Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Di Ujung Ramadhan: Antara Malam Lailatul Qadar dan Midnight Sale
20 Juni 2017 21:28 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu artikel di kumparan membuat saya terpana hari ini, terutama karena gambarnya yang so wow, menggambarkan dengan kuat judul dan isi cerita.
ADVERTISEMENT
Judul artikel itu Kekacauan usai Wanita Serbu Midnight Sale, dengan potret sudut-sudut mal bak kapal pecah, dan tumpukan kardus sepatu berserak menggunung di sana-sini. Sungguh kekacauan yang bukan main.
“The power of midnight sale,” ujar Nynda yang mengabadikan foto tersebut dan membagikannya kepada kumparan.
“Begitulah jika wanita dan diskon bertemu,” demikian tertulis pada artikel itu, sembari menjelaskan kegaduhan tersebut hanya terjadi di bagian rak-rak sepatu wanita, sedangkan pada rak sepatu pria tidak demikian.
Mal dengan isi amburadul akibat serbuan perempuan-perempuan pemburu midnight sale itu berada di Kota Serang, Banten. Dan peristiwa tersebut terjadi dua hari lalu, tepatnya Minggu malam (18/6).
Perempuan-perempuan itu, kalau dari amatan psikologis, mungkin saja kalap malam itu. Bayangkan puluhan--atau seratusan--perempuan berbondong-bondong memasuki mal yang menggelar midnight sale dengan tujuan serupa: memborong barang sebagus mungkin dengan harga semurah mungkin.
ADVERTISEMENT
Sesampai di dalam mal, pada bagian rak-rak sandal sepatu yang diincar, dengan ragam wujud alas kaki menarik hati, ternyata sudah banyak konsumen lain asyik menjajal dan menggenggam sepatu-sandal yang mereka suka.
“Wah gawat, bisa keduluan ini”, “Aduh sial, padahal aku juga mau sandal yang itu, cakep banget buat Lebaran”, “Damn, gue mesti buru-buru serbu, daripada diambil orang.”
Maka… simsalabim! Jadilah hasilnya seperti pada foto di bawah: kekacauan melanda.
Entah sebagus apa dan semurah apa sandal-sepatu itu sampai diperebutkan konsumen sedemikian rupa.
Yang jadi “korban” kemudian ialah para pramuniaga yang lembur sampai sahur--itupun mereka belum berhasil membereskan segala kekacauan tumpukan kardus sepatu-sandal dengan isinya yang berhamburan entah ke mana.
ADVERTISEMENT
Midnight sale, di banyak tempat, berlangsung kompak serentak Sabtu-Minggu, 17-18 Juni, atau pada salah satu hari itu. Diskon “gila-gilaan” itu umumnya digelar hingga pukul 24.00--batas waktu bagi Cinderella untuk pulang ke rumah dari pesta di istana, sebelum sihir lenyap dan ia kembali menjadi Upik Abu.
Di beberapa tempat lain, sale bahkan berlangsung sepanjang malam, hingga waktu sahur dan azan subuh berkumandang. Benar-benar gila, hahaha.
Ramadhan memang bulan penuh berkah, termasuk bagi sederet brand dan mal yang berpartisipasi dalam midnight sale. Bahkan tanpa midnight sale pun angka penjualan hampir pasti meningkat karena orang-orang akan mencari baju baru manis klimis untuk teman Lebaran.
Ramadhan tak cuma jadi momen bagi Muslim untuk mengerek amal baik, tapi juga momen bagi kapitalis (cieeh, bahasanya) untuk “mengulurkan tangan” kepada ratusan, ribuan, dan jutaan konsumen mereka di seluruh dunia yang membutuhkan baju baru, alas kaki baru, furnitur baru, tas baru, kacamata baru, dan semua serba-baru lainnya.
ADVERTISEMENT
Dan itu tak salah-salah amat sih, sebab hitungannya bisa jadi simbiosis mutualisme alias hubungan timbal balik saling menguntungkan antara dua pihak: konsumen dan kapitalis.
Meski, pembacaannya dapat sepenuhnya berbeda. Sebab pada masa kini, adagium “di mana ada permintaan, di situ ada barang” (where there is demand, there will be supply) tak selalu berlaku.
Yang lebih pas: ada gula, ada semut. Datangkan saja dulu barang-barangnya dalam kemasan dan cara pemasaran menarik, nanti konsumen akan tetap merubung, pun bila mereka tak butuh-butuh amat dengan barang itu.
Saat ini, kebutuhan bukan lagi faktor nomor 1 bagi konsumen untuk memutuskan hendak membeli suatu barang atau tidak. Faktor “keunyuan” atau keimutan barang boleh jadi lebih menentukan, membuat konsumen berpikir, “Beli saja deh, soalnya lagi bagus banget, diskon pula. Untung berganda, nih! Daripada nanti butuh tapi barang keburu nggak ada.”
ADVERTISEMENT
Padahal, label diskon 50-70 persen mungkin saja disematkan pada barang-barang “unyu” itu setelah sebelumnya si pedagang menaikkan drastis harga produk-produk tersebut. Itulah kenapa kerap ditemui, setelah diskon 50 persen pun, harga baju lebaran tetap Rp 500 ribu.
Anyway, seperti cinta yang kadang membutakan, demikian pula sale. 1001 alasan bisa dimasukkan ke dalam “nota pembelaan” seorang konsumen yang kadung tergiur dengan barang “imut” di depan mata.
Di bulan penuh maaf ini, apalah artinya membelanjakan uang di luar anggaran yang sudah ditetapkan. Ini sudah pasti termaafkan, bukan?
Maka, semua bersukaria di bulan gembira ini.
“Ramadan Shopping Marathon till Midnight. Extended Sale up to 80%!”
“Ramadan vibes! Sale up tp 70% off. Don’t miss every single collections!”
ADVERTISEMENT
“Calling for all shopaholic! Come and enjoy Sahur Special up to 90% off!”
Di pengujung Ramadhan ini, hari-hari di antara 10 hari terakhir Bulan Suci, “Ramadhan” dan “sahur” menjelma kode-kode kaya makna.
Pada 10 hari terakhir Ramadhan, bukan cuma mal yang riuh dari waktu berbuka hingga jam berdentang 12 kali, bahkan mungkin sahur.
Keramaian berbeda dijumpai di masjid-masjid.
Di bawah kubah-kubah di kolong langit berbulan itu, orang-orang beriktikaf. Mereka berdiam di dalam masjid, membaca Alquran berlembar-lembar tak letih, berdoa lirih-lirih, dan menyebut nama Allah dalam untaian tasbih.
Orang-orang ini, dengan niat menyucikan diri, tak henti mendaraskan kalimat untuk Tuhan mereka, agar dapat mendekatkan diri dengan sang Pencipta dan menjauh sejenak dari keduniawian.
ADVERTISEMENT
Mereka adalah golongan pemburu malam 1000 bulan. Menanti Lailatul Qadar dengan militan, demi merengkuh pahala berlipat ganda yang setara dengan seribu bulan.
Lailatul Qadar menjadi amat teristimewa karena pada malam itu, Alquran, kitab suci umat Islam, diturunkan ke bumi.
Konon, saat Lailatul Qadar tiba, malam terasa berbeda. Namun, tak semua orang menyadarinya. Beruntunglah mereka yang dapat merasai dan merabanya, karena mungkin memperoleh percikan berkah dari malam mulia itu.
ADVERTISEMENT
Pada Lailatul Qadar, konon, angin malam begitu tenang. Udara tak dingin, juga tak panas. Malam cerah terang, amat mungkin berbintang. Dan pada malam itu, segala tanam-tanaman merunduk ke tanah, seakan memberi penghormatan pada para malaikat yang turun ke bumi.
Bahkan, konon lagi, air jadi lebih dingin beku saat Lailatul Qadar. Betapa misterius, pikir saya--yang pernah pada satu masa begitu ingin tahu seperti apa malam itu.
Saat itu, saya hanya penasaran ingin merabai malam langka itu, tapi tak hendak mengaji semalam suntuk selama bermalam-malam.
Beberapa tahun lalu--saya kurang ingat kapan--di antara malam-malam terakhir Ramadhan itu, saya pernah terbangun karena mendengar suara yang ganjil. Semacam suara yang muncul antara dunia nyata dan maya. Tak keras, tak lembut.
ADVERTISEMENT
Malam itu, terdengar suara seperti derap kuda. Dari entakannya yang tenang bergelombang, rasanya bukan hanya satu kuda, tapi puluhan atau entah berapa kavaleri--saya sungguh tak tahu pasti karena hanya mendengar, tidak melihat.
Saya tentu bingung, tak mungkin ada pasukan berkuda masuk ke perumahan di malam gelap gulita. Tapi semakin diam mendengar dalam hening, kian saya yakin bunyi itu mirip langkah kuda. Namun kenapa derapnya tak riuh gaduh?
Malam tetap tenang.
Imajinasi mulai liar mengembara. Saya menerka, mungkin kuda-kuda itu tak berisik karena tak berderap di tanah. Jangan-jangan mereka berderap di angkasa.
Dipenuhi pikiran itu, dengan gendang telinga menyerap bunyi derap ganjil, benak jadi tak keruan. Saya jadi ragu, apakah sedang sadar atau bermimpi.
ADVERTISEMENT
Pun jika sadar, tak berani beranjak bangun dan melihat keluar jendela. Mendadak saya takut dengan apa yang bakal saya lihat--seandainya saya bangkit dari tempat tidur. Ah, kenapa begitu pengecut.
Jadi saya hanya diam rebah mematung dan terus mendengar bunyi derap di angkasa itu, sampai suara-suara itu lamat-lamat hilang. Diam seakan waktu membeku di sekeliling.
Malam itu termasuk satu dari malam-malam janggal yang menghampiri saya.
Mungkin, seharusnya saya banyak-banyak berdoa malam itu. Tapi entah kenapa, saya hanya ingin diam mendengar dengan benak melayang-layang.
Mungkin, semua sekadar mimpi, dan itu tak soal buat saya--yang sejak remaja agak sulit membedakan mana dunia nyata dan mana alam mimpi karena merasa hidup di dua tempat itu sekaligus (saya akan menceritakannya di lain kesempatan).
ADVERTISEMENT
Mungkin, mungkin, mungkin.
Karena seperti malam seribu bulan, mungkin hidup kita terdiri dari seribu kemungkinan yang sulur-sulurnya saling menjerat berkelindan.
Satu yang jelas: saya bukan pemburu Lailatul Qadar dan Midnight Sale.
Belum...