Konten dari Pengguna

Ekonomi: Homo Economicus Tidak Pernah Ada

Angga Pratama
Pendiri Ruangan Filsafat dan Redaktur Gudang Perspektif
26 September 2023 17:33 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Angga Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image by stevepb from Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Image by stevepb from Pixabay
ADVERTISEMENT
Kita mengetahui bahwa homo economicus merupakan salah satu istilah yang disematkan pada manusia yang merujuk pada manusia sebagai bagian di dalam sistem ekonomi.
ADVERTISEMENT
Homo economicus sering digunakan dalam ekonomi untuk menggambarkan suatu hipotesis terhadap individu yang berperilaku rasional dan membuat keputusan yang hanya bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan, kesenangan, atau kepentingan diri mereka (utility).
Secara konsisten kita dapat melihat bahwa homo economicus memiliki tingkat konsumsi dan hasrat tidak terbatas untuk merasakan dan mendapatkan suatu kepuasan.
Di dalamnya secara umum dapat kita lihat bahwa terdapat pertimbangan untuk pengambilan keputusan berdasarkan perhitungan praktis atau komprehensif yang pada akhirnya bermuara pada tingkat kepuasan, dan memberikan tingkat utilitias maksimal pada kondisi tertentu.
Tetapi apakah kita pernah mempertanyakan keberadaan dan representasi homo economicus yang sesungguhnya? Yang ada di dunia nyata dan bukan sekadar konsep-konsep abstrak di dalam buku-buku ekonomi atau sosiologi.
ADVERTISEMENT
Tidak asing bagi seseorang bahwa Adam Smith juga membahas konsep atau istilah homo economicus, dan melihat bahwa pada dasarnya homo economicus yang awalnya memiliki tujuan untuk mencapai suatu kepuasan pada tingkat tertentu akan dihadapkan pada suatu kendala tentang rasa “kebosanan” yang tercermin dalam Law Diminishing Marginal Utility.
Meskipun Adam Smith tidak mengatakan secara langsung, namun homo economicus itu pada dasarnya hanya “mimpi” atau tidak pernah ada.

Khayalan Para Ekonom

Image by geralt from Pixabay
Apa yang sedang kita bahas? Tentu saja ekonomi. Jika kita mengatakan bahwa ekonomi adalah ilmu pasti, mungkin hal ini keliru. Dan jika kita mengatakan bahwa ekonomi merupakan ilmu yang tidak pasti, maka hal ini juga keliru.
Untuk mendapatkan pemahaman yang cukup sesuai dengan konteks dan keterjadian suatu aktivitas ekonomi, maka kita dapat mendefinisikan ekonomi sebagai suatu ilmu yang terpisah atau separated science. Mengapa demikian?
ADVERTISEMENT
Beberapa faktor penting di dalam ekonomi secara khusus tidak masuk ke dalam cakupan umum atau menyeluruh. Ekonomi pada dasarnya akan membahas dan mengkaji beberapa kejadian terpisah atau yang menyebabkan perubahan secara besar-besaran di dalam struktur sosial masyarakat.
Misalnya, ilmu ekonomi secara tidak langsung akan memisahkan beberapa kejadian substansial yang dianggap menjadi penyebab utama dan berdampak pada keputusan ekonomi di masa depan, dan memisahkan beberapa faktor sekunder yang tidak memiliki pengaruh signifikan dalam analisa ekonomi.
Meski tidak jarang faktor sekunder akan digunakan untuk melengkapi analisa jika hendak membuat kesimpulan secara menyeluruh. Homo economicus pada dasarnya merupakan bagian yang dapat kita pisahkan—untuk saat ini.
Bahwa secara parsial kita dapat melihat para ekonom masih berpegang teguh pada konsep homo economicus untuk membentuk analisa dan menentukan segmentasi berdasarkan dengan hasrat setiap orang, yaitu utilitas. Jika konsep homo economicus masih hingga relevan saat ini, mengapa kita tidak dapat menemukan representasi nyata darinya?
ADVERTISEMENT
Secara nyata kita memang tidak bisa menemukan representasi nyata dari homo economicus karena ia hanya konsep abstrak yang selalu dikhayalkan oleh para ekonom untuk menentukan bagaimana kecenderungan setiap orang ketika ia hendak menentukan keputusan ekonominya.
Jika homo economicus tidak berada di dalam khayalan para ekonom, mungkin sulit bagi kita saat ini untuk mendapatkan metode-metode ilmiah untuk melakukan pengukuran atau sekadar metode marketing ekstrem agar mampu memasarkan komoditas yang kita miliki.

Homo Economicus dan Implikasi Sosial

Image by cuncin from Pixabay
Interaksi sosial, khususnya aktivitas ekonomi akan melibatkan berbagai dorongan dan hambatan. Jika kita bertanya pada kita sendiri, apa yang menjadi dorongan dan hambatan dalam aktivitas ekonomi?
Penulis berpendapat bahwa hubungan sosial menjadi faktor utama di kedua sisi tersebut. Hubungan sosial dapat menjadi pendorong aktivitas ekonomi di mana kita dapat melihat bahwa suatu tren yang sedang terjadi di masyarakat dapat mendorong seseorang untuk memiliki atau sekedar mencari tahu suatu informasi yang saling berkaitan, dan vice versa.
ADVERTISEMENT
Manusia yang sering dilabeli sebagai homo economicus pada dasarnya tidak keliru. Apa yang terjadi di lingkungan sosial seseorang akan mempengaruhi kemampuan dan keputusannya dalam ekonomi, misalnya berbelanja.
Homo economicus—seperti beberapa kali disebut oleh Adam Smith di dalam bukunya yang berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations yang terbit pertama kali pada tahun 1776—merupakan titik tertinggi yang menjadi ultima, mirip dengan Übermensch.
Juga yang pada dasarnya melambangkan seorang manusia yang rakus, haus berbelanja, mencari kesenangan secara membabi-buta, hingga tidak memedulikan cadangan kapital yang dimiliki yang akan berhenti melakukan konsumsi ketika tidak ada daya untuk membeli atau tidak ada kesempatan untuk mendapatkan pembiayaan.
Dan, dari sedikit penjelasan tersebut apakah kita masih yakin mengatakan bahwa homo economicus itu nyata? Bukankah dalam rata-rata keborosan atau seseorang yang kita kenal boros, masih memikirkan cadangan uang yang mereka miliki. Jika seorang homo economicus dengan pengertian yang ultima tadi ada di dunia, atau representasinya dapat kita temukan.
ADVERTISEMENT
Perlu kita bayangkan bahwa cukup berbahaya suatu lingkungan karena dorongan hasrat kepemilikan seorang manusia dapat dipengaruhi oleh aktivitas personal, khususnya ketika representasi dari homo economicus tersebut adalah seorang yang dikenal atau publik figur.
Jika seseorang bertanya, bukankah homo economicus sama atau mirip dengan orang-orang kaya, orang dengan uang berlebih, para kapitalis—yang memiliki banyak kapital sehingga mereka bisa hidup dengan mewah? Tidak sahabat, homo economicus bukanlah orang kaya atau kapitalis.
Homo economicus “melampaui” segala kelas sosial yang ada, sehingga seberapa banyak kekayaan seseorang sehingga mereka mampu untuk mengonsumsi atau berbelanja banyak hal tidak dapat diartikan sebagai homo economicus dalam artian ultima.
Kita dapat menyebut atau menyematkan seseorang yang berbelanja cukup hedonistik hanya sebagai rata-rata di bawah garis homo economicus yang ultima.
ADVERTISEMENT
Jika masyarakat menjadi homo economicus yang ultima, kemungkinan besar kekacauan finansial akan terjadi—meski dengan konsumsi yang tinggi, maka suatu perekonomian akan menghasilkan nilai yang cukup baik—dan kesenjangan perekonomian akan semakin melebar.
Yang kaya akan semakin kaya karena komoditas mereka bisa laku, dan yang miskin akan semakin miskin karena kesempatan perbaikan kondisi hidup melalui kemampuan finansial yang mereka miliki akan habis secara sia-sia dalam aktivitas konsumsi yang berlebih.

Apa yang Kita Harapkan dari Homo Economicus?

Image by Myriams-Fotos from Pixabay
Sebenarnya kita tidak mengharapkan homo economicus dalam arti yang ultima, tetapi kita kita hanya berharap bahwa setiap orang mampu untuk membeli; berbelanja kebutuhan dasar; memenuhi berbagai kebutuhan yang berkaitan dnegan kelangsungan hidupnya.
Homo economicus yang ultima dapat digunakan untuk menggambarkan suatu analisa ekonomi yang pada dasarnya memberikan kemudahan bagi setiap entitas—korporasi atau individu—untuk mengetahui batasan dan kemampuan ekonomi mereka.
ADVERTISEMENT
Bahwa tidak mungkin seseorang yang mengikuti naluri untuk mencari kepuasan secara terus-menerus tanpa kesadaran untuk menjaga suatu arus keuangan yang stabil atau minimal memenuhi kebutuhan dasarnya.
Dengan demikian, yang kita harapkan dari homo economicus adalah pembentukan kesadaran manusia agar tidak terjebak pada siklus ekonomi yang tidak sehat, alih-alih memberikan manusia kepuasan justru memberikan manusia penderitaan yang berkelanjutan.