Sekarang, Fintech Wajib Tunduk Aturan BI terkait Pencucian Uang

13 September 2017 17:42 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Fintech. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Fintech. (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/10/PBI/2017 tentang Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank dan Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing (Kupva) Bukan Bank.
ADVERTISEMENT
Beleid ini menyempurnakan PBI 14/27/PBI/2012 tentang Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum dan Kupva Bukan Bank. Artinya, semua penyedia jasa sistem pembayaran seperti money changer dan finansial teknologi atau fintech harus tunduk terhadap aturan ini.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Eni V Panggabean, mengatakan penyempurnaan ini dilakukan karena perkembangan industri teknologi dan sistem informasi yang mengakibatkan berbagai produk, jasa, dan transaksi model bisnis semakin yang kompleks.
"Teknologi yang semakin canggih itu bisa meningkatkan risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme. Peningkatan risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme perlu direspons dengan penguatan pengawasan berbasis risiko," kata Eni di Gedung BI Thamrin, Jakarta, Rabu (13/9).
ADVERTISEMENT
Ada enam penyempurnaan dalam aturan yang terbit pada 11 September 2017 tersebut. Pertama, dalam peraturan baru diatur penyelenggara jasa sistem pembayaran selain bank, yakni penerbit alat pembayaran menggunakan kartu dan uang elektronik, serta penyelenggara dompet elektronik.
"BI juga dapat menetapkan pihak lain, misalnya penyelenggara teknologi finansial untuk tunduk dalam PBI ini. Misalnya yang ada pay, GoPay, dia sudah punya uang elektronik, harus tunduk aturan BI," katanya.
Kedua, pendekatan berbasis risiko. Pada peraturan baru ini BI menerapkan pendekatan berbasisi risiko untuk program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.
Ketiga, pencegahan pendanaan terorisme dan proliferasi atau penyebaran senjata pemusnah masal. Pengaturan ini mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran, money changer, dan penyedia dompet elektronik untuk melaksanakan pemblokiran serta-merta.
ADVERTISEMENT
Sementara Keempat, mitigasi risiko terkait teknologi baru dan pemanfaatan inovasi teknologi. Contohnya, penyelenggara jasa sistem pembayaran money changer dan penyedia dompet elektronik bisa mengunakan teknologi seperti video call dengan konsumen tanpa menghambat inovasi yang dikembangkan.
Kelima, penerapan Customer Due Dilligence (CDD) secara sederhana. CDD adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan profil nasabah.
Keenam, penguatan sanksi. Pengenaan sanksi diperkuat dan diperluas dari sebelumnya hanya kepada penyelenggara menajdi pengurus, pemegang saham, dan atau pejabat senior.
"Sanksi bisa berupa teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, denda administratif, sampai pencabutan izin. Kalau dia tahu ada transaksi mencurigakan, dia tidak melapor (ke PPATK), dia mendukung kuat pencucian uang," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Hukum BI, Rosalia Suci, mengatakan batas waktu lapor penyelenggara jasa sistem pembayaran money changer dan penyedia dompet elektronik ke PPATK maksimal tiga hari.
"Jika lewat itu dia tidak melapor artinya dia tidak membuat manajemen risiko, dia harus tanggung jawab, diberhentikan daribjabatannya dan tak boleh lagi menjabat di lembaga jasa keuangan," katanya.