Konten dari Pengguna

Belajar Nilai-nilai Kehidupan dari Coach Carter

Anggi Anugerah Daulay
Mahasiswa Tugas Belajar Kementerian Keuangan di Sarjana Terapan PKN STAN.
31 Juli 2024 6:09 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Anugerah Daulay tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Dokumentasi penulis
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dokumentasi penulis
ADVERTISEMENT
Seorang Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela pernah mengutarakan bahwa senjata yang paling ampuh untuk mengubah dunia adalah pendidikan. Proses pendidikan dapat berjalan dalam berbagai bentuk baik pendidikan formal maupun nonformal. Pendidikan formal terjadi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah dan pendidikan nonformal dalam bentuk kursus atau pelatihan. Kedua ragam pendidikan ini dapat ditemukan dan menjadi nilai pembelajaran dalam film berjudul Coach Carter, sebuah film yang dirilis di Amerika pada tahun 2005 silam.
Sumber: Freepik
Film Coach Carter merupakan kisah yang berdasarkan kejadian nyata. Film ini menceritakan tentang seorang pelatih basket di Richmond High School. Ken Carter merupakan sosok yang menjadi tokoh utama dalam film ini. Carter ditawari kesempatan untuk melatih suatu tim basket bernama Richmond Oilers yang dikenal nakal dan tidak berprestasi dalam kejuaraan. Carter menerima tawaran ini dan melatih tim selama empat bulan. Awalnya Carter mempelajari kondisi tim dan memahami siswa dalam tim ini tidak punya perilaku yang baik. Richmond Oilers juga kalah sampai 22 kali dalam berbagai kejuaraan. Dalam latihannya Carter menekankan arti disiplin dengan menetapkan jadwal latihan setiap pukul 3 sore. Meski dimulai pukul 3, Carter mengingatkan anggota tim untuk hadir paling lama pukul 2.55. Anggota yang hadir melebihi waktu tersebut dianggap terlambat dan harus menerima hukuman berbentuk push-up dan lari. Aturan ini berlaku untuk seluruh anggota tanpa terkecuali. Termasuk kepada anaknya, Carter juga memberi hukuman saat Damien Carter telat hadir latihan.
ADVERTISEMENT
Kedisiplinan yang diajarkan Coach Carter menunjukkan hasil yang positif. Dalam berbagai kompetisi, tim Oilers nyaris selalu tampil menjadi pemenang. Hal ini berbalik dari kondisi sebelum Carter menjadi pelatih. Kesuksesan tim Oilers menjadi kebanggan bagi Carter. Namun, kebanggaan Carter tidak berlangsung lama. Carter rupanya tidak sekadar pelatih, tetapi juga pendidik. Carter meminta kepada manajemen sekolah untuk memberinya laporan hasil belajar siswa tim Oilers. Dalam laporan yang diterimanya, performa akademik para siswa tidak memuaskan. Bahkan ada siswa yang mendapat nilai E dan harus mengulang kelas. Kondisi akademik siswa yang tidak sejalan dengan prestasi basket membuat Carter marah.
Kemarahan Carter tidak berujung pada rasa kesal semata. Carter membatalkan sesi pelatihannya yang biasanya berlangsung sore hari. Tindakan Carter menuai kontroversi dan kecaman. Para siswa mempertanyakan alasan Carter. Begitu juga pihak manajemen sekolah dan orang tua siswa. Tidak sampai di situ, Carter juga diminta menyampaikan keterangan kepada media tentang alasannya. Seusai memberi pernyataan kepada pers, Carter mengumpulkan siswanya. Carter menjelaskan kemarahannya tentang hasil belajar para siswa di kelas. Carter menyampaikan bahwa di sekolah Richmond terdapat 50 persen siswa yang lulus dan dari siswa yang lulus tersebut jumlah yang melanjutkan ke pendidikan tinggi hanya 6 persen. Carter juga menjelaskan bahwa sebanyak 33 persen siswa dari ras Afrika-Amerika yang berusia 18—24 tahun masuk penjara. Kondisi inilah yang melatarbelakangi Carter untuk mendidik siswa yang ada dalam timnya untuk bisa kuliah dan memiliki kehidupan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Motif Carter untuk mendidik para siswa bukan tanpa alasan fundamental. Carter pernah menjadi anggota tim basket 30 tahun sebelumnya. Ceritanya dalam tim basket di masa lalu menjadi goresan tinta tersendiri baginya. Carter kehilangan teman-temannya karena banyak yang masuk penjara dan mati. Pengalaman pahitnya di masa lalu yang membuat Carter ingin mengubah keadaan. Dengan mengambil posisi sebagai pelatih, Carter yakin keadaan buruk ini bisa berubah menjadi baik.
Carter terus membatalkan sesi latihan basket. Alih-alih melatih basket, Carter menyuruh para siswa belajar di perpustakaan. Carter ingin melihat perbaikan hasil belajar para siswa. Berdasarkan laporan yang diterima Carter, para siswa mengalami peningkatan hasil belajar dalam beberapa minggu. Carter memenuhi janjinya dan para siswa bisa kembali mengikuti latihan basket seperti semula.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif kepemimpinan, Coach Carter pada awalnya memainkan tipe kepemimpinan autokratik. Hal ini terlihat dari kontrol ketat yang dipegang Carter terhadap timnya. Kendali Carter terlihat dari ketegasan dan kedisiplinan yang Carter tekankan. Tipe autokratik ini diambil Carter karena melihat masalah yang ada dalam tim Oilers. Carter juga memberi hukuman kepada tim yang melanggar aturan yang dibuat dalam bentuk kontrak. Seiring berjalannya waktu, Carter menginternalisasi nilai-nilai untuk dianut secara bersama. Nilai yang diajarkan Carter di antaranya: 1) nilai karakter, ini merupakan nilai paling pertama yang Carter ajarkan karena melihat perilaku siswa tim yang tidak bermoral. Carter mengajarkan tata krama mulai dari hal mendasar seperti sapaan kepada orang lain; 2) nilai kekompakan, Carter membangun kekompakan dalam tim, misalnya tim hanya bisa kembali berlatih hanya jika semua anggotanya berhasil meningkatkan hasil belajar; 3) nilai belajar terus menerus (continuous learning), Carter mengajarkan kepada siswanya untuk tidak berhenti sekolah, tetapi lanjut ke jenjang kuliah. Perilaku Carter tersebut yang menandakan tipe kepemimpinannya berubah dari yang awalnya autokratik menjadi transformasional. Selain menanamkan nilai bersama, Carter juga menginspirasi dan memotivasi timnya untuk meningkatkan prestasi. Peningkatan prestasi harus sejalan dengan kualitas belajar tim Oilers.
ADVERTISEMENT
Pendidikan yang Carter berikan kepada tim Oilers membuahkan hasil manis. Sebanyak enam siswa tim berhasil lulus dari sekolah Richmond dan lanjut berkuliah serta menerima beasiswa. Sang anak Coach Carter sendiri diterima di akademi militer Amerika Serikat. Itulah nilai-nilai pendidikan yang Coach Carter ajarkan. Film yang berasal dari kisah nyata ini bukan hanya menjadi tontonan, melainkan boleh juga menjadi tuntunan.