Kasus Freeport Tak Ganggu Investasi Pertambangan Indonesia

26 April 2017 16:34 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Pengolahan mineral PT Freeport. (Foto: Antara)
Pemerintah dan PT Freeport Indonesia masih melakukan negosiasi terkait perubahan status Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan persoalan lainnya seperti perpanjangan kontrak dan divestasi 51 persen saham. Meskipun Freeport sudah diberikan IUPK, namun status itu bersifat sementara hingga Oktober mendatang.
ADVERTISEMENT
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong menilai persoalan itu tidak menganggu investasi di sektor pertambangan. Menurut dia, investor asing di sektor tambang saat ini masih berminat menanamkan modalnya di Indonesia.
"Meski kasusnya high profile, untuk sementara ini investor bisa melihatnya sebagai special case, kasus yang terisolasi, tidak mencerminkan iklim investasi secara umum," kata Thoma Lembong di Gedung BKPM, Jakarta, Rabu (26/4).
Menurut Tom, begitu dia biasa disapa, investasi sektor tambang terutama pembangunan pabrik pemurnian atau smelter masih sangat diminati. Dari realisasi investasi kuartal I 2017 yang sebesar Rp 165,8 triliun, pertambangan masih menjadi urutan pertama dengan realisasi investasi mencapai Rp 23,6 triliun atau 14,2 persen dari total investasi.
ADVERTISEMENT
Tom mengatakan, China masih menyumbang kontribusi terbesar untuk investasi smelter di Indonesia. Berkat investasi China di bidang smelter, terutama nikel, Indonesia bisa tembus top 3 produsen stainless steel. "Ini bukti kesuksesan program hilirisasi mineral," tuturnya.
Setelah industri pertambangan, sektor yang paling banyak diminati untuk penanaman modal adalah industri makanan (11,1 persen), transportasi, gudang dan telekomunikasi (11,1 persen), listrik, gas, dan air (10,1 persen), industri logam dasar, barang logam, mesin, dan elektronik (9,2 persen).
Lima besar negara asal PMA adalah Singapura (28,2 persen), Jepang (19,2 persen), China (8,2 persen), Amerika Serikat (8,2 persen), dan Korea Selatan (5,8 persen).