Periode Suram Daya Beli Masyarakat Kelompok Bawah

7 November 2017 11:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pasar Santa yang dulu ramai anak muda sekarang tampak sepi. Sebagian besar kios tutup. (Foto: Johannes Hutabarat)
zoom-in-whitePerbesar
Pasar Santa yang dulu ramai anak muda sekarang tampak sepi. Sebagian besar kios tutup. (Foto: Johannes Hutabarat)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mal yang semakin sepi pengunjung dan rentetan ritel yang gulung tikar sepanjang tahun ini menjadi gambaran adanya persoalan daya beli masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kondisi tersebut dipertegas laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat pada kuartal III tahun ini konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,93%, melambat dibandingkan kuartal sebelumnya sebesar 4,95%.
Ada banyak pendapat soal fenomena melemahnya konsumsi rumah tangga di tengah ekonomi yang bisa tumbuh 5,06%, naik dibandingkan kuartal sebelumnya 5,01%. Kepala BPS, Suhariyanto, menilai kondisi itu disebabkan adanya pergeseran pola konsumsi masyarakat dari non-leisure ke leisure atau gaya hidup.
"Seperti hotel, restoran, pergeseran pola konsumsi ke sana. Tapi kami enggak bisa memilah per lapisan, ada sedikit perlambatan makanan, minuman, perumahan," ujar Suhariyanto.
Diskon Besar-besaran di Lotus Sarinah (Foto: Nicha Muslimawati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Diskon Besar-besaran di Lotus Sarinah (Foto: Nicha Muslimawati/kumparan)
Benarkah demikian?
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mencoba menjelaskan fenomena ini. Menurut dia, saat ekonomi Indonesia bisa tumbuh 6%, pertumbuhan konsumsi rumah tangga berkisar tak jauh dari itu, yakni di kisaran 5,5%. Sekarang dengan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5%, konsumsi tetap berkisar 4,9-5%.
ADVERTISEMENT
“Kalau orang bilang dibandingkan 10 tahun lalu konsumsinya dis-accelerate memang iya. Tapi kalau dibilang daya beli melambat dalam satu tahun terakhir dalam agregat, itu enggak,” katanya saat berbincang dengan kumparan (kumparan.com) di Kantor CReco Research Institute, Jakarta, Senin (6/11).
Namun tidak cukup disitu, Chatib mengajak kita melihat lebih jauh persoalan daya beli masyarakat yang tidak bisa hanya dinilai dari angka agregat. Menurut dia, banyak pihak berpendapat bahwa kondisi saat ini disebabkan shifting ke online.
Namun apakah semua masyarakat Indonesia beralih ke belanja online dan mengubah pola konsumsinya?
Chatib Basri (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Chatib Basri (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Pertama, kata Chatib, jika beralih ke online setiap orang memerlukan perangkat smartphone yang harganya masih berkisar Rp 1,5 juta per unit. Selain itu, dia harus memiliki akses internet untuk bisa masuk e-commerce, seperti untuk membeli barang dan memesan tiket perjalanan untuk berlibur.
ADVERTISEMENT
“Kalau Rp 1,5 juta tidak mungkin kelas bawah, Itu pasti menengah atas. Kemudian orang belanja lewat online, bayarnya lewat bank. Masyarakat kita yang terjangkau oleh bank itu hanya 36%, sedangkan 64% unbank,” ujarnya.
Sehingga, stagnannya konsumsi masyarakat dan banyaknya ritel yang tutup akibat perpindahan pola konsumsi dan transaksi ke online hanya bisa menjelaskan karakteristik konsumen kelas menengah ke atas di perkotaan.
“Kalangan menengah atas konsumsi mereka naik. Gaji mereka setiap tahun di-adjust sesuai inflasi. Sebagian menengah atas punya investasi reksadana, obligasi, yang dalam tiga tahun terakhir imbal hasilnya naik,” ujarnya.
Namun, hal sebaliknya justru dialami 40% kelas menengah bawah semacam buruh konstruksi. Jika dilihat dari data statistik, upah riil mereka drop. Selain itu, upah mereka yang bekerja di nonformal juga tidak diikuti oleh kenaikan pendapatan untuk mengikuti laju inflasi.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data BPS, upah riil buruh bangunan pada September 2017 tercatat Rp 64.867, turun dibandingkan Agustus sebesar Rp 64.939. Dibandingkan dua tahun lalu pun, upah riil buruh konstruksi mengalami penurunan. Pada September 2015 upah buruh konstruksi sebesar Rp 66.158 dan pada September 2016 upah riilnya sebesar Rp 65.768.
“Kalau dilihat dari situ, memang 40% ke bawah drop," kata Chatib.
Menurut Chatib, salah satu solusi yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengembalikan daya beli kalangan masyarakat bawah adalah dengan memberikan bantuan tunai untuk merangsang permintaan. Jika permintaan ada, maka secara otomatis daya beli akan tumbuh.
Cash transfer atau PKH. Pokoknya bentuk semuanya tunai, tidak bisa pakai kartu. Kalau ini tidak di-address, pertumbuhannya (ekonomi) akan stagnan 5%. Itu dari segi konsumsi,” katanya.
ADVERTISEMENT