Dua Dunia

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
6 Desember 2017 22:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Death was a friend, and sleep was Death's brother. ― John Steinbeck, The Grapes of Wrath
Mimpi (Foto: The Digital Artist/Pixabay)
Anjani bangun bersimbah keringat. Lagi-lagi mimpi. Dan mimpi-mimpi itu datang sambung-menyambung entah di mana ujungnya. Membuat raganya lelah setengah mati. Bagaimana tidur bisa disebut “mengistirahatkan tubuh dan kesadaran” bila nyatanya tidurmu lebih tepat disebut “memasuki gerbang dunia lain”.
ADVERTISEMENT
Satu saat, Anjani terbangun setelah mimpi jatuh ke jurang. Jurang yang amat dalam, sampai-sampai hingga habis suaranya untuk berteriak, ia belum juga sampai ke dasar.
Anjani masih bisa merasakan jantungnya berdegup kencang. Yang ganjil, Anjani sesungguhnya tahu itu mimpi. Ia tidur, tapi sadar di saat yang sama.
Entah bagaimana, saat tubuhnya melayang turun dengan kecepatan tinggi, Anjani sadar ia harus bangun. Bangun sekarang atau tidak selamanya. Itu momen kritis baginya, sebab Anjani sepenuhnya mafhum: ia akan mati dalam tidur bila tak berupaya keras untuk terjaga.
Orang-orang menyebutnya ketindihan. Istilah medisnya sleep paralysis atau lumpuh dalam tidur―merasa terbangun dari tidur, namun tak mampu bergerak dan mengeluarkan suara, biasa disertai mimpi buruk atau halusinasi menakutkan.
ADVERTISEMENT
Pun jika Anjani berhasil terjaga, ia belum tentu lolos dari jerat mimpi. Bila kembali tidur, ia akan diserang mimpi yang sama―berulang-ulang sampai ia kadang bosan, penat, dan tergoda untuk takluk: biarlah aku dibawa mimpi sampai ke dasar jurang dan mati di sana.
Bagaimana Anjani tak dongkol bila mimpi buruk begitu sering menyambanginya. Tapi, puncak kejengkelannya jatuh pada mimpi sambung-menyambung bak babak-babak drama tanpa akhir.
Semisal, kala berhasil terjaga―setelah mengerahkan segala daya―dan memutus mimpi-jatuh-ke-jurangnya pada fragmen saat ia melayang melewati bebatuan berlumut, maka ketika tertidur lagi, ia akan kembali jatuh sejajar batu berlumut itu, dengan ketinggian sama persis seperti sesaat sebelum terbangun.
Atau, jika ia terbangun saat baling-baling helikopter berjarak satu meter dari lehernya, maka jarak itu tak akan berubah satu sentimeter pun saat ia kembali tertidur dan menjumpai mimpi yang sama.
ADVERTISEMENT
Mimpi-mimpi itu berganti-ganti dari hari ke hari―jatuh ke jurang, diburu baling-baling helikopter yang hendak menebas lehernya, dikejar tentara di tengah hutan belantara, dan selusin mimpi buruk lain yang singgah silih berganti.
Sesekali mimpi buruk itu berubah sendu, dan Anjani seketika berada di tengah padang dengan daun-daun cokelat kekuningan berguguran berserakan di segala penjuru (di kemudian hari, ia melintasi taman serupa saat berada di Moskow).
Hanya ada dua atmosfer dalam mimpi-mimpi Anjani: mengerikan atau menyedihkan.
Dua nuansa itu pula yang mewarnai hari-hari Anjani―baik harinya di alam nyata maupun semesta mimpi (tapi dari mana kau tahu mana yang nyata, mana yang maya; mana yang sejati, mana yang ilusi?)
Bagi Anjani, keduanya sama saja―sama-sama nyata dan membuatnya payah bukan main.
ADVERTISEMENT
Bayangkan, setelah pagi sampai petang dia nyaris tak henti beraktivitas di “dunia”, malam harinya ia masih harus menghabiskan energi dengan mengembara di jagat mimpi.
Sekali waktu, pun bila Anjani tak bermimpi, ia diterpa perkara horor kala ketindihan: melihat wajah menyeramkan di balik jendela, sosok mengerikan di ujung tempat tidur, potongan tangan yang merayap ke arahnya di lantai.
Malam (Foto: Mysticsartdesign/Pixabay)
Puncak kengerian menghantam Anjani kala pada suatu malam, ia melihat dirinya sendiri terbaring di kasur―dari ketinggian. Pandangan Anjani segaris lurus dengan langit-langit kamar, membuatnya terperangah. Ia segera sadar sedang mengawang di udara, melawan gravitasi bumi, meninggalkan tubuhnya.
Anjani saat itu mestinya sudah memekik kaget. Kengerian itu tak terperi. Tapi tubuh Anjani kaku, lehernya seperti tercekik, dan suaranya tak keluar dari kerongkongan meski ia ingin bergerak dan berteriak. Dia harus berjuang sekuat tenaga untuk kembali ke raganya.
ADVERTISEMENT
Kembali sekarang atau kau mati.
Anjani menjerit sia-sia tanpa suara, berusaha meraih tubuhnya sendiri di bawah sana. Upaya itu membuatnya sungguh letih, dan menggodanya untuk menyerah: biarlah aku dibawa mimpi sampai ke dasar jurang dan mati di sana.
Namun menit berikutnya ia berubah pikiran, entah mengapa, tak jelas benar.
Aku belum mau mati.
Dan dengan kekuatan besar yang mendadak ia dapat entah dari mana, Anjani berhasil kembali ke tubuhnya.
Malam jadi kelewat menakutkan bagi Anjani. Ia takut tidur, takut bermimpi, takut tak bangun lagi, dan takut bertemu apapun yang mestinya tak perlu ia temui di alam keduanya itu.
Begitu suram hidup Anjani jadinya, sehingga muram terus membayang di wajahnya, membentuk kantung-kantung hitam di bawah kedua matanya.
ADVERTISEMENT
Astral projection. Demikian istilah yang Anjani dapatkan setelah melakukan riset kecil-kecilan. Itu situasi ketika jiwa atau kesadaran terpisah dari tubuh fisik, dan bahkan mampu mengembara ke seluruh penjuru semesta.
Dalam derajat lebih “normal”, proyeksi astral bisa saja wujud halusinasi ketika tubuh kelelahan, karena gangguan komunikasi di otak, luka traumatis, punya pengalaman hampir mati, depersonalisasi, atau depresi.
Depresi: gangguan jiwa yang ditandai perasaan muram, sedih, tertekan. Semua rasa getir itu dimiliki Anjani.
Dia, duduk di ujung dipannya memangku laptop, mengarahkan kursor ke browser, mengetikkan kata-kata “sleep paralysis”, dan menekan tombol “enter” pada keyboard.
Ragam penjelasan ia peroleh, salah satunya menyebut sleep paralysis berpotensi menimpa mereka yang menderita gangguan psikologis seperti depresi akut atau skizofrenia, dan gangguan bipolar. Keduanya gangguan jiwa.
ADVERTISEMENT
Gangguan jiwa… gangguan jiwa...
Anjani mematikan laptop, lalu menetapkan hati untuk bersahabat dengan dunia mimpinya. Entah nanti ia mati di alam nyata atau jagat mimpi, Anjani tak peduli. Sebab kematian adalah pasti, sepasti hidup manusia yang tak pasti.
Malam (Foto: Tyson Dudley/Unsplash)
Anjani merengkuh dua dunia yang sama-sama nyata baginya itu, dan kengerian Anjani akan malam berangsur luntur. Malam-malam menakutkan beralih hening tenang. Wajah kusam Anjani ganti berseri. Ia tak takut lagi pada malam.
Sampai kemudian, bertahun-tahun setelahnya, lelaki mimpi datang merusak, menyelinap ke mimpi-mimpi tenang Anjani, dan membuatnya kembali dihantui mimpi-mimpi buruk.
Anjani menyambut lelaki mimpi yang menghantuinya, meski tahu, sekali lagi hidupnya keluar jalur. Ia terlanjur terpikat, dan membiarkan kelam malam meraja merengkuhnya.
ADVERTISEMENT
Lelaki mimpi mengacak-acak semesta Anjani. Anjani membiarkannya, dan mengulurkan tangan menggenggamnya. Ia jadi pemuja anarki. Tahu pasti lelaki mimpi sesungguhnya tak bisa digenggam karena ia bayang dari mimpi hitam terdalam dirinya.
Mereka tak dapat bersama, begitu saja. Anjani mungkin harus mati dulu, lalu berlari melintasi ratusan tahun cahaya, agar dapat memeluk erat lelaki mimpi―atau tetap tidak.
Dada Anjani jadi begitu sesak. Mimpi-mimpi buruk seketika menjelma. Dan di antara mimpi-mimpi itu, lelaki mimpi tersenyum padanya, mengangsurkan belati.
Anjani menerima belati hitam berkilat itu. Belati dari malam-malam suram mimpinya.
Jari-jari Anjani mengepal belati. Jari jemari lelaki mimpi menggenggam tangan Anjani.
Anjani tersenyum, siap binasa kapan saja.
***
Malam. (Foto: Pixabay)
Luruh
4.30, malam belum lagi luruh kelam menyelimuti kota pendar lampu jalanan gugur jatuh angin kencang meliuk menerpa
ADVERTISEMENT
mimpi muram menghantui membayang mencuri sukma pemilik raga meluruhkan kenangan manis jalang membunuh angan yang tinggal terjaga
langit membentang pekat sempurna semesta berkabut jantung berdetak dalam irama fana hati tersumbat tercerabut
yang berdiam di denyut nadi, selamanya tak tergapai meski ratusan tahun cahaya terlewati, dan raga mati-hidup-mati-hidup lagi
“akan ada saatnya,” katamu tapi kita tahu... waktu yang tak kekal mengalir di seluruh pembuluh darah
Jakarta, Agustus 2015