Konten dari Pengguna

Greedflation dan Perekonomian Indonesia

Angga Pratama
Pendiri Ruangan Filsafat dan Redaktur Gudang Perspektif
17 September 2023 13:13 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Angga Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image by Stevepb from Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Image by Stevepb from Pixabay
ADVERTISEMENT
Sudah tidak asing di telinga kita ketika membicarakan tentang inflasi, secara harfiah kita mendefinisikan inflasi sebagai kondisi di mana barang-barang yang beredar di pasaran mengalami kenaikan pada periode waktu tertentu. Singkatnya, kenaikan harga tersebut diiringi dengan daya beli yang semakin menurun.
ADVERTISEMENT
Misalnya, terjadi perbedaan harga yang cukup mencolok pada beberapa komoditas year-over-year (YOY). Sebagai contoh dapat kita ambil harga semangkuk bakso di tahun 2010 akan sangat jauh berbeda dengan harga bakso di tahun 2023, terlihat sebagai contoh yang terlalu usang, tetapi perlu kita sadari melalui hal tersebut kita dapat menyadari bahwa inflasi benar-benar terjadi dan terkadang tanpa kita sadari telah meningkat. Selain inflasi, beberapa di antara kita juga mengenali “flasi” yang lainnya, seperti stagflasi, hiperinflasi, dan deflasi.
Tetapi, masih terdapat satu jenis “flasi” lainnya yang sudah terjadi di beberapa negara, yaitu greedflation. Di Amerika, khususnya, telah menunjukkan adanya greedflation yang ditandai dengan peningkatan upah yang sangat cepat dan berdampak pada aktivitas produksi dan pasar. Mungkin, kenaikan gaji merupakan salah satu harapan terbesar dari para pekerja dan salah satu aspek yang dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja, namun dalam pengertian tertentu hal tersebut dapat memicu wage-price spiral.
ADVERTISEMENT
Fenomena tersebut dapat terjadi karena adanya putaran dari respons balik antara upah dan harga, sehingga dapat memicu suatu siklus inflasi yang tidak terputus. Siklus ini dapat terjadi dan memengaruhi beberapa aspek, misalnya upah buruh, biaya produksi, respons pasar, perilaku konsumen, hingga inflasi yang tidak mudah terputus.

Apa yang Terjadi di Amerika?

Image by Ronile from Pixabay
Terdapat beberapa korporasi serakah di dalam sistem kapitalisme—cukup sulit bagi kita untuk mencari korporasi mana saja yang tidak serakah, indikatornya bias, yang mampu kita pastikan hanya seberapa besar keuntungan yang ia peroleh year-over-year dan dibandingkan dengan kualitas atau kenyamanan para pekerja—dan mereka merupakan aktor yang paling bersalah bagi kerusakan suatu sistem ekonomi atau kondisi pasar. Yang terjadi di Amerika adalah hal nyata yang dilakukan oleh para “korporasi serakah” yang mencoba—dengan alasan tertentu—untuk meningkatkan harga mereka untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, di dalam hukum kausalitas, keliru jika menyalahkan korporasi secara utuh karena banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam hal ini. Terdapat lonjakan margin keuntungan di Amerika yang terjadi di beberapa perusahaan non-keuangan setelah adanya stimulus fiskal yang cukup besar di masa pandemi. Hampir 25% dari PDB digunakan untuk didistribusikan ke rumah tangga, hal ini adalah tindakan baik dan bentuk tanggung jawab pemerintah untuk membantu masyarakatnya ketika pandemi berlangsung, namun adanya aliran dana yang cukup besar dalam bentuk cash, misalnya. Dan tidak diiringi dengan peningkatkan bunga oleh The FED, menyebabkan ledakan belanja yang sangat besar dan rantai pasokan internasional sempat terganggu karena adanya pandemi.
Hal ini menjadi tidak relevan dan bermasalah bagi negara-negara karena menyebarkan dampak buruk pada ekonomi mereka. Kita perlu menyadari bahwa tidak jarang berbagai fenomena ekonomi yang terjadi di suatu negara dapat berdampak atau menjalar hingga ke negara lainnya—cepat atau lambat. Apa yang terjadi di Amerika akan menyebabkan wage-prce spiral.
ADVERTISEMENT

Apa itu Wage-Price Spiral?

Image by Joelfotos from Pixabay
Wage-price spiral merupakan kondisi ketika terjadi suatu kenaikan gaji dengan cepat yang akan diiringi dengan kenaikan harga barang-barang, dan hal ini akan terjadi secara terus-menerus hingga akan menyebabkan suatu gejolak inflasi yang sangat parah dan membuat sistem perekonomian karam.
Misalnya—kita membayangkan di suatu dunia sembarang—terdapat suatu negara dengan tingkat pengangguran yang rendah, yang kemudian akan memicu peningkatan permintaan tenaga kerja secara signifikan.
Dalam hal ini perusahaan akan memberikan penawaran yang gaji atau upah yang cukup tinggi agar dapat bersaing untuk mendapatkan pasokan tenaga kerja yang cukup terbatas. Pada titik tertentu, para pekerja yang telah memperoleh gaji yang cukup tinggi seharusnya masuk ke dalam kategori “aman”, dan merasa percaya diri untuk berbelanja lebih banyak.
ADVERTISEMENT
Sekilas tidak ada yang salah dari skema ini, namun biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk memenuhi kewajibannya membayar gaji atau upah yang tinggi terhadap para karyawannya harus segera ditutupi dengan kebijakan peningkatan atau menaikkan harga barang-barang, yang kemudian akan berdampak pada rasa percaya diri para pekerja atau konsumen untuk membelanjakan uangnya.
Dengan kenaikan harga, maka daya beli masyarakat akan menurun, sehingga para pekerja—tentunya mereka juga bagian dari masyarakat—akan menuntut kenaikan gaji atau upah untuk mengimbangi kenaikan biaya minimal untuk melanjutkan hidupnya. Akan terjadi suatu siklus yang terus berlanjut seiring dengan peningkatan upah dan harga barang, yang akan berpotensi menyebabkan inflasi dan membuat ekonomi menjadi tidak stabil.

Kekhawatiran Ekonomi

Image by Whoismargot from Pixabay
Jika peningkatan gaji atau upah menjadi penyebab terciptanya wage-price spiral, lalu apa yang seharusnya diterima oleh buruh untuk membentuk suatu kehidupan yang layak? Ini adalah tugas bersama, khususnya pemerintah. Kita menyadari bahwa inflasi merupakan masalah yang sering terjadi di dalam ekonomi, dan apabila tidak ditangani dengan benar maka dapat menyebabkan permasalahan yang serius.
ADVERTISEMENT
Ditambah dengan konsep yang menganggap bahwa manusia atau pelaku ekonomi selalu dalam keadaan rasional untuk memaksimalkan utilitas atau keuntungannya, hal ini dapat menyebabkan kekeliruan bahkan keserakahan entitas tertentu untuk mendapatkan keuntungan tanpa memperhatikan dampak langsung dari kebijakan ekonominya.
Apa yang terjadi di dalam greedflation pada dasarnya sebagai salah satu tindakan ceroboh dan penuh keserakahan entitas untuk mendapatkan keuntungan dan mengabaikan dampak inflasi dari peningkatan harga yang terjadi.
Tentu saja, dalam hal ini tidak terbatas di Amerika Serikat saja, tetapi bisa terjadi di seluruh negara walau dengan tingkat inflasi yang relatif rendah, tidak menutup kemungkinan dengan keserakahan tinggi, maka inflasi suatu negara yang relatif kecil bisa bertambah tinggi melalui kebijakan-kebijakan yang semena-mena untuk meningkatkan keuntungan, dan salah satunya dapat terjadi di Indonesia jika siklus ekonomi tidak berjalan dengan seimbang.
ADVERTISEMENT

Apakah Greedflation Telah Ada di Indonesia?

Image by Feelgoodpics from Pixabay
Greedflation belum ada di Indonesia, namun tidak menutup kemungkinan dapat terjadi. Beberapa ciri umum dari greedfaltion dapat kita lihat dengan kenaikan cepat upah atau gaji, diiringi dengan kenaikan harga bahan pokok yang meningkat (lebih tepatnya dinaikkan untuk menutupi biaya yang dikeluarkan dari kenaikan gaji atau upah karyawan), dan dibayangi oleh sifat serakah entitas tanpa memikirkan dampak jangka panjang. Apakah ada ciri-ciri tersebut di Indonesia? Ada.
Misalnya kenaikan musiman bahan-bahan pokok yang terjadi di beberapa hari besar. Aktivitas ini terlihat tidak berbahaya, karena biasanya akan diiringi dengan penurunan harga ketika hari besar tertentu telah lewat.
Misalnya kenaikan harga yang terjadi dari April hingga Juni 2023, adapun beberapa bahan pokok yang mengalami peningkatan harga yaitu daging ayam ras, telur ayam ras, bawang merah, bawang putih, dan minyak goreng curah. Selain itu, terdapat peningkatan pada harga beras dan gula pasir.
ADVERTISEMENT
Peningkatan harga ini tentu saja memaksa para pekerja untuk mengeluarkan uang ekstra agar dapat memenuhi kebutuhannya, dan tidak jarang keinginan untuk mendapatkan pendapat lebih menjadi salah satu kunci untuk mengubah kondisi hidup mereka, namun kondisi tersebut tidak selaras dengan hukum kausalitas.
Angka inflasi di Indonesia sebesar 3,08% year on year dengan Indeks Harga Konsumen, dan inflasi di Amerika sebesar 3,2%. Inflasi kita terbilang cukup rendah dari Amerika Serikat, namun perlu dikhawatirkan bahwa tren peningkatan greedflation yang menjadi langkah entitas untuk menutup biaya atau beban gaji yang meningkat dapat menyebar di Indonesia apabila tidak ada kontrol yang baik atau regulasi khusus yang ditetapkan untuk mengatasinya.
Mulai ada rencana peningkatan harga makanan dan minuman manis yang mungkin terjadi di akhir tahun 2023. Ketua Umum GAPMMI menyatakan bahwa para pelaku usaha dan sektor makanan dan minuman telah bersiap untuk meningkatkan harga jual produksi pada akhir tahun 2023 (IDX, 2023). Motif yang mendasari peningkatan tersebut adalah harga bahan baku yang meningkat, khususnya terkait dengan pemanis atau gula di pasar global.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini harus diperhatikan, khususnya pemerintah, untuk memastikan bahwa peningkatan harga tersebut masih mampu untuk memberikan stimulus dan tidak mematikan aktivitas pasar. Dan, fenomena kenaikan gaji atau upah secara signifikan atau cepat di Indonesia belum terjadi untuk saat ini, sehingga kecil kemungkinan untuk terjadinya wage-price spiral dalam waktu dekat.

Apa Solusinya?

Image by PublicDomainPictures from Pixabay
Untuk kondisi Indonesia saat ini, mungkin beberapa kebijakan yang diambil oleh pemerintah tergolong cukup baik untuk menekan angka inflasi. Akan tetapi, sebagai langkah tambahan untuk mengatasi adanya greedflation atau wage-sprice spiral, maka pemerintah dapat mengambil beberapa langkah. Misalnya, menentukan kebijakan fiskal dan moneter yang ketika diterapkan akan berdampak langsung pada kondisi perekonomian agar tetap stabil, langkah ini dapat diambil melalui kebijakan belanja negara dan suku bunga.
ADVERTISEMENT
Manajemen rantai pasokan juga dapat dipertimbangkan sebagai salah satu cara untuk mengatasi bahan mentah yang terhambat selama di perjalanan, dengan adanya manajemen rantai pasokan yang lebih efisien, negara dapat berperan untuk menstabilkan lonjakan inflasi karena kebutuhan pasar dapat terpenuhi dengan tepat waktu dan kelangkaan dapat ditekan secara bertahap.
Manajemen sumber daya manusia melalui pelatihan dan keterampilan yang akan mendorong kenaikan upah tanpa harus memicu tumbuhnya angka inflasi, dengan adanya tenaga kerja yang memiliki kemampuan yang baik, harapannya perekonomian akan berjalan dengan stabil meski beban gaji atau upah yang ditanggung oleh perusahaan meningkat, sehingga wage-price spiral tidak terjadi.
Dan, salah satu langkah klasik lainnya yang dapat ditempuh adalah melalui regulasi dan kontrol persaingan agar setiap entitas di dalam sistem ekonomi atau pasar mendapatkan kesempatan yang sama dan tidak adanya kecurangan yang mampu mendorong ketidakstabilan perekonomian—meski pada praktiknya kecurangan selalu menjadi ancaman nyata—yang akan dibatasi dengan regulasi terkait harga-harga, misalnya melalui Harga Eceran Tertinggi (HET), Harga Acuan Pembelian, atau Harga Acuan Penjualan.
ADVERTISEMENT