Konten dari Pengguna

Kecerdasan: Apakah Benar Sebuah Warisan?

Anggi Eka Pangesti
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya
28 November 2022 15:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Eka Pangesti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernah gak kalian dibandingkan dengan orang tua kalian yang pintar? Misalnya seperti ini, “Eh! Ortu lo guru, tapi masa nilai lo jelek, sih?” atau seperti ini, “Ortu lo kan pinter matematika, harusnya lo juga pinter dong!”. Jika kalian pernah atau teman kalian pernah dibandingkan dengan orang tua kalian yang pintar, coba deh simak penjelasan di bawah ini. Bener gak sih kalau orang tuanya pintar terus anaknya juga harus pintar?
Sumber: pngtree
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: pngtree
Robert Plomin, seorang psikolog dan ahli genetika Amerika melakukan penelitian bersama rekan-rekannya pada sekelompok remaja usia dua belas hingga empat belas tahun dari seluruh Amerika. Anak-anak tersebut bukan anak biasa, melainkan anak-anak yang memiliki prestasi belajar di atas rata-rata atau bisa dibilang mendekati genius.
ADVERTISEMENT
Plomin bersama tim peneliti mengambil sampel darah setiap anak kemudian mengujinya. Hasilnya, anak-anak tersebut memiliki IQ sekitar 160.
Tim peneliti Plomin melakukan uji coba pada kromosom 6. Penelitiannya menemukan bahwa urutan pada bagian kecil lengan panjang kromosom 6 anak-anak cerdas berbeda dengan urutan orang pada umumnya. Urutan tersebut berada pada bagian tengah gen, yaitu IGFzR. Tapi, apakah benar kecerdasan itu diturunkan?
Sebenarnya, manusia sendiri mempunyai kemampuan untuk belajar. Tingkat kecerdasan seseorang bisa dipengaruhi juga oleh pendidikan atau melalui pelatihan.
Tidak semua orang yang pintar selalu pintar. Maksudnya, terkadang ada orang yang pintar dalam satu hal, namun bodoh pada hal lain. Seperti seseorang yang pintar dalam menghitung angka, belum tentu pintar dalam menyusun kata atau seseorang yang pandai Matematika belum tentu pandai dalam pelajaran Bahasa, begitupun sebaliknya. Orang yang pandai dalam bidang akademik, belum tentu pandai di bidang non-akademik. Seorang anak yang tidak pandai dalam pelajaran, bisa saja pandai dalam mengoper bola. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kecerdasan seseorang itu berbeda. Akan tetapi, di dunia ini ada satu kecerdasan yang dihitung dan dilambangkan sebagai IQ. Kecerdasan yang menentukan apakah kita bisa mengikuti pembelajaran secara baik atau tidak.
ADVERTISEMENT
Terdapat tiga macam kecerdasan menurut Robert Sternberg, yaitu analitik, kreatif dan praktis.
Kecerdasan analitik berhubungan dengan proses kognitif kita. Implementasinya dalam kehidupan sehari-hari terdapat pada soal ujian sekolah. Soal analitik hanya memiliki satu jawaban benar, dibuat oleh orang lain, berhubungan dengan informasi-informasi yang ada atau materi pelajaran kita, tetapi tidak memiliki hubungan dengan pengalaman sehari-hari kita.
Kecerdasan kreatif disebut juga sebagai kecerdasan pengalaman. Kecerdasan kreatif membicarakan bagaimana pengalaman memengaruhi kecerdasan dan bagaimana kecerdasan memengaruhi pengalaman seseorang.
Kecerdasan praktis berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari. Membicarakan tentang bagaimana seseorang beradaptasi dengan lingkungannya. Dalam praktiknya pada pembelajaran, soal-soal praktis cenderung mempunyai satu jawaban atau lebih dan langsung berkaitan dengan kehidupan kita. Soal ini tidak didefinisikan dengan jelas dan informasinya tidak selengkap soal analitik.
ADVERTISEMENT
Dari ketiga jenis kecerdasan tersebut, kecerdasan analitik menjadi tumpuan untuk melakukan uji IQ. Dan seperti yang kita tahu, ukuran kecerdasan seseorang sering dilihat dari seberapa tinggi IQ mereka.
Sama halnya dengan kepribadian, kecerdasan juga dipengaruhi oleh berbagai faktor. Seperti yang sudah saya sebutkan tadi, manusia memiliki kemampuan belajar dan tingkat kecerdasan seseorang bisa dipengaruhi oleh pendidikan atau pelatihan.
Terdapat sebuah studi yang menunjukkan bahwa apa yang terjadi di dalam kandungan seorang ibu juga berpengaruh pada kecerdasan anak dan pengaruhnya tiga kali lebih besar ketimbang apa yang dilakukan oleh orang tua setelah kita lahir. Pada anak kembar, tingkat kemiripan kecerdasan bisa sampai dua puluh persen, sedangkan pada saudara sekandung mencapai lima persen. Oleh karena itu, kita terkadang menemukan kasus di mana seorang kakak lebih pintar daripada adiknya ataupun sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1980-an, James Flynn, seorang pakar ilmu politik Selandia Baru mengamati perkembangan IQ di semua negara. Hasilnya, IQ semua negara terus meningkat dengan rata-rata sebesar tiga poin setiap dasawarsa. Lebih lanjut lagi, dua desa di Guatemala diberi asupan protein tinggi selama beberapa tahun. Sepuluh tahun kemudian, anak-anak tersebut di tes kembali IQ-nya dan IQ mereka naik cukup tajam. Hal tersebut sukses membuktikan bahwa gizi juga bisa berperan dalam peningkatan IQ.
Peningkatan IQ juga dipengaruhi oleh kondisi sekitar. Di era kita sekarang ini yang semua bisa digambarkan dalam bentuk visual dua dimensi atau tiga dimensi, IQ bisa meningkat lebih pesat. Hal tersebut karena pada uji IQ, soal mengenai teka-teki visual lebih banyak dijumpai. Bukan ujian berbentuk soal analitik seperti soal ujian sekolah yang membuat skor IQ kita tinggi, melainkan ujian berbentuk penalaran abstrak. Kebiasaan kita dengan visualisasi membuat kemampuan kita dalam memecahkan soal teka-teki visual meningkat.
ADVERTISEMENT
Seorang anak yang dibesarkan di lingkungan dengan status sosial sederajat juga lebih memungkinakan untuk memiliki IQ yang tinggi. Kebiasaan keluarga kelas sosial atas yang cenderung mengutamakan pendidikan tinggi akan terbawa dalam kehidupan sehari-hari. Perbincangan yang berorientasi pada masa depan, hobi membaca buku, dan rasa keingintahuan yang tinggi merupakan kebiasaan baik yang memicu munculnya jalur-jalur baru di otak. Hal tersebut membuat terbentuknya banyak lekukan di otak yang menandakan bahwa otak kita menerima banyak informasi.
Dari berbagai macam studi, Matt Ridley dalam bukunya Genom: kisah spesies manusia dalam 23 bab menyimpulkan bahwa separuh dari IQ kita diturunkan melalui pewarisan, kurang dari dua puluh lima persen berasal dari lingkungan, saudara sekandung dan keluarga, sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, kecerdasan tidak sepenuhnya merupakan sebuah warisan. Terdapat beberapa hal lain yang memengaruhi kecerdasan seseorang. Otak kita sendiri memiliki kemampuan untuk berkembang dan kita memiliki kemauan untuk belajar. Dengan demikian, kita masih bisa terus meningkatkan kecerdasan kita dengan banyak berlatih dan melakukan kebiasaan baik.
Referensi:
Chorney, M. J., Chorney, K., Seese, N., Owen, M. J., Daniels J., McGuffin P., Thompson, L. A., Detterman, D. K., Benbow, C., Lubinski, D., Eley, T., and Plomin, R. (1998). A quantitative trait locus associated with cognitive ability in children. Psychological Science, (9), 1-8.
Daniels, M., Devlin, B., and Roeder, K. (1997). Of genes and IQ. In Devlin, B., Fienberg, S. E., Resnick, D. P., and Roeder, K. (eds), Intelligence, genes and success. Copernicus, New York.
ADVERTISEMENT
Neisser, U. (1997). Rising scores in intelligence tests. American Scientist, (85), 44047
Ridley, M. (1999). Genome: the autobiography of a species in 23 chapters. HarperCollins, New York.
Scar, S. (1992). Developmental theories for the 1900s: development and individual differences. Child Development, (63). 1-19.