Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Resensi Novel Ayah Menyayangi Tanpa Akhir
24 Oktober 2022 18:05 WIB
Tulisan dari Anggelia Dwi Agustin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Identitas Buku:
ADVERTISEMENT
Sinopsis Buku:
Menikah dini dengan sekian risiko. Arjuna menjadi orang tua tunggal dan menanggalkan segala kecengengan romannya. Mengajari Mada sebagai elang kecil yang harus siap terbang bersahabat dengan angin badai.
Pagi itu Mada mogok sekolah, ia menitikkan air mata ketika Juna mendekatinya dan membentak, “Jangan menangis!” Mada segera mengusap air mata dengan kedua tangan kecilnya sambal terus menunduk, namun ia berani menjawab, “Hari ini Hari Ibu. Teman-teman Mada datang dengan Ibunya. Semua murid harus baca puisi untuk Ibunya.”
Juna menahan nafasnya yang mendadak terasa sesak menggulung paru-parunya. Ia pun mati kata! Lalu Mada berdiri dan mengangkat kedua tangan sang Ayah, menuntut!
“Bukankah Ayah juga Ibu Mada? Jadi sekarang Ayah harus ke sekolah!” Ayah muda itu kepalanya terasa pusing karena harus merayakan Hari Ibu dengan sekian puluh Ibu-Ibu, tak terbayangkan! Juna sadar, anaknya mulai besar, menuntut perhatian tanpa bisa ditawar! Semenjak itu, mereka menjalani hari bersama penuh rasa ikhlas, mengembarakan jiwa dengan bebas, menyentuh cerita jalanan yang begitu keras, menyingkap pesan yang tertulis di alam, dan menoreh sebuah sejarah secara jantan!
ADVERTISEMENT
Isi Resensi:
Novel ayah menyayangi tanpa akhir, menceritakan mengenai seorang Ayah tunggal dari Rajendra Mada Prawira dan sosok Ayah tunggal itu bernama Arjuna Dewangga yang berprofesi sebagai Apoteker. Diantara kesibukannya ia selalu berusaha menjadi sosok Ayah, Ibu, dan sahabat untuk Mada, putranya. Ia menjadi Ayah tunggal semenjak Mada dilahirkan, karena istrinya, Keisha Mizuki meninggal dunia setelah melahirkan karena pendarahan. Ia berusaha membuat Mada tidak kekurangan kasih sayang, walau tidak bisa dipungkiri bahwa Mada butuh sosok Ibu disisinya. Seperti saat Mada mulai duduk di kelas 1 Sekolah Dasar, saat itu sekolah Mada sedang memperingati Hari Ibu, semua orang tua di kelasnya diminta untuk hadir karena semua anak-anak akan membacakan sebuah puisi karangan mereka masing-masing untuk dipersembahkan pada Ibu mereka. Namun, karena Mada tidak memiliki seorang Ibu, ia hampir tidak masuk sekolah, setelah Juna mengerti keadaannya, dan saat Mada bilang “Ayahkan Ibuku juga.” Juna memutuskan untuk menghadiri acara tersebut. Saat Mada membacakan puisi karyanya, semua orang yang mendengar sangat tersentuh terlebih dengan kalimat terakhir pada puisinya “Selamat Hari Ibu… Ayah”. Hari-hari berlalu, Mada mulai bertanya kepada teman-temannya bagaimana rasanya punya seorang Ibu, sampai salah satu temannya menyarankan untuk mengirimkan Ibunya surat, maka Mada dengan cerdik menulis surat dan mengirimnya ke pos. Juna yang mengetahui itu langsung menjelaskan bahwa Ibunya sudah berada di surga, Mada hanya perlu mengirimkan doa untuk Ibunya, setelah itu Mada berhenti mengirim surat dengan tujuan Ibu.
ADVERTISEMENT
Terdapat juga peristiwa di mana Mada bingung ingin memakai baju apa untuk karnaval, Mbok Jum sebagai salah seorang yang membantu Juna merawat Mada sejak bayi sudah menyiapkan pakaian tradisional pria khas Jawa Tengah. Juna memakaikan pakaian tersebut pada Mada seraya menjelaskan makna dari setiap apa yang ia pakai. Namun, setelah Juna menjelaskan atau menceritakan mengenai Gatotkaca, Mada lebih memilih menggunakan baju Gatotkaca untuk karnaval. Setelah itu cerita membahas mengenai Keisha Mizuki yang saat itu seorang mahasiswi berasal dari Jepang yang mempelajari mengenai Arkeolog dan bertemunya ia dengan pria bernama Arjuna Dewangga yang merupakan seorang mahasiswa jurusan Apoteker yang menyukai sejarah. Pada bagian ini menceritakan cinta mereka sampai Keisha melahirkan Mada, yang mana itu juga merupakan hari wafatnya Keisha. Lalu cerita berlanjut membahas mengenai Mada yang sudah beranjak remaja. Pada bagian ini diceritakan saat Mada yang mengoleksi berbagai mainan mobil dari segala model, Mada yang menyukai musik, Juna yang mengajari Mada untuk belajar dari elang, mengenai Juna yang selalu menyewa sebuah homestay untuk melakukan makan malam romantis sendirian seraya mengenang Keisha, Mada yang bercita-cita sebagai seorang Arkeolog yang bisa bermain musisi atau pembalap, dan Mada yang mulai ingin mengetahui keluarga besarnya.
ADVERTISEMENT
Mada meminta suatu permintaan kepada Juna untuk ziarah ke pusara Ibunya dan pergi ke Solo. Setelah permintaannya itu disetujui oleh Juna, mereka melakukan perjalanan ke Yogyakarta untuk ziarah ke pusara Keisha, namun sebelum itu Juna mengajak Mada untuk menemui seseorang yaitu Mbah Ngatinah, seorang wanita yang selalu ada saat Juna dan Keisha baru saja menikah, seseorang yang selalu menyempatkan membelikan apapun keinginan Keisha saat hamil setelah berjualan bunga di pasar, seseorang yang sangat kehilangan saat Keisha berpulang, dan seseorang yang turut mendoakan Keisha. Juna menjumpai Mbah Ngatinah yang secara tidak langsung juga ingin memperkenalkan Mada pada beliau. Juna juga membeli bunga yang dijual Mbah Ngatinah. Beliau adalah guru yang hebat, karena beliau selalu menasehati Juna tanpa pernah menggurui. Setelah itu, Juna dan Mada pamit untuk pergi ke pusara Keisha. Setelah melakukan ziarah dan membersihkan tangan serta kaki, mereka pergi untuk berkunjung ke beberapa tempat seperti Malioboro, bukit bintang, makan di angkringan sego kucing, candi Prambanan, dan menonton Sendratari Ramayana. Selama mengunjungi beberapa tempat tersebut, Juna selalu menjelaskan sejarah dari semua itu. Terakhir dalam rencana liburan mereka ialah pergi ke Solo. Juna menjelaskan banyak hal pada Mada mengenai sejarah Keraton Surakarta. Mengenai asal mula berdirinya Keraton Surakarta, mengenai upacara-upacara yang sering dilakukan di Keraton, mengenai arti dua pohon beringin yang terdapat di sana, dan banyak hal lain mengenai Keraton Surakarta. Walau saat itu, Juna berusaha agar Mada tidak ingin mencari keberadaan Eyangnya. Setelah berkunjung ke Keraton, mereka berkunjung ke Candi Cetho, tidak luput Juna menjelaskan sejarah Candi Cetho dan Candi Sukuh. Waktu terus berganti sampai pada saat Mada meminta untuk kembali ke Jakarta, karena merasa Ayahnya sudah cukup meluangkan waktu untuknya dan meninggalkan banyak pekerjaan demi dirinya.
ADVERTISEMENT
Setelah pulang dari Solo dan Yogyakarta, Mada yang pada dasarnya gemar membaca seperti Ayah dan Ibunya, ia sedang membaca buku mengenai Gajah Mada pada buku berjudul Gajah Mada: Biografi Politik, karangan Prof. Dr. Agus Aris Munandar. Sebelumnya Mada pernah membaca buku berjudul Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1839 karya Darsiti Soeratman. Seperti biasa, Juna yang melihat itu mulai menceritakan mengenai Gajah Mada pada Mada. Sebenarnya, bisa dibilang Juna memiliki wawasan yang luas, seperti sejarah, mobil balap, motor balap, arsitektur, tanaman, batik, musik, dan tentunya obat-obatan termasuk obat herbal.
Semakin sibuk pekerjaan Juna hingga tidak dapat memberi perhatian penuh pada Mada seperti dulu. Hingga, pada suatu pagi hidung Mada mengeluarkan darah yang begitu banyak, sehingga baju kerja Juna yang digunakan untuk menahannya penuh darah. Saat itu juga Juna membawa Mada didampingi Pak Ri yang merupakan suami dari Mbok Jum. Setelah sampai di rumah sakit dan menjalani perawatan, betapa sakitnya hati Juna harus menerima bahwa anak laki-lakinya mengidap penyakit kanker otak stadium 4. Juna tidak langsung menerima kenyataan itu, namun sahabatnya yaitu Dean yang menangani Mada berusaha meyakinkannya, karena Mada harus segera diobati. Sampai mereka memutuskan untuk menggunakan obat herbal.
ADVERTISEMENT
Pada saat Mada berulang tahun ke 17 tahun, saat itu ia sedang dirawat di rumah sakit. Mada meminta kado pada Juna yaitu turun balapan. Sudah dipastikan Juna tidak langsung menyetujuinya, namun setelah banyak pertimbangan ia menyetujuinya karena ia takut jika itu permintaan terakhir anaknya. Ya, mereka turun balapan di Kirana Legacy dengan Mada yang menyetir dan Juna menjadi navigator. Mada lihai mengendarai mobilnya hingga ke garis finish. Juna merasa senang, karena melihat Mada lebih sehat bahkan terlihat jika dia tidak sedang sakit. Mada begitu ceria dan bahagia saat itu. Mereka merayakan kemenangan mereka dan berfoto, sampai tidak ada suara tawa lagi di samping Juna, saat menoleh Mada sudah menyandarkan kepalanya pada pundak Juna. Seketika semua orang yang ada di sana membantu mengangkat Mada ke belakang podium. Teriakan Juna selalu menggema menyebut nama anaknya. Namun, Mada diam seribu bahasa. Mata sayu Mada terkatup perlahan di pangkuan sang Ayah dan senyum yang terukir di wajah pucatnya. Mada adalah guru terbaik Juna.
ADVERTISEMENT
Setelah kepergian Mada, Juna membaca surat untuknya, serta buku harian Mada yang berisi puisi, prosa, atau esai. Juna mewujudkan amanat yang ditinggalkan Mada untuknya. Serta Ibu Juna sudah menerima ia kembali setelah banyak peristiwa yang dilewati. Tamat.
Kelebihan Buku:
Buku ini memberikan banyak pelajaran seperti, persahabatan, kasih sayang, cinta, kesetiaan, keikhlasan, saling berbagi, tentang kehidupan, dan mencintai sesama manusia. Pada buku ini juga terdapat pengetahuan lain, seperti mengenai mobil dan motor sport, sejarah yang ada di Indonesia dan di Jepang, arti perlengkapan pakaian adat pria dari Jawa Tengah, buku, burung elang, arsitektur, tanaman, batik, mengenai musik dan perlengkapannya, penyakit, dan obat herbal.
Kekurangan Buku:
Masih terdapat beberapa kesalahan dalam penulisan, seperti tidak ada tanda baca seperti titik (.) dan tanda kutip (") diakhir kalimat, jarak kata dengan tanda baca terlalu jauh, salah menulis pada kata dalam pada buku ini ada yang tertulis dalma, pada kata dimanapu seharusnya ialah di mana pun, dan pada kata dimana seharusnya di mana.
ADVERTISEMENT