Konten dari Pengguna

Jangan Tertipu Wajah Tampan!

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
7 Januari 2017 16:17 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Wajah boleh rupawan, penampilan boleh menawan, tapi sosok di balik itu: siapa benar-benar bisa tahu? Kasus Rido Roeslan sekali lagi menjadi bukti: tampakan luar bukan apa-apa.
ADVERTISEMENT
Bermodal paras elok, dibalut seragam pilot, Rido berfoto di --yang terlihat seperti-- kokpit pesawat. Dengan foto profil seperti itu, memang ada kemungkinan orang tua mana saja (tapi bukan saya) akan rela anak gadisnya dia persunting.
Nah, berkat foto pencitraan itu, para pramugari --yang katanya sampai 50 orang-- bersedia dia pacari. Lalu, demi mendengar sang “prince charming” sedang off-duty hingga belum mendapat pemasukan, para pacar itu bersedia meminjamkan uang Rp 1-5 juta.
Bisa diterka, begitu pacar-pacarnya mentransfer uang, Rido raib ditelan bumi. Hilang tak tentu rimbanya. Total sekitar Rp 150-200 juta dia gondol.
Singkat cerita, penipu muda berumur entah 25 atau 28 tahun itu akhirnya tertangkap polisi. Dia sedang apes, ketahuan CCTV menggondol iPhone 6 Plus di Supermall Karawaci, Tangerang.
ADVERTISEMENT
Untuk sementara, berakhirlah petualangan Rido si pilot gadungan.
Ngomong-ngomong soal penipu berwajah tampan, mereka jelas tak cuma ada di Indonesia. Rido Roeslan, kata seorang teman, pasti beroleh ide dari film Catch Me If You Can yang dibintangi aktor ganteng Leonardo DiCaprio.
Catch Me If You Can sendiri terinspirasi dari kisah nyata. Syahdan, pada era 1960-an, ada seseorang bernama Frank Abagnale. Dia penipu ulung dalam sejarah Amerika Serikat. Ahli memalsukan cek sampai memalsukan identitas. Sedikitnya dia punya 8 “alter ego,” salah satunya sebagai pilot.
Pastilah film tentang Abagnale, kata teman saya yakin, yang “meracuni” otak Rido Roeslan.
Well, anyway, penipu rupawan memang ada di mana-mana. Ya lelaki, ya perempuan. Ya penipu kelas teri, ya kelas kakap. Ya di Pasar Minggu Jakarta, ya di Saint Petersburg.
ADVERTISEMENT
Saya menyambangi St. Petersburg, Rusia, November tahun lalu. Ibu kota Imperium Rusia itu, terlepas dari arsitekturnya yang memukau, punya sisi gelap menyebalkan: copet yang merajalela.
Selama beberapa hari di St. Petersburg, setiap hari saya bertemu pencopet. Dan jangan salah, mereka luar biasa tampan --kalau di Indonesia minimal sudah jadi aktor figuran.
Semula saya tak tahu para pria tampan itu berprofesi sebagai copet. Dengan penampilan necis --paras bersih dan pakaian rapi, mereka masuk ke kafe yang tak tergolong murah di Nevsky Prospect, jalan utama di Saint Petersburg.
Saat itu saya dan beberapa kawan perempuan sedang di kafe tersebut untuk menghangatkan badan. Maklum, kami nekat menerabas hawa St. Petersburg yang membekukan dan menusuk tulang demi jalan-jalan keliling kota, loncat dari satu bangunan bersejarah ke bangunan historis lainnya, sehingga harus mencari lokasi perhentian sekadar untuk beristirahat sejenak sembari menyeruput secangkir cokelat panas.
ADVERTISEMENT
Kami sedang mengobrol santai di dalam kafe sambil menyesap cokelat ketika dua orang pria gagah masuk dan duduk di meja sebelah kami. Sejak awal, mereka seperti tertarik kepada kami. Beberapa kali mereka mencuri pandang. Mungkin karena wajah Asia kami yang berbeda.
Salah satu teman saya sudah GR, gede rasa. Ia menyangka kedua lelaki tampan ingin berkenalan dengan kami tapi ragu. Apalagi orang Barat kerap menganggap perempuan Asia itu eksotis, menarik. (Dalam hati sih saya ragu. Soalnya, kami di Rusia --yang kecantikan perempuan mudanya macam tiada bandingan di dunia. Trotoar saja sudah seperti catwalk, dilintasi para perempuan semampai bak model dengan wajah jelita).
Oke, kembali ke dua lelaki Rusia tampan di sebelah kami. Mereka mengobrol sambil sesekali melirik kami. Kelihatan sekali mereka tak tergesa-gesa. Tak seperti kami yang begitu datang langsung memesan minuman hangat, mereka tak pesan apa-apa meski sudah 10 menit lebih.
ADVERTISEMENT
Setelah minuman saya dan kawan-kawan habis, kami pun bangkit, bersiap melanjutkan perjalanan menembus suhu dingin. Saat itu hawa November Rusia memang sudah seperti Desember. Badai salju bahkan menyambut di hari pertama kedatangan saya ke Saint Petersburg. Kalau tak niat betul jalan-jalan, tak bakal saya gentayangan keliling kota.
Ketika kami bangkit dari duduk itulah, drama dimulai. Mendadak dua pria di samping kami juga berdiri, dan dengan terburu-buru mendahului kami menuju pintu.
Saat itu saya sudah merasa ada yang janggal. Mereka kan belum pesan apa-apa, kok sudah pergi lagi? Jadi buat apa masuk ke dalam kafe?
Saat kami berjalan ke pintu, terlihat kedua pria itu sudah duduk di sofa yang berada di samping pintu.
ADVERTISEMENT
Nah, waktu teman di depan saya, Rahma, membuka pintu hendak keluar, dia tiba-tiba sudah dipepet dan diapit oleh dua lelaki itu dari depan dan belakang.
Wah, mereka pasti berniat jahat. Saya yakin betul.
Benar saja, sedetik kemudian Rahma teman saya itu berteriak-teriak, “Hei hei heiii…!!!”
Tas pinggang Rahma rupanya hendak direbut oleh dua pria itu. Tali belakang tas yang melingkar di perutnya itu bahkan sudah terlepas.
Beruntung Rahma memegang tasnya kuat-kuat, dan copet-copet itu ketakutan mendengar teriakannya --yang tak terlalu merdu.
Mereka lantas kabur, ambil langkah seribu. Anehnya, ada dua orang lelaki lain di depan kafe yang ikut berlari bersama mereka.
Jelaslah sudah, mereka komplotan pencopet yang mengincar para turis. Bukan cuma dua orang, tapi empat orang. Dua bertugas menguntit kami dengan ikut masuk ke dalam kafe, dan dua lagi berjaga di depan kafe.
ADVERTISEMENT
Usai insiden yang agak bikin "ndredeg" itu, salah satu teman saya berseru jengkel.
“Sialan! Dikira mau kenalan, ternyata copet!”
Sejak saat itu, jika kami berputar-putar di St. Petersburg dan bertemu dengan lelaki ganteng yang sedang menatap kami, kami spontan berucap, "Awas, copet!"
So ladies, jangan tertipu wajah tampan!