PPN Barang Hasil Pertanian Tertentu

Angga Hermanda
Ketua Exco Pusat Partai Buruh Bidang Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan. Pengurus Koperasi Petani Indonesia (KPI). Anggota Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Fakultas Pertanian Untirta.
Konten dari Pengguna
11 Juni 2022 21:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Angga Hermanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

PPN BHPT untuk produk segar dikhawatirkan mengundang eskalasi harga dan kepanikan pasar

Biji kopi kering termasuk komoditas yang dikenakan kenaikan PPN BHPT. Sumber: Koleksi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Biji kopi kering termasuk komoditas yang dikenakan kenaikan PPN BHPT. Sumber: Koleksi Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) telah mengatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai tanggal 1 April 2022 ditetapkan sebesar 11 persen. Angka ini mengalami kenaikan dari yang sebelumnya 10 persen. PPN merupakan jenis pajak konsumsi yang dikenakan pada setiap transaksi jual beli barang atau jasa, yang terjadi pada wajib pajak orang pribadi atau badan usaha. Mereka yang berkewajiban membayar pajak mendapat status Pengusaha Kena Pajak.
ADVERTISEMENT
Pembaruan kebijakan perpajakan tersebut kemudian mendasari Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia (PMK) Nomor 64 Tahun 2022 tentang PPN atas Penyerahan Barang Hasil Pertanian Tertentu (BHPT) yang disahkan pada tanggal 30 Maret 2022 lalu. Melalui PMK 64/2022 ini secara resmi PPN dari BHPT ditetapkan sebesar 1,1 persen final dari harga jual. Arti dari 1,1 persen final yakni 10 persen dari total tarif PPN yang berlaku. Dengan demikian Pengusaha Kena Pajak wajib menerbitkan faktur pajak saat penyerahan BHPT.
Dalam PMK 64/2022 diterangkan bahwa tidak semua hasil pertanian menjadi Barang Kena Pajak. BHPT yang tercantum dalam lampiran peraturan ini antara lain cangkang dan tempurung kelapa sawit, biji kakao kering, biji kopi kering, biji kopi sangrai, nira aren, kacang mete, lada hitam, lada putih, cengkeh kering, pucuk segar teh, batang tebu, kulit kayu manis, buah/biji vanili, daun sereh, daun atsiri, kelapa segar, sekam dan dedak padi, tongkol utuh jagung, kacang tanah dan kacang hijau segar, ubi segar, serta beberapa hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu seperti bambu bulat kering dan biji kemiri kering.
ADVERTISEMENT
Mengundang Perdebatan
Sesungguhnya pungutan pajak dari hasil pertanian bukan hanya kali ini saja ditetapkan. Sebelumnya sempat diatur PPN untuk BHPT pada tahun 2007. Kemudian diubah oleh Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 70P/HUM/2013 yang menerangkan bahwa beberapa pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 yang mengatur Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dinyatakan tidak sah, tidak berlaku umum dan harus dicabut.
Setelah itu lalu terjadi serangkaian perbaikan peraturan terkait PPN. Kementerian Keuangan menerangkan bahwa aturan ini ditujukan untuk memberi rasa keadilan dan menyederhanakan administrasi perpajakan. Semua BHPT yang dikenakan pajak diperuntukan bagi pengusaha pertanian yang memiliki omset sebesar Rp. 4,8 miliar per tahun. Sehingga petani dan pengusaha pertanian kecil diharapkan tidak terdampak dan masih terlindungi.
ADVERTISEMENT
Walaupun demikian, peraturan ini tetap saja menyulut polemik bagi petani dan pengusaha pertanian kecil. Mengingat keterangan pihak yang terkena pajak belum jelas dan pengenaan PPN BHPT masih berlaku untuk hasil pertanian mentah/segar. Misalnya saja terhadap tandan buah segar sawit, tongkol utuh jagung, kacang tanah gelondong segar, kacang polong segar dan ubi segar. Kebijakan PPN BHPT yang masih dipahami parsial kemudian mengundang asumsi liar dengan membandingkan sistem perpajakan pada masa kolonial Belanda, yang menerapkan sistem tanam paksa dan pajak perdagangan. Kemudian juga saat penjajahan Jepang di Indonesia yang menerapkan hal serupa.
Mendudukan Kembali
Meskipun PPN BHPT diperuntukan bagi pengusaha pertanian besar, petani dan pengusaha pertanian kecil diperkirakan tetap akan terkena imbas. Terutama menyangkut harga dan mekanisme jual beli. Sebab sebagian besar BHPT yang terkena PPN menyangkut hajat hidup orang banyak. Setidaknya ada dua alasan PMK 64/2022 perlu didudukan kembali. Pertama, keterangan pengusaha kena pajak yang wajib mematuhi peraturan ini belum secara jelas termakhtub.
ADVERTISEMENT
Kemudian kedua terkait pengenaan PPN BHPT yang diberlakukan bukan hanya bagi produk olahan, melainkan juga untuk hasil pertanian mentah/segar. Peredaran hasil pertanian mentah/segar yang merupakan bahan dasar itu secara umum masih berada ditingkat petani dan pengusaha pertanian kecil. Sehingga penerapan dari PPN BHPT diperkirakan akan langsung berpengaruh terhadap roda perekonomian akar rumput. Sementara itu pengusaha besar dan para pengemplang pajak justru diberi karpet merah melalui kebijakan pengampunan pajak. Situasi ini dinilai cukup paradoks.
Berdasarkan itu sosialisasi peraturan PPN BHPT sangat penting dan mendesak kepada para pihak terkait agar dipahami secara menyeluruh dan tidak terjadi kepanikan pasar. Terlebih pertanian saat masa pandemi dan ketidakstabilan perdagangan global ini masih menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Sehingga masih dibutuhkan afirmasi dari pemerintah kepada petani dan pengusaha pertanian kecil. Walau pada sisi lain harus juga dipahami kondisi keuangan negara terutama yang bersumber dari penerimaan pajak. Oleh karena itu, kebijakan pajak pemerintah semestinya lebih difokuskan ke sektor industri dan jasa yang giat transaksinya lebih tinggi dibanding sektor pertanian. Kalaupun terpaksa memungut pajak hasil pertanian, seyogyanya dikenakan terhadap produk olahan. Bukan dari hasil pertanian mentah/segar yang masih menjadi sebagai bahan baku.
ADVERTISEMENT