Tiga Modus Ini Sering Digunakan untuk Hindari Bayar Pajak

22 Agustus 2017 16:21 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kantor Pusat Ditjen Pajak. (Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay)
zoom-in-whitePerbesar
Kantor Pusat Ditjen Pajak. (Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay)
ADVERTISEMENT
Selalu melesetnya target penerimaan pajak selama ini tak hanya disebabkan masalah ekonomi yang lesu, tapi juga karena masih banyaknya wajib pajak yang tak patuh dengan menggunakan berbagai cara bisa menghindari pembayaran pajak.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, mengatakan setidaknya ada tiga modus yang kerap dilakukan wajib pajak. Pertama, berjuang selama masih bisa bernegosiasi dengan otoritas pajak.
"Hanya ada tiga pola relasi antara otoritas dan wajib pajak. Kalau saya masih bisa bernegosiasi dengan otoritas pajak, maka saya akan fight," ujar Prastowo dalam diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Selasa (22/8).
Modus kedua adalah flight atau terbang. Jika ruang untuk berjuang dan berbegosiasi dengan otoritas pajak gagal, maka wajib pajak akan menaruh uangnya ke negara lain yang lebih aman dari otoritas pajak.
"Saya akan pindah ke Singapura, Hong Kong, dan sebagainya untuk menghindari pajak, misalnya," katanya.
Adapun modus ketiga adalah fraud atau curang. Untuk menekan modus kedua tersebut, pemerintah memperketat aturan tax avoidance atau penghindaran pajak seperti transfer pricing atau controlled foreign company (CFC).
ADVERTISEMENT
"Jadi menjadi sedikit ruang untuk shifting, maka saya akan memilih melakukan fraud, saya cheating. Sangat bergantung berapa probalitas kemungkinan saya diperiksa. Kalau kecil kemungkinan wajib pajak diperiksa, maka saya akan cheating," jelasnya.
Melihat dari ketiga modus yang kerap digunakan wajib pajak tersebut, Prastowo meminta pemerintah meningkatkan audit coverage ratio (ACR) atau rasio cakupan pemeriksaan.
ACR adalah rasio wajib pajak yang telah diperiksa atau audit dengan wajib pajak yang terdaftar. Selama ini, ACR di Indonesia hanya 1 persen. Padahal idealnya ACR mencapai 5 persen. Semakin kecil rasio ACR, maka semakin tinggi rasio probabilitas mengabaikan (neglect) dan wajib pajak merasa semakin tak terawasi.
"Untuk itu kami mengusulkan juga untuk clear, certain, and consistant. Banyak kebijakan yang unclear, remang-remang dan tidak jelas arahnya. Baru mau diimplementasikan, sudah diubah," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pemerintah juga perlu menyelaraskan aturan ataupun kebijakan yang telah dibuat antar otoritas.
"Misalnya, DJBC (Direktorat Jenderal Bea Cukai) membuat kebijakan Pusat Logistik Berikat (PLB) ditimbun di dalam negeri, tidak akan dikenakan pajak. Tapi di pajak ada klausul mengenai BUT (Badan Usaha Tetap), PLT itu BUT," ujarnya.