Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Aspirin
17 Juni 2019 1:50 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Aku menemuinya untuk mencari aspirin. Dan ia mengingatkanku untuk berhati-hati.
ADVERTISEMENT
“Tak ada orang nomor satu. Semua nomor dua. Nomor satu adalah hasil kerja beregu. Itu doktrin penting,” ujarnya.
Aku mengangguk. “I knew it from the very first. I can’t do all of these without them. We complete each other.” Aku merendahkan suara, “Even so...”
Mendengar ucapanku menggantung, ia mengangkat kedua alisnya. “Dan jangan lupa belajar toleransi, belajar mengerti, belajar rendah hati,” katanya, seolah membaca pikiranku.
Aku tersenyum masam, lalu menyahut, “I always learn hard, and even now I learn the hard way. You know I’m bad at formalities, don’t you? Diplomacy, huh? Negotiation, communication, that boring conversation? But yes, I pay attention—pretty much.”
Ia menepuk pundakku. “Great, keep it that way. Seems you’re doing good so far.”
ADVERTISEMENT
Aku mengangkat bahu. “I dunno. I’m typically a person who’s occasionally doing things out of control. And you typically a person who always keeps everything under control.”
Ia tertawa, lalu menggeleng. “Aku tak selalu begitu. Bekerja di bidang ini akan selalu berjumpa kelelahan jiwa.”
Aku berkelakar sinis, “Belahan jiwa belum tentu bertemu, lelah jiwa sudah pasti berjumpa. Pekerjaan ini memang luar biasa.”
“Nothing is easy, but you are well-trained,” katanya, tegas.
Aku menuang gin, lalu meneguknya cepat.
“I can be very explosive. They gave me headaches sometimes,” kataku, teringat ulahku yang belum lama ini berteriak-teriak di telepon sambil membanting gelas ke lantai hingga pecah berkeping saking murkanya aku menghadapi laporan buruk rupa.
ADVERTISEMENT
“Belajar sabar,” ujarnya dengan suara setenang aliran air.
Aku menghela napas. Aku sadar harus merentang kesabaran hingga batas yang belum pernah kumiliki, dan itu membuatku tersenyum kecut. “Sepertinya ‘sabar’ tak tertulis dalam DNA-ku.”
Ia menyorongkan botol Bombay Sapphire ke arahku. “Minum lagi biar kepalamu ringan.”
Aku segera meraih botol berisi cairan biru jernih itu, dan memindahkan seperempat isinya ke gelasku.
Ia memandangi gelas itu dan wajahku berganti-gantian, entah berpikir apa. Dan aku mengamati mata elangnya sambil perlahan menyesap gin.
Aku selalu senang mendengar petuah-petuah klisenya. Mungkin aku sekadar butuh pengingat, penenang, pendingin, aspirin.
Ah ya, aspirin… Dan seperti menerka benakku, ia bertanya, “Butuh berapa butir aspirin?”
“Tujuh puluh. Lima ratus miligram per butir,” jawabku tanpa ragu.
ADVERTISEMENT
Ia mendongak dan menatapku tajam, “Itu dosis mematikan. Kau yakin tak sekalian ambil arsenik?”
“Boleh saja.” Aku tak keberatan. Cara lambat atau cara cepat hanya metode. Hasil akhirnya toh sama.
Ia membuka brankas obat sambil menyelidik, “Siapa kali ini?”
“Pejabat tinggi,” kataku singkat.
“Eksekutif?” ujarnya, belum puas mengorek.
“Yudikatif,” sahutku, memberi petunjuk.
“Hati-hati,” katanya sambil mengangsurkan sebotol kecil arsenik ke genggaman tanganku.
Aku mencium ringan pipinya. “I will. Like you said, I am well-trained—and well-prepared.”