news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Bahteramu, Bahagiamu

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
4 Agustus 2018 15:10 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bahteramu, Bahagiamu
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
“Aku mengambil keputusan ini terpengaruh tulisanmu. Seperti kamu bilang, kadang ‘senang’ saja tak cukup,” ujarnya malam itu.
ADVERTISEMENT
Dia nyaris tak kukenal. Aku melihatnya selintas-selintas di antara kelebat bayang-bayang dan hiruk pikuk sekitar. Kadang kami berpapasan dan saling melempar senyum kecil, tanpa bincang panjang.
“Aku jarang menulis ‘sungguhan’ sekarang. Waktuku tersita setumpuk perkara wajib,” kataku tanpa sesal (akan ada waktu untuk kembali menulis itu, aku tak cemas).
“Sayang sekali, padahal tulisan-tulisanmu sering kutunggu,” ujarnya, membuat hatiku merekah hangat.
Ah, rupanya ada orang yang suka membaca cerita-cerita sembarangku, yang kutulis sambil lalu tak tentu arah di segala suasana. Dan salah satu cerita itu memantapkan hatinya untuk pergi.
“Yang penting kamu bahagia. Tidak ada keputusan yang salah,” kataku.
Bahagia tak selalu datang gampang. Terlebih bila jiwa raga terbelenggu rantai rutinitas tak berujung. Tapi aku, kau, kita, berhak bahagia dan menggunting semesta jemu.
ADVERTISEMENT
Setiap orang punya peperangannya sendiri. Kilat pedang berdenyar di kepala, kilau belati menghujam jantung.
Aku ingat di satu senja entah berapa tahun lalu, kala pesan pendek masuk ke ponsel dalam wujud kata-kata kering, “Kami pergi.”
Mereka pergi seketika. Meninggalkan lubang menganga di hati. Luka tak kentara. Tapi aku belum mati.
What doesn’t kill you makes you stronger. What doesn’t kill you makes a fighter.
Kepergian mereka jadi tanda arah angin berganti. Tornado menerpa, dan aku memutuskan turun dari kapal, berlayar tak tentu arah dengan sekoci, sampai berlabuh di bahtera baru.
Bahtera laksana jagat mungil. Ia mudah terkoyak topan. Kau mesti menyangga kuat-kuat tiang-tiang pancangnya, dan mengganti layar-layar yang tercabik badai.
ADVERTISEMENT
Kau perlu tahu kapan harus melaju melawan arus, kapan menepi dan membuang sauh, atau melingsir untuk memasuki semesta baru di pulau tak bertuan.
Yang terpenting: bahteramu mestinya jadi bahagiamu.
Hidup ini singkat. Jangan biarkan waktu terus-menerus mencuri bahagiamu. Bila ia terenggut darimu, rebut lagi dan genggam erat.
Bahteramu, Bahagiamu (1)
zoom-in-whitePerbesar
“Everyone has their own battle,” ujar jagapatiku di satu malam, persis saat aku menatah tulisan ini di dalam layar.
“Exactly,” jawabku, tertegun dengan percik pikiran serupa yang melintas di benak kami.
Pertempuran itu mungkin lebih sering berkecamuk di kepala daripada medan laga.
Pertarungan demi pertarungan membuatku sadar betapa benar ucapan adipati kami: performance is temporary, class is permanent.
It all starts in your mind.
ADVERTISEMENT
Dan pertempuran dalam segala bentuknya tak bakal berhenti sepanjang hidup manusia―kamu, aku, kita.
Bahteramu, Bahagiamu (2)
zoom-in-whitePerbesar
Aku menghirup udara sejuk mesin pendingin yang bercampur bau sangit bubuk mesiu dan aroma khas air segara.
We will leave and vanish in the end.
Aku memandang bahteraku. Ia sama fana denganku. Nanti bila waktuku tiba, gilirankulah pergi menuju bahagiaku―atau deritaku, who really knows?
Tapi sebelum masa itu datang, aku akan berjaga berjelaga menantang badai hingga samudra pasang dan bala tentaraku matang.
Kulangkahkan kaki menapak kasar pasir sembari menyarungkan sangkurku. Ia akan kugunakan sewaktu-waktu untuk menebas para jaharu yang hendak mengusikku.
Bahteramu, Bahagiamu (3)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Pexels, Unsplash