Api yang Padam

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
13 Januari 2018 8:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Memories warm you up from the inside. But they also tear you apart. ― Haruki Murakami, Kafka on the Shore
Hujan lebat mengguyur sore itu. Stasiun kereta penuh manusia yang mencari atap perlindungan, tak rela tubuh mereka basah kuyup dihajar tumpahan air dari langit. Nir, tanpa payung, setengah berlari menuju taksi menembus kerumunan orang. Anjani menanti.
ADVERTISEMENT
Nir melongok arlojinya. Sial sekali. Ia hanya punya waktu sedikit, dan perjalanan jadi terhambat karena deras hujan. Kemacetan sudah pasti tak terelakkan, dan tak ada yang bisa ia lakukan. Ia hanya punya dua pilihan: menjenguk Anjani meski sebentar, atau tak menjenguknya sama sekali.
“Bumi Medical Center ya, Pak. Jalur tercepat yang memungkinkan,” kata Nir begitu mengempaskan tubuhnya ke kursi taksi. Ia lalu mengecek ponsel. Notifikasi pesan dari Anjani masuk. “Akasia 7. Sudah di mana? Bawa buku?”
Nir membalas, “Sudah dekat. Iya, aku bawa buku.” Selalu buku yang ditanyakan. Nir mafhum, mungkin Anjani bosan berhari-hari menginap di rumah sakit. Itu sebabnya ia membawa tak hanya satu buku, tapi setumpuk sekaligus. Nir bahkan menyempatkan diri mampir toko buku.
ADVERTISEMENT
Nir mengingat-ingat sudah berapa lama Anjani sakit. Sekitar sepekan, dan selama itu pula ia belum sempat menengoknya. Nir benar-benar tak punya waktu. Agendanya padat bukan main, sambung-menyambung antara satu dengan yang lain. Baru hari ini ada dua jam kosong di antara impitan agenda, dan Nir langsung meluncur ke rumah sakit di pinggir kota itu―dengan kereta untuk memangkas waktu tempuh.
Setiba di RS, Nir berjalan cepat. “Akasia 7 sebelah mana?” tanyanya pada petugas informasi. Ia lalu menyusuri koridor rumah sakit menuju Paviliun Akasia, bertanya-tanya dalam hati bagaimana kondisi Anjani sesungguhnya.
Paviliun Akasia berhias pohon Akasia―dan Kemboja. Kembang-kembang Akasia kuning, berjajar bersama Kemboja jingga, mekar segar di taman, menantang hujan dan halilintar.
ADVERTISEMENT
Akasia kuning… kemboja jingga… akasia kuning… kemboja jingga…
Bunga-bunga itu jadi agak mengganggu Nir. Ia cepat-cepat mencari pintu nomor 7.
Di depan Akasia 7, Nir mengetuk pintu, lalu masuk ke dalam ruangan yang cukup lapang. Begitu melihat Nir masuk, Anjani yang sedang berbaring, langsung duduk. Pada pergelangan tangan kirinya menancap jarum infus.
“Kembali berbaring,” perintah Nir pada Anjani, bergegas menghampiri dan mengecup keningnya. Anjani patuh, dan merebahkan tubuhnya lagi ke ranjang. Binar terpancar dari sepasang bola matanya.
Nir menarik bangku di sudut ruangan ke samping ranjang, lalu duduk sambil menggenggam tangan kiri Anjani dengan hati-hati. Senyum tipis muncul di bibir Anjani.
“Kepalamu masih pusing?” tanya Nir. Anjani mengangguk, lalu mengangkat tangan kanannya yang bebas infus ke belakang kepala, “Memar di sini, masih sakit, dan terasa berat. Tapi aku sudah bisa baca-baca.”
ADVERTISEMENT
“Jangan memaksakan diri. Membaca bisa nanti-nanti. Tidur saja kalau pusing,” ujar Nir. Anjani mengangguk lagi, lalu bertanya pelan, “Sedang sibuk sekali ya? Kamu mana pernah tak sibuk.” Nir menangkap sedikit geram pada suara Anjani, dan menafsirkan kalimat itu dengan bunyi: ke mana saja kau, baru sekarang menjengukku?
Nir menyahut, “Begitulah, pekerjaan tak ada habisnya. Dan aku besok mesti keluar kota.” Dalam hati ia merutuki pembicaraan soal kesibukannya itu.
“Sudah membereskan barang-barangmu di kantor?” tanya Anjani, ingat ini hari-hari terakhir Nir sebelum ia pergi―yang tak sekadar keluar kota.
“Belum,” jawab Nir. “Aku akan mengosongkan laci, tapi tak semua kubawa. Rasanya tak ada yang berharga di sana, bisa dibuang saja.”
Binar di mata Anjani meredup. Nir mempererat genggaman tangannya, lalu mengeluarkan buku-buku dari ranselnya. Anjani duduk lagi, kali ini tak peduli dengan komando Nir untuk tetap berbaring. Ia langsung meraup semua buku yang diletakkan Nir di tempat tidur, dan mencermatinya satu per satu. Seluruhnya novel, seperti permintaan dia.
ADVERTISEMENT
Novel-novel lintas benua yang acak. Haruki Murakami, Orhan Pamuk, Wan Gang, Aravind Adiga, Stieg Larsson, dan satu novel terjemahan―Perempuan Seribu Wajah, demikian tertera di sampul.
Anjani membolak-balik sampul novel-novel itu, dan mencium bau yang menguar dari lembar-lembar halamannya. “Novel yang satu ini masih sangat bau toko,” ujarnya seraya menyorongkan Perempuan Seribu Wajah ke depan wajahnya.
“Aku memang baru membelinya tadi,” kata Nir. Mata Anjani melebar. “Hari ini?” tanyanya. Nir mengangguk, “Ya, hari ini. Aku beli untukmu. Tampaknya cocok buatmu―seribu wajah.”
Anjani mengernyit, “Wajahku tak sebanyak itu, tapi terima kasih untuk bukunya. Aku tak janji bisa cepat mengembalikannya. Pasti butuh waktu tak sebentar membaca buku-buku ini.”
“Tak perlu dikembalikan,” sahut Nir. “Itu untukmu. Ambil saja.” Mata Anjani makin lebar. “Terima kasih,” katanya. “Sama-sama,” ujar Nir.
“Kamu tadi kehujanan?” tanya Anjani, memperhatikan titik-titik air di kerah kemeja Nir yang baru terlihat olehnya.
ADVERTISEMENT
“Sedikit kok, aku langsung naik taksi dari stasiun,” jawab Nir. Anjani menggerutu, “Apa salahnya sih membawa payung di tasmu? Kalian para lelaki sulit sekali memakai payung.”
Nir tersenyum, “Itu enggak cowok. Kesannya kurang macho.” Anjani mengayunkan tangan tanda tak setuju, “Nonsens. Kamu tidak perlu tak pakai payung untuk terlihat macho atau apapun itu istilahnya.”
“Jadi aku macho?” tanya Nir menggoda, disusul tawa mereka berdua.
Ruangan sunyi itu mendadak penuh gelak, dengan wajah si sakit berseri-seri seolah separuh rasa sakitnya mendadak lenyap. Genggaman tangan Nir menghangatkan hati beku Anjani―untuk sementara.
Hujan belum berhenti kala Nir pamit. “Aku harus pergi,” ujarnya, melihat jam di dinding. Anjani mengangguk, tapi memprotes, “Sebentar sekali.”
ADVERTISEMENT
“Iya, maaf ya. Aku ada meeting malam ini,” kata Nir. Anjani mendesah, dan menumpuk rapi buku-buku dari Nir di samping bantalnya.
Ia menunduk, keberatan kehilangan Nir begitu cepat. Kristal-kristal es mulai menyelimuti hati Anjani lagi. Menjalar ke lengannya yang perlahan mendingin.
Nir membungkuk ke arah Anjani, membelai rambutnya, mencium pipinya, keningnya, dan mengecup lembut bibirnya.
“Lekas sembuh, ya,” ujarnya, kembali mencium bibir Anjani. Ciuman perpisahan.
Tirai senja turun kala Nir melepas tangan Anjani dan melangkah pergi.
Seiring kepergiannya di tengah deras hujan, api di mata Anjani padam seketika.
***
Hilang Kata
“Aksara-kata seperti berloncatan di kepala.”
Mendengar itu, alisku terangkat tangan mengambil kertas dan menggoreskan pena menuliskan madah singkat-singkat muram-geram yang bersemayam di dada
ADVERTISEMENT
“Seperti ini?” ujarku menyodorkan setumpuk amarah
selalu keinginan menumpuk di ujung suatu masa tapi waktu yang tak kekal mengalir di seluruh pembuluh darah
Kau tergelak paras manis berlesung pipit tipis yang sulit terhapus meski malam merangkak dan karang terkikis
Sejak itu abjad-abjad menari meliuk meski bibir membisu meluap tumpah menganak tinta mengisi sunyi yang menggurita
kata selalu ada
Ia ada karenamu terpelihara seperti bayangmu yang tak mau lenyap walau kerap koyak dan tak hendak musnah meski terempas lesak
kita dan kata
“Ambil saja untukmu.” buku-buku itu kau letakkan di sudut dipan kala kau diam-diam bertamu dan pergi senyap bersama dingin angin bulan hujan
Berlembar-lembar kata-kata mengisi kosong, hampa, tiada “suwung,” katamu lalu hening meraja, membungkus semesta semu
ADVERTISEMENT
ketika kata-kata terhenti, hilang nanti di satu petang saat purnama belum lagi matang mungkin kau padam, terbang
Lorong RS, Mei 2017
Prosa dan puisi ditulis pada waktu berbeda. Ilustrasi gambar diambil dari Unsplash.