Sesar Kaligarang: Sesar Aktif Pembelah Kota Semarang

Angga Jati Widiatama
Earthstoryteller, Dosen Teknik Geologi Institut Teknologi Sumatera
Konten dari Pengguna
12 Maret 2020 6:55 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Angga Jati Widiatama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejarah pemerintahan zaman Kolonial Belanda mencatat wilayah Semarang pada 19 januari 1856 pernah diguncang gempa dengan episenter di daratan dengan kekuatan V-VI Modified Mercalli Index (MMI). Kekuatan V-VI MMI digambarkan sebagai gempa dirasakan oleh semua orang, barang barang berjatuhan hingga merubuhkan bangunan semi permanen dan pepohonan, serta menyebabkan likuifaksi pada beberapa tempat tertentu.
Gambar 1 Suasana Kota Semarang (kini merupakan kawasan Kota Lama/Little Netherland) foto milik: Troopen Museum/Universitas Leiden
Penyebab gempa ini tidak disebutkan dalam laporan pemerintah Kolonial Belanda karena pada tahun tersebut ilmu pengetahuan khususnya geologi belum berkembang seperti saat ini. Studi lebih lanjut oleh PusGeN (Pusat penelitian Gempa Nasional memperkirakan gempa yang melanda pada tahun 1856 disebabkan oleh sesar Kaligarang yang memiliki bidang pelurusan utara-selatan sejajar dengan aliran sungai Kaligarang.
ADVERTISEMENT
Sesar Kaligarang merupakan sesar aktif yang memotong batuan muda yang ada di selatan Kota Semarang dan diperkirakan menerus hingga Laut Jawa. selain sesar Kaligarang di semarang juga terdapat sesar lain yang memiliki pola pelurusan yang sama yaitu sesar Kreo, Sesar Gribik, Sesar Kreo, serta Sesar Karanganyar Gunung. Sesar Kaligarang sendiri memiliki laju pergeseran batuan (slip rate) sebesar 4,5 mm per tahun. Nilai slip rate batuan memang relatif sangat kecil, namun jika terakumulasi dalam waktu lama, nilainya dapat bertambah besar dan akan berwujud gempa bumi saat energi dilepaskan.
Gambar 2 Peta geologi lembar Magelang Semarang (Thanden dkk., 1996) menunjukkan sesar/patahan berarah utara-selatan di sekitar Kota Semarang
Gempa bumi bermagnitudo besar, selain merusak secara langsung juga dapat memicu fenomena likuifaksi. Likuifaksi atau pencairan tanah merupakan fenomena geologi yang terjadi saat tanah yang jenuh atau agak jenus dengan fluida (air) kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan (terjadi gempa bumi) sehingga bangunan menjadi ambles hingga ke pondasinya. Fenomena likuifaksi berpotensi terjadi pada daratan muda yang tanah/sedimennya belum terkompaksi contohnya wilayah Semarang bawah.
ADVERTISEMENT
Semarang atas memiliki litologi batuan sedimen yang telah terkompaksi, sehingga relatif tidak terpengaruhi likuifaksi jika terjadi gempa bumi namun morfologi yang berbukit-bukit dan lapisan tanah yang tebal dapat berpotensi mengalami longsor. Jika longsor terjadi pada lereng sungai dan membentuk bendung alam, hal tersebut dapat berpotensi memicu banjir bandang jika waktu kejadian bersamaan dengan musim penghujan.
Mempelajari geologi khususnya tentang kebencanaan bukan untuk menimbulkan rasa takut, namun untuk menumbuhkan pemahaman bahwa bencana dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, sehingga kita bisa selalu siaga, waspada, serta bijak dalam bertindak dan mengambil keputusan khususnya tentang tata ruang, lingkungan hidup, dan harmoni dengan alam