Jeda Jiwa

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
5 Februari 2019 17:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. (Ahmad Odeh/Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. (Ahmad Odeh/Unsplash)
ADVERTISEMENT
“Mbak, aku kirim email. Nanti tolong cek, ya.”
“Mbak, aku mau konsultasi. Lagi senggang, nggak?”
ADVERTISEMENT
“Mbak, aku share hasil diskusi kemarin. Sila dilihat.”
“Mbak, minta pendapat dong buat tema yang ini.”
“Mbak, kumau kasih info agenda besok.”
“Mbak…”
Lalu ponsel kulempar ke kolam sedalam tiga meter di hadapanku, dan aku terjun ke air menggusah segala riuh dunia.
<< REWIND <<
Aku melempar ponsel ke kolam. Ya, ponsel—benda mungil biang bising semesta manusia.
Ilustrasi ponsel. (Paul Hanaoka/Unsplash)
Semula, kupikir aku bisa mengambil jeda satu hari agar nalar terjaga waras. Satu jeda jiwa—jendela menuju hening loka tanpa suara.
***
“Kamu lagi baca buku apa bulan ini?” tanya seorang kawan tiba-tiba.
Aku tercenung, lalu menjawab, “Tidak ada. Tak ada buku yang habis kubaca. Tidak ada buku yang benar-benar kubaca bulan ini.” Semua terserak di tepi meja, pinggir kasur, tanpa kutuntaskan. Berderet bertumpuk buku kusia-siakan.
ADVERTISEMENT
Sepertinya aku tersesat. Kembali ke zaman batu sebelum lontar ditemukan. Atau sebaliknya, melompat maju ke masa kala buku jadi bagian dari sejarah, berganti lembar-lembar digital dalam layar laptop dan ponsel—benda yang menjelma separuh jiwamu kini, seolah tanpanya kau akan segera mati.
“Tak usah baca buku dulu sementara ini,” kata lelaki berambut kelabu. Ia pasti tak serius berucap begitu. Ia sedang mencoba menghibur—mungkin.
Sebab, kata dia dulu, “Kalau tidak membaca, bagaimana bisa menulis bagus? Harus meluangkan waktu untuk membaca dan menulis.”
Aku masih ingat persis, dia mengucapkan itu awal Oktober 2017. Dan seakan terdapat rambatan aliran listrik, temannya kemarin berkata, “Membaca sama pentingnya dengan menulis. Buku memberikan semacam penawar dahaga akan kedalaman, bahwa kita butuh jeda…”
ADVERTISEMENT
Pada jeda semua ini kembali. Betapa kumerindu jeda jiwa—momen kosong, kosmos lapang.
“Jadi bagaimana supaya aku bisa membaca lagi?” tanyaku dungu, seolah lupa ingatan akan cara mengeja abjad.
“Bacalah sesempatnya saja.”
Ilustrasi buku. (Ivan Pais/Pixabay)
Buku-buku berbaris berpusing di depan mataku, dan dadaku terasa sesak. Aku menyentuh lembut sampul-sampul bebuku itu, berucap salam pada mereka dengan takzim, berjanji akan kembali suatu hari nanti, dan melangkah cepat keluar menuju kolam.
Di tepi kolam, kubalas satu per satu pesan yang masuk.
“Aku cek email-mu nanti malam.”
“Kita bahas nanti, ya.”
“Mari lihat perencanaanmu besok saja.”
“Aku cerna dulu kasusnya.”
“Simpan agenda-agenda itu di sakumu.”
Dan ponsel kulempar ke kolam.
Kolam. (Anggi)