Indef: Pajak Terlalu Agresif Akan Mengancam Daya Beli Masyarakat

28 September 2017 10:58 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi toko ritel (Foto: @shalome05 via AP)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi toko ritel (Foto: @shalome05 via AP)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pembangunan infrastruktur yang terus dilakukan secara masif dinilai akan menyisakan persoalan. Sebabnya, keuangan negara dari penerimaan pajak belum mencerminkan hasil yang signifikan dan daya beli masyarakat yang menurun.
ADVERTISEMENT
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan satu penyebab turunnya daya beli masyarakat adalah kebijakan pajak yang terlalu agresif. Demi mengejar penerimaan dan rasio pajak, pemerintah justru memburu wajib pajak kecil.
"Salah satu penyebab turunnya daya beli masyarakat adalah kebijakan pajak yang memang semakin agresif. Terlebih pasca tax amnesty dengan dalih memperbesar penerimaan dan tax ratio, pemerintah memburu wajib pajak kecil. Ini seperti berburu di kebun binatang," ujar Bhima kepada kumparan (kumparan.com), Kamis (28/9).
Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak hingga akhir Agustus 2017 baru mencapai Rp 686 triliun atau 53,5% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2017 sebesar Rp 1.283,6 triliun.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, beberapa sektor usaha mengalami pelemahan, ritel misalnya. Berdasarkan Indeks Penjualan Riil (IPR) yang dilakukan Bank Indonesia (BI), hasil survei penjualan eceran pada Juli 2017 mengalami penurunan 3,3% year on year (yoy), lebih rendah dari bulan sebelumnya yang tumbuh 6,3% (yoy).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, konsumsi rumah tangga pada kuartal kedua 2017 hanya tumbuh 4,95%, lebih lambat dibandingkan kuartal dua 2016 yang tumbuh 5,02%.
Menurut Bhima, beberapa kebijakan pemerintah untuk menyasar wajib pajak kecil antara lain wacana pengurangan Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang saat ini sebesar Rp 4,5 juta/bulan atau Rp 54 juta/tahun. Selain itu, pajak selegram dan e-commerce akan berpengaruh pada pada konsumsi masyarakat.
ADVERTISEMENT
"Ini pasti berpengaruh ke dunia usaha. Kalau masyarakat malas belanja, ujungnya ritel juga lesu," ujarnya.
Bhima mengatakan, pemerintah juga sangat mudah melemparkan wacana beberapa kebijakan pajak ke publik meskipun kajiannya belum matang. Hal tersebut membuat masyarakat bingung dan was-was.
"Masalah konsep pajak belum jelas, yang awalnya ingin menyasar wajib pajak kakap juga tidak berhasil, sekarang mau incar wajib pajak kecil. Repot juga. Padahal masyarakat di bawah kondisi keuangan sedang sulit," jelasnya.
Menurutnya, kegagalan pemerintah menyeret pengemplang pajak kakap justru membuat masyarakat menengah ke bawah resisten terhadap petugas pajak. Bahkan dia mengkhawatirkan akan semakin banyak transaksi ekonomi tanpa pelaporan pajak.
"Yang saya khawatirkan akan marak lagi underground economy alias transaksi ekonomi tanpa pelaporan pajak. Beli motor atau mobil tanpa ganti nama misalnya. Atau jual beli rumah dan tanah tanpa ke notaris untuk lari dari pajak. Semakin agresif pajak menyasar wajib pajak kecil, semakin banyak penghindaran pajak atau tax evasion," tambahnya.
ADVERTISEMENT