi dua belas tahun lalu, bisa dikatakan akar dari persoalan krisis itu belum benar-benar selesai. Penyebabnya adalah alat produksi pertanian, sistem pertanian, mata rantai dan aturan-aturan perdagangan tidak dikuasai dan diurus sepenuhnya oleh petani sebagai produsen, masyarakat sebagai konsumen, dan negara sebagai keterwakilan dari mereka. Pada kenyataanya korporasi masih terlalu mendominasi, kemudian diikuti penerapan pasar bebas yang tidak adil.
Padahal jauh sebelum itu, jalan keluar dari krisis pangan telah diusulkan oleh para petani dan rakyat yang bekerja di perdesaan melalui La Via Campesina (gerakan petani dunia) pada tahun 1996, bertepatan dengan World Food Summit yang diselenggarakan FAO. Kedaulatan pangan kemudian mendapatkan momentum pada krisis pangan tahun 2008, yang lalu mendasari PBB menerima konsep dan prinsip tersebut sebagai alternatif. Hal ini secara tidak langsung membuktikan bahwa ketahanan pangan yang diusung telah menemui kegagalan. Kedaulatan Pangan juga telah diakui oleh Indonesia karena menjadi inti dari UU nomor 18 tahun 2012 tentang pangan.
ADVERTISEMENT
Kedaulatan Pangan adalah hak setiap bangsa dan rakyat untuk menentukan pangan secara mandiri, meliputi alat dan sistem produksi serta pemasaran dibidang pertanian, peternakan dan perikanan untuk menghasilkan pangan tanpa tergantung dari kekuatan pasar internasional. Syarat utama dari keadulatan pangan adalah pelaksanaan reforma agraria atau redistribusi tanah kepada petani dan rakyat tak bertanah. Tanah sebagai alat produksi bagi petani dalam menghasilkan pangan, sehingga menjadi faktor yang sangat penting dan krusial.
Tanah untuk Petani
Reforma agraria kini memasuki tantangan baru. Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada periode pemerintahan tahun 2014-2019 menjadikan reforma agraria seluas 9 juta hektare sebagai program prioritas dalam Nawa Cita atau sembilan program prioritas pemerintah. Agenda ini kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin selama periode tahun 2019-2024. Reforma agraria menjadi salah satu haluan utama dalam visi Indonesia Maju.
ADVERTISEMENT
Beberapa langkah untuk mempercepat implementasi program reforma agraria juga telah diambil, seperti Peraturan Presiden (Perpres) nomor 88/2017 tentang penyelesaian penguasaan tanah di dalam kawasan hutan dan Perpres nomor 86/2018 tentang reforma agraria. Hanya saja, realisasi dari kedua peraturan ini belum sesuai dengan harapan. Program reforma agraria di Indonesia belum menunjukkan keberhasilan dalam upaya merombak ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah di Indonesia.
Kondisi itu bisa dilihat dari kinerja Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional RI (ATR/BPN) sebagai pelaksana program reforma agraria, yang lebih mengutamakan konsolidasi tanah seperti sertifikasi tanah dan legalisasi aset. Sementara itu, upaya penyelesaian konflik-konflik agraria serta redistribusi tanah bagi petani dan orang-orang yang membutuhkan tanah sebagai alasan utama reforma agraria masih dikesampingkan. Perlambatan reforma agraria ini berdampak pada konflik-konflik agraria di Indonesia yang tak kunjung selesai. Kejadian penggusuran, diskriminasi hukum, kriminalisasi dan bentuk-bentuk pelanggaran terhadap hak asasi petani lainnya masih menimpa para petani, masyarakat di perdesaan sampai dengan masyarakat adat.
ADVERTISEMENT
Solusi Palsu
Meskipun reforma agraria telah menjadi agenda negara, namun dalam pelaksanaan lima tahun terakhir ini belum lah menggembirakan. Mengacu pada pidato kenegeraan presiden dalam sidang tahunan MPR-RI tanggal 14 Agustus 2020, dalam menangkal krisis pangan akibat pandemi Covid-19 pemerintah merencanakan program food estate atau proyek memproduksi pangan skala luas yang dilakukan oleh negara dengan bantuan korporasi. Padahal nawa cita dan visi Indonesia maju lebih menghendaki reforma agraria untuk menjamin hak atas tanah bagi petani. Demikian pula kedaulatan pangan yang mengedepankan pangan diproduksi oleh keluarga petani, bukan oleh negara terlebih lagi melibatkan korporasi.
Pelaksanaan reforma agraria di Indonesia menjadi semakin kompleks, mengingat pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini. FAO dalam laporannya menyebutkan bahwa selain krisis kesehatan, pandemi Covid-19 membuat ancaman krisis pangan global semakin nyata. Teramat disayangkan di tengah ancaman tersebut pemerintah justru semakin mengedepankan konsep ketahanan pangan dengan food estate sebagai upaya untuk mengatasi ancaman krisis pangan.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, pada saat yang bersamaan petani dihadapkan oleh ancaman dari DPR-RI yang sedang bersikukuh membahas dan mempercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja dengan metode omnibus law. Karena dalam draft RUU Cipta Kerja terdapat sejumlah pasal yang mengancam pelaksanaan reforma agraria dan kedaulatan pangan. Ancaman itu antara lain terdapat dalam pasal yang mengatur Bank Tanah, hak milik atas satuan rumah susun untuk orang asing, konsesi tanah untuk korporasi dalam jangka waktu 90 tahun, penghapusan ketentuan tanah terlantar, ketergantungan impor pangan, dan aturan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang diperlemah.
Ditengah Pandemi, Dihadang Resesi
Berdasarkan laporan BPS diawal bulan Agustus 2020 lalu, sumbangsih sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) mengalami peningkatan pada kuartal II tahun 2020. Karena itu pertanian menjadi sektor yang tumbuh positif diantara lima penyangga utama PDB yang negatif. Hal ini menjadikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun 2020 anjlok hingga ke minus 5,32% secara tahunan.
ADVERTISEMENT
Apabila pada kuartal III tahun 2020 nanti PDB terus menerus berjalan negatif, maka Indonesia bisa dikatakan akan memasuki fase resesi, atau penurunan signifikan kegiatan ekonomi secara beruntun. Bahkan jika kondisi tidak segera membaik dan pemerintah salah mengambil langkah, banyak pendapat dari ahli ekonomi memprediksi resesi akan berlangsung lebih lama atau juga disebut dengan istilah depresi ekonomi.
Walaupun demikian, menilik performa sektor pertanian yang prima menunjukan harapan bagi ekonomi nasional. Pemerintah dituntut harus menjadikan pertanian sebagai kunci untuk keluar dari krisis yang disebabkan pandemi Covid-19. Subyek utama yang bisa menyelamatkan ekonomi kita adalah petani. Dalam situasi yang mendesak sekarang ini, petani semestinya segera mendapatkan kepastian hak atas tanah dan diberikan jaminan serapan hasil panen dari pemerintah. Bukan justru pemerintah mengambil jalan pintas untuk membangun food estate yang secara langsung akan meniadakan petani secara sistematis dan terstruktur.
ADVERTISEMENT
Bisa kah kita bayangkan jika reforma agraria melalui redistribusi tanah seluas 9 juta hektare telah diberikan kepada petani secara utuh sejak tahun 2014 lalu. Kemudian dari luasan tanah yang diberikan negara tersebut, petani menanaminya dengan tanaman pangan. Tidak kah ekonomi di perdesaan terus melaju dan mampu menopang perekonomian kota yang kian terpuruk. Kita belum terlambat, sadar lah segera bahwa petani adalah solusi dari ancaman pandemi dan resesi yang akan dihadapi.
Penulis:
Angga Hermanda
Ketua Departemen Data dan Informasi
Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI)